jpnn.com - Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang menjatuhkan vonis bebas terhadap putra anggota DPR RI Edward Tannur, Gregorius Ronald Tannur di kasus pembunuhan sang kekasih Dini Sera Afrianti menuai kontroversi.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Nur Basuki Minarno menyebut putusan vonis hakim PN Surabaya itu tidak berdasar hukum.
BACA JUGA: Ronald Tannur Terdakwa Pembunuhan Dini Sera di Surabaya Divonis Bebas
"Menurut pendapat saya, putusan pengadilan negeri pada fakta-fakta yang ada di dalam persidangan, itu tidak berdasar hukum," kata Prof Basuki dihubungi di Surabaya, Kamis (25/7).
Dia menerangkan maksud dari tidak berdasarkan hukum itu karena ada bukti-bukti dalam persidangan yang disuguhkan oleh jaksa penuntut umum (JPU), telah dikesampingkan majelis hakim yang menyidangkan perkara pembunuhan tersebut.
BACA JUGA: Pria Mengaku Pegawai KPK Lakukan Pemerasan, Kadis di Pemkab Bogor Ikut Diamankan
Menurut dia, salah satu yang dikesampingkan majelis hakim adalah terkait dengan hasil visum et repertum oleh ahli yang telah disumpah sebelum memberikan keterangan atas keahliannya.
"Kalau kemudian dikesampingkan seperti itu tanpa ada dasar yang kuat, tentu keliru dalam membuat putusan. Berarti salah dalam penerapan hukumnya," ujar dia.
BACA JUGA: Detik-Detik Dini Dianiaya hingga Tewas oleh Anak Anggota DPR Ini, Ya Tuhan
Prof Basuki mengatakan bila melihat dalam surat dakwaan JPU, ada empat pasal yang menjadi dasar dakwaan. Yaitu, Pasal 338 KUHP, Pasal 351 Ayat 3 KUHP, Pasal 359 KUHP, dan 351 Ayat 1 KUHP.
Yang perlu diketahui, dari ketiga pasal itu adalah, korbannya meninggal dunia, sedangkan kalau Pasal 351 Ayat 1 itu terkait dengan penganiayaan biasa.
"Lah, empat pasal itu kalau di dalam KUHP namanya delik materiil, yaitu yang dilarang adalah akibatnya. Oleh karena itu, dalam persidangan harus dibuktikan adanya hubungan langsung antara perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dengan matinya korban atau penganiayaan yang diderita oleh si korban. Harus ada hubungan langsung," tuturnya.
Dalam perkara ini, kata Prof Basuki, JPU sudah mencoba upaya maksimal dengan mengajukan alat bukti dan barang bukti yang memperkuat bahwa matinya korban itu karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak terdakwa, baik saksi, CCTV maupun visum et repertum.
"Saya membaca dari beberapa media, hasil visum et repertum dinyatakan bahwa matinya korban itu disebabkan hatinya mengalami pendarahan yang disebabkan benda tumpul," ungkapnya.
Dia menyebut di dalam visum memang tidak menyebutkan pelakunya. Visum hanya menerangkan mengapa korban meninggal dunia, atau penyebab korban kehilangan nyawa, sehingga dalam visum et repertum itu tidak bisa menunjuk orang.
Oleh sebab itu, untuk membuktikan siapa pelakunya maka JPU harus menggunakan alat bukti lain. Dia lantas kembali mencontohkan, jaksa sudah mengajukan alat bukti CCTV serta mengajukan saksi.
"Itulah yang akan membuktikan bahwa si terdakwa itu adalah pelakunya, sehingga si korban meninggal dunia," ucapnya.
Dirinya melihat dalam perkara ini bisa jadi kurang saksi, tetapi Prof Basuki menegaskan bahwa dalam perkara tersebut saksinya adalah antara pelaku dengan korban saja.
Dalam kasus ini, korban pun sudah meninggal dunia, sehingga hanya pelaku saja yang mengetahui secara persis apa yang terjadi.
"Jaksa sudah menunjukkan adanya CCTV. Memang di dalam perkara ini kurang saksi. Barangkali saksinya itu antara pelaku dan korban, di mana korban sudah meninggal dunia, sehingga pertanyaannya, siapa pelakunya yang menyebabkan korban mengalami seperti diterangkan di visum," kata Basuki menjelaskan.
Meski visum tidak bisa menunjukkan siapa pelakunya, tetapi rekaman CCTV dan kronologi perkara menyebut tidak ada pelaku lain selain terdakwa.
"Dari visum tadi yang tidak bisa menunjuk siapa pelakunya, tetapi dari CCTV kemudian kronologi perkara, kan, tidak ada pelaku lain selain si terdakwa. Karena di dalam keterangannya itu diterangkan, sebelumnya antara terdakwa dengan si korban telah mengalami cekcok," katanya.
Soal pertimbangan hakim yang menyebutkan kematian korban disebabkan oleh alkohol, Prof Basuki pun mempertanyakan dasar hukum yang dipakai oleh majelis hakim.
Apakah memang ada ahli yang menerangkan untuk itu atau tidak. Atau setidaknya ada dokter yang barangkali pernah merawat si korban bahwa Dini itu sebelumnya menderita penyakit tertentu sehingga kalau dia minum alkohol menyebabkan matinya si korban.
"Ini ada atau tidak? Kalau ini tidak pernah terungkap di persidangan, kemudian majelis hakim menyatakan bahwa matinya korban bukan karena atas perbuatan terdakwa tetapi karena minuman keras, menurut saya tidak berdasar," ujarnya.
Soal upaya jaksa yang melakukan upaya hukum kasasi dianggapnya sebagai langkah yang tepat. Dia bahkan memberikan saran agar pihak kejaksaan sebagai wakil dari korban, mendalilkan bahwa putusan bebas itu adalah putusan bebas yang tidak murni.
Dengan salah satu alasannya adalah PN Surabaya memutus perkara ini ada kesalahan di dalam penerapan hukumnya.(ant/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam