Pendeta Saifuddin

Kamis, 17 Maret 2022 – 23:42 WIB
Pendeta Saifuddin Ibrahim. Dok: tangkapan layar YouTube Saifuddin Ibrahim.

jpnn.com - Pendeta Saifuddin Ibrahim AKA Abraham ben Moses menjadi orang kesekian yang mengunggah konten video yang menyerang agama lain dengan ujaran kebencian, dan ini bukan kali pertama.

Sang pendeta sudah pernah melakukannya pada 2018 dan dihukum karena itu.

BACA JUGA: Cak Nanto: Pernyataan Pendeta Saifuddin Sudah Menistakan, Perlu Diusut Tanpa Aduan

Rangkaian—atau mungkin bisa disebut sebagai gelombang—video bernada hate speech semacam ini bermunculan beberapa tahun terakhir, membuat atmosfer beragama terasa sumuk dan sesak. Hampir setiap hari ada saja konten yang panas dan memancing reaksi keras.

Muncul konten panas, lalu reaksi keras, lalu muncul gugatan hukum, lalu ditangkap, lalu dipenjara.

BACA JUGA: Benarkah Menag Yaqut Kenal Pendeta Saifuddin Ibrahim? Kemenag Merespons

Muhamad Kace, Ferdinand Hutahaean, dan banyak lagi lainnya, berputar-putar seperti gerakan sirkular yang tidak ada habisnya, membentuk ekosistem beragama yang tidak nyaman.

Menteri Agama membuat pernyataan yang membuat panas. Lalu reaksi bermunculan di mana-mana, laporan kepada polisi bermunculan. Terus-menerus seperti itu. Sebuah ekosistem beragama yang gerah telah terbentuk.

BACA JUGA: Pendeta Saifudin Ibrahim: Harus Diperiksa Itu Mahfud MD

Kali ini, dalam sebuah video, Pendeta Saifuddin meminta menteri agama merevisi atau menghapus 300 ayat Al-Qur'an yang dianggapnya menjadi pemicu paham radikalisme yang berbahaya. Jangan hanya toa masjid yang diatur, 300 ayat Al-Qur'an itu harus direvisi, dan kurikulum pesantren juga harus direvisi, karena kata Pak Pendeta, pesantren adalah penghasil para radikal dan calon teroris.

Menko Polhukam Mahfud MD kesal oleh video itu dan minta polisi turun tangan menghentikan kegaduhan.

Ade Armando—yang selama ini dianggap berada pada kubu yang sama—kali ini mengkritik keras Pendeta Saifuddin dan menganggapnya tidak punya akal sehat.

Al-Qur'an bersisi sabda Allah. Mengganti dan menghapus sebagian ayat-ayatnya sama saja dengan mencampakkan kitab suci itu. Hal yang harus direvisi bukan ayat-ayat Al-Qur'an, tetapi tafsir terhadap ayat-ayat itu yang harus direvisi, karena tafsir manusia tidak bersifat suci seperti Al-Qur'an. Begitu komentar Armando.

Pak Pendeta tidak memberi contoh ayat-ayat yang dimaksudnya. Secara umum ayat-ayat dalam Surat At-Taubah, surat ke-9, sering disebut sebagai ayat-ayat perang yang mendorong munculnya kekerasan dalam Islam.

‘’Apabila telah selesai bulan-bulan haram, maka perangilah orang-orang musyrik di mana saja kamu temui, tangkaplah dan kepunglah mereka, dan awasilah di tempat pengintaian. Jika mereka bertobat dan melaksanakan salat serta menunaikan zakat maka berilah kebebasan kepada mereka’’.

Ayat itu secara pejoratif disebut sebagai ayat perang. Penafsiran ayat itu dipakai sebagai justifikasi ajakan perang dan penggunaan kekerasan, termasuk teror. Ayat ini dapat dijadikan dalil untuk memerangi orang musyrik atau siapa pun yang bukan Islam.

Ayat ini dianggap sebagai salah satu dalil untuk melaksanakan jihad dalam bentuk perang.

Interpretasi agersif itu muncul di segmen umat Islam tertentu. Namun, mufasir lain menginterpretasikannya sebagai upaya defensif, yaitu dorongan bagi umat Islam untuk melakukan perlawanan terhadap kaum musyrik apabila mereka memerangi terlebih dahulu.

Kekerasan dalam Islam menjadi bahasan para sarjana sejak lama. Kekerasan di beberapa negara yang berpenduduk Islam muncul karena adanya perlakuan tidak adil kepada Islam yang mengakibatkan kemunduran dan penderitaan.

Muncul pandangan bahwa kemunduran yang terjadi di kalangan Islam diakibatkan oleh penjajahan Barat yang Kristen dan sekuler. Karena itu, untuk menghadapi ketidakadilan itu umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang mempersatukan agama dan negara.

Untuk melawan ketidakadilan terjadilah serangan terhadap peradaban Barat seperti yang terjadi pada peristiwa 11 September. Amerika dianggap sebagai simbol penjajahan Barat terhadap Islam, dan karena itu harus dihancurkan.

Apakah kemunduran dan penderitaan Islam sepenuhnya disebabkan oleh penjajahan Barat? Tidak sepenuhnya demikian. Setidaknya, begitulah pandangan Ahmet T. Kuru, profesor sejarah Islam di Universitas Negeri San Diego, Amerika Serikat, dalam buku ‘’Islam, Otoritarianisme, dan Keterbelakangan: Perbandingan Global dan Sejarah (2019).

Kuru mengungkap fenomena negara-negara berpenduduk Islam yang mempunyai tingkat otoritarianisme tinggi dan tingkat kemajuan sosio-ekonomi rendah dibandingkan dengan rata-rata dunia.

Kuru menyebut bahwa kolonialisme Barat bukan penyebab tunggalnya. Dunia muslim sudah mengalami masalah politik dan sosioekonomi sebelum kolonialisasi. Negara-negara muslim itu sudah menjadi negara yang lebih maju dibanding Barat selama abad ke-7 sampai ke-11.

Ketika itu negara-negara muslim jauh lebih maju dalam hal peradaban dan ilmu pengetahuan dibanding Eropa yang masih berada pada masa jahiliyah. Kunci kemajuan adab Islam adalah munculnya kelas intelektual dan pedagang yang independen dari kekuasaan negara.

Pada saat itu Eropa masih dikuasai ortodoksi agama dan kekuasaan militer.

Titik balik terjadi pada abad ke-11 persekutuan antara ulama ortodoks Islam dan negara-negara militer mulai bermunculan. Persekutuan itu sedikit demi sedikit menghalangi kreativitas intelektual dan ekonomi dengan meminggirkan kelas intelektual dan borjuis di dunia muslim.

Antara abad ke-8 dan ke-11 para pedagang dan sarjana menghasilkan pencapaian-pencapaian besar di dunia Islam. Masyarakat muslim memiliki ciri-ciri yang sama dengan masyarakat Eropa Barat pada masa Renaisans, yaitu munculnya intelektual yang kreatif dan pedagang yang berpengaruh.

Selama periode itu, sebagian besar ulama tidak mengabdi kepada negara, tetapi didanai hasil perdagangan. Para ulama ketika itu menganggap interaksi dengan para penguasa sebagai tindakan korup.

Baghdad menjadi pusat ilmu. Beberapa kota lain juga menjadi pusat ilmu dengan perpustakaan besar dan para sarjana penting, seperti Damsyik dan Halab di Suriah, Basrah di Irak, Nisyapur, Rayy, dan Thus di timur laut Iran.

Sekadar perbandingan, pada akhir abad ke-10, Khalifah Aziz dari Dinasti Fatimiyah memiliki perpustakaan di Kairo dengan koleksi buku diperkirakan jumlahnya mencapai 200.000 hingga di atas satu juta. Sementara itu, biara dan perpustakaan katedral di Eropa Barat antara abad ke-9 dan ke-11 umumnya hanya memiliki 500 buku.

Filusuf dan ilmuwan terkemuka muncul dalam suasana apresiasi intelektual itu. Pada abad ke-9, Khawarizmi memperkenalkan matematika, geografi, dan astronomi. Istilah “algoritma” berasal dari nama latin Khawarizmi, Algoritima.

Intelektual dunia muslim mulai menurun pada abad ke-11 ditandai lahirrnya Kesultanan Seljuk yang membentuk persekutuan ulama-negara. Ketika itu kelas militer mulai mendominasi ekonomi dan memperlemah kaum pedagang yang independen yang biasa mendanai riset para intelektual muslim.

Berdirinya Madrasah Nizamiyah yang mengajarkan ortodoksi Islam makin meminggirkan pemikir-pemikir Islam yang kreatif. Sebagai gantinya muncul ulama-ulama fikih dan tasawuf yang lebih konservatif.

Pada titik ini Imam Al-Ghazali menjadi tokoh utama yang berada pada garda depan melawan kalangan filusuf muslim dan pemikir intelektual liberal Islam. Ghazali menang dan para filusuf tersisih dari dunia muslim. Pemikiran filusuf muslim Islam seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusydi justru diadopsi oleh Eropa.

Krisis dunia Islam makin buruk dengan munculnya invasi pasukan Mongol dan Tentara Salib dari Eropa. Keterdesakan militer ini membuat masyarakat muslim mencari perlindungan kepada rezim militer dan elite agama ortodoks. Kelas intelektual dan filusuf makin kehilangan pijakan dan pengaruh.

Persekutuan ulama-negara menghalangi munculnya sarjana independen dan meminggirkan para entrepreneur dan pedagang. Dunia Islam menjadi kehilangan kreativitas dan makin tertinggal dari Eropa yang mengalami lompatan revolusi ilmu pengetahuan.

Ortodoksi Islam memunculkan tafsir ayat-ayat perang sebagaimana fenomena yang muncul belakangan ini. Kemunduran dunia Islam dianggap sebagai kesalahan Barat yang melakukan imperialisasi dan kolonialisasi. Karena itu cara yang ditempuh adalah jihad melalui perang, bukan jihad melalui ilmu pengetahuan dan teknologi.

Penafsiran jihad melalui perang bukan satu-satunya penafsiran dalam Islam. Karena itu usul menghapus ayat-ayat perang sebagaimana diusulkan Pendeta Saifuddin adalah usul yang absurd. Islam akan bisa mengalahkan Barat melalui jihad ilmu pengetahuan, sebagaimana sudah dibuktikan oleh sejarah. (*)


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler