Bijak Menilai Pajak

Rabu, 18 Desember 2019 – 12:22 WIB
Founder IndoSterling Capital William Henley. Foto: Dok Pri

jpnn.com, JAKARTA - Oleh: Founder IndoSterling Group William Henley

 

BACA JUGA: Dorong Pelaku Usaha Pindah ke PDAM, Pemkot Depok Naikkan Pajak Air Tanah

Hanya dalam hitungan hari, Tahun 2019 akan segera berakhir. Namun, kerja-kerja pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin tak mengendur sama sekali, terutama Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Maklum, target penerimaan pajak masih jauh panggang dari pada api.

Mengutip paparan Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Suryo Utomo dalam pertemuan dengan Komisi XI DPR di ruang rapat Komisi XI DPR, Jakarta, 11 Desember 2019, penerimaan pajak sampai dengan awal September mencapai Rp 1.136 triliun. Nilai itu setara 72 persen dari target dalam APBN 2019 sebesar Rp 1.577 triliun.

BACA JUGA: BPRD DKI Perpanjang Tenggat Waktu Keringanan Pajak

Suryo menyatakan data itu masih belum stabil. Sebab, rentetan penerimaan akan terus bertambah hingga akhir tahun nanti.

Ia pun enggan berandai-andai berapa total penerimaan pajak per akhir tahun ini. Intinya, hitungan persis akan dirilis 31 Desember 2019.

Dalam sebuah perbincangan dua hari setelah rapat di DPR itu, Danny Darussalam Tax Center merilis proyeksi penerimaan pajak tahun ini. Nilainya diperkirakan berada pada rentang Rp 1.318 triliun (86,3 persen target) hingga Rp 1.398 triliun (88,6 persen target).

Sedangkan skenario terburuk DDTC, penerimaan pajak hanya mencapai 83,5 persen dari target atau terjadi shortfall sekitar Rp 259 triliun.

Melalui tulisan ini, penulis hendak menyampaikan review atas kinerja pengumpulan setoran pajak tahun ini dan saran untuk tahun depan. Langkah-langkah strategis apa yang harus dilakukan pemerintah?

 

Efek global

Tidak ada yang pasti di dunia ini kecuali kematian dan pajak. Begitu kata-kata Benjamin Franklin, salah satu pendiri negara adidaya Amerika Serikat. Franklin benar.

Kehidupan seorang manusia sejak lahir hingga meninggal dunia tidak dapat dilepaskan dari aspek perpajakan.

 

Dalam konteks Indonesia, pajak merupakan tumpuan utama dalam struktur pendapatan negara dalam APBN. Persentase setoran pajak terhadap total pendapatan negara selalu berada di atas 80 persen!

Tidak heran, apabila penerimaan pajak yang seret berdampak negatif kepada APBN secara keseluruhan.

Khusus untuk tahun ini, penerimaan pajak yang terpuruk tak lepas dari kinerja perekonomian dunia. Tahun ini, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) meramal ekonomi global hanya tumbuh 3%. Angka itu merupakan yang terendah sejak krisis keuangan global 2008 lalu.

Faktor pemicu semua ini adalah ketidakpastian yang lahir akibat perang dagang antara AS dan China. Walau sudah ada kesepakatan fase pertama yang disepakati beberapa hari lalu, belum ada kepastian dua negara adikuasa itu akan berdamai secara total.

Ini yang membuat perbaikan perekonomian dunia tahun depan diprediksi tidak akan terlalu banyak.

Dampak dari ekonomi global yang lemah terasa di dalam negeri, tercermin dari ekonomi tahun ini yang diproyeksikan hanya tumbuh 5,0 persen atau lebih rendah dari target dalam APBN 2019 sebesar 5,4 persen.

Efeknya juga terlihat dari sisi harga komoditas seperti CPO, batubara, dan karet, yang mengalami penurunan. Pun lesunya aktivitas ekspor dan impor.

Muara dari semua itu adalah penerimaan pajak yang terkontraksi. Target pertumbuhan setoran pajak penghasilan dan pertambahan nilai yang mencapai double digit pun realisasinya hanya single digit.

Hal lain adalah percepatan restitusi yang diberikan pemerintah. Apa itu restitusi? Ia merupakan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang dilakukan wajib pajak kepada negara.

Ketentuan ini ada dalam UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Apabila restitusi dipercepat sudah barang tentu penerimaan negara akan menurun pula.

 

Optimistis tahun depan

Bagaimana dengan tahun 2020 yang dalam shio disebut dengan tahun tikus logam? IMF sudah memproyeksikan perekonomian dunia akan tumbuh lebih baik, yaitu 3,4 persen.

Salah satu alasannya adalah damai dagang antara AS-China diprediksi akan menemui titik temu yang utuh.

Jika itu terwujud, maka ekonomi global pun akan bergairah kembali. Harga-harga komoditas bakal kembali meningkat. Begitupula dengan aktivitas ekspor dan impor. Implikasinya adalah penerimaan pajak akan kembali meningkat.

Tahun depan, penerimaan pajak ditargetkan sebesar Rp 1.642,2 triliun atau tumbuh 19 persen dibandingkan tahun lalu. Melihat tren-tren tahun sebelumnya, sejumlah pihak memprediksi maksimal penerimaan pajak berada pada rentang 87 persen hingga 88 persen. Namun, itu masih proyeksi yang berbasis kepada realisasi tahun-tahun lalu. Waktu akan menjawab.

Namun yang pasti, pemerintah harus terus memaksimalkan intensifikasi dan ekstensifikasi dalam menggenjot penerimaan pajak. Normatifnya demikian. Lalu, apa langkah-langkah yang dapat dilakukan?

Yang pertama tentu memaksimalkan data Automatic Exchange of Information (AEoI). Ia merupakan suatu kerja sama internasional pertukaran data keuangan secara otomatif untuk keperluan pajak. Khusus Indonesia, kerja sama dengan berbagai negara itu telah dimulai sejak September 2018.

Direktorat Jenderal Pajak tentu sudah mengantongi data ribuan triliun aset milik WNI di luar negeri. Indikasi penyimpangan perpajakan sudah terang benderang.

Sekarang tinggal perburuan secara maksimal oleh petugas pajak. Jika ada pelanggaran hukum, maka jangan sungkan untuk menyeret ke ranah hukum hingga menimbulkan efek jera.

Kemudian, dalam APBN 2020, pemerintah menulis shadow economy terutama perdagangan di e-commerce menjadi risiko yang dapat menimbulkan tidak tercapainya target penerimaan pajak.

Untuk itu, penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik menjadi momentum mengatasi risiko itu.

Mengapa? Beleid yang sering disebut dengan sebutan PP E-Commerce itu akan diikuti peraturan turunan yang memuat berbagai hal, termasuk perpajakan.

Apabila pelaku e-commerce yang didominasi pelaku UMKM terdata dan masuk ke dalam basis data pajak, Ia akan memberi banyak manfaat. Selain memperluas basis pajak, setoran pajak juga akan bertambah baik dari sisi PPh maupun PPn.

Di sisi lain, pelaku UMKM pun dapat meningkatkan level mereka melalui pinjaman perbankan yang sering kali menuntut keberadaan nomor pokok wajib pajak (NPWP). Ada win-win solution di sana.

Langkah berikut sederhana namun penting, yaitu kantor pajak harus terus memperbaiki pelayanan kepada wajib pajak. Harus diakui pasti masih ada ketidakpuasan.

Apalagi Indonesia menganut self assesment. Langkah ini harus diikuti sosialisasi dan edukasi secara berkelanjutan kepada masyarakat. Harus dipahamkan bahwa penerimaan pajak itu bukan untuk siapa-siapa melainkan untuk kepentingan bangsa dan negara.

Buktinya pun riil, yaitu dalam bentuk pembangunan infrastruktur sampai dengan beasiswa untuk keluarga yang tidak mampu. (jos/jpnn)


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler