jpnn.com, WASHINGTON DC - Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden telah menyetujui perintah eksekutif untuk sanksi baru terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kudeta militer di Myanmar.
Biden mengulangi tuntutan agar para jenderal menyerahkan kekuasaan dan membebaskan para pemimpin sipil.
BACA JUGA: Bu Jacinda Tidak Sudi Bantuan Selandia Baru Dinikmati Rezim Militer Myanmar
Biden mengatakan perintah itu memungkinkan pemerintahan AS "untuk segera memberi sanksi kepada para pemimpin militer yang mengarahkan kudeta, kepentingan bisnis mereka serta anggota keluarga dekat."
Washington akan mengidentifikasi target putaran pertama minggu ini dan mengambil langkah-langkah untuk mencegah para jenderal di Myanmar memiliki akses ke USD 1 miliar atau Rp 14 triliun dana pemerintah Myanmar yang disimpan di Amerika Serikat.
BACA JUGA: Pernyataan Terbaru Amerika soal Kudeta Myanmar, Rezim Militer Sebaiknya Bersiap
"Kami juga akan memberlakukan kontrol ekspor yang kuat. Kami membekukan aset AS yang menguntungkan pemerintah Myanmar, sambil mempertahankan dukungan kami untuk perawatan kesehatan, kelompok masyarakat sipil, dan bidang lain yang secara langsung menguntungkan rakyat Myanmar," kata Biden di Gedung Putih, Rabu (10/2) waktu setempat.
"Kami akan siap untuk memberlakukan tindakan tambahan, dan kami akan terus bekerja dengan mitra internasional kami untuk mendesak negara-negara lain untuk bergabung dengan kami dalam upaya ini."
BACA JUGA: Rakyat Myanmar Turun ke Jalan, Para Biksu Berjajar di Garis Depan
Kudeta 1 Februari dan penahanan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi menghadiahkan Biden krisis internasional besar pertamanya, dan ujian atas janji ganda untuk memusatkan kembali hak asasi manusia dalam kebijakan luar negeri dan bekerja lebih dekat dengan sekutu.
"Saya kembali menyerukan kepada militer Myanmar untuk segera membebaskan para pemimpin dan aktivis politik yang demokratis," katanya. "Militer harus melepaskan kekuasaan yang direbutnya."
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price mengatakan Washington sedang meluncurkan tindakan kolektif dengan mitra di Myanmar.
"Kami sendiri dapat membebankan biaya yang substansial. Kami dapat mengenakan biaya yang bahkan lebih curam dengan bekerja sama dengan mitra dan sekutu yang berpikiran sama," katanya dalam sebuah pengarahan.
Negara-negara Barat telah mengutuk kudeta tersebut, tetapi para analis mengatakan junta baru Myanmar tidak akan terisolasi seperti sebelumnya, karena China, India, tetangga Asia Tenggara dan Jepang tidak mungkin memutuskan hubungan karena kepentingan strategis negara itu.
Derek Mitchell, mantan duta besar AS untuk Myanmar, mengatakan sangat penting untuk melibatkan negara-negara seperti Jepang, India, dan Singapura dalam memberikan tanggapan yang kuat.
"Kuncinya bukan hanya apa yang dilakukan Amerika," katanya. "Ini akan menjadi bagaimana kami mengajak orang lain bersama kami, sekutu yang mungkin memiliki lebih banyak kekuatan dalam permainan, lebih maksimal, atau setidaknya hubungan yang lebih baik dengan para pemain kunci."
Badan hak asasi manusia tertinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa akan mempertimbangkan resolusi pada hari Jumat yang dirancang oleh Inggris dan Uni Eropa yang mengutuk kudeta dan menuntut akses segera bagi pengawas.
Namun, para diplomat mengatakan China dan Rusia - yang keduanya memiliki hubungan dengan angkatan bersenjata Myanmar - diperkirakan akan mengajukan keberatan atau mencoba melemahkan teks tersebut.
Dewan Keamanan PBB merilis pernyataan pekan lalu yang menyerukan pembebasan Suu Kyi tetapi tidak mengutuk kudeta tersebut. (ant/dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil