Dalam upaya menemukan pengobatan COVID-19 untuk menyelamatkan jiwa pasien, para ilmuwan telah mencoba berbagai hal, mulai dari penggunaan darah para penyintas, hingga menggunakan kembali obat-obatan lama untuk HIV.
Langkah apa saja yang berhasil dan bagaimana caranya?
BACA JUGA: Pertanian Tetap Ampuh di Masa Pandemi, Gus Muhaimin Punya Saran untuk Pemerintah
Pada 16 Maret lalu, Damian Fawkner, pria berusia 50 tahun, membatalkan donor darah rutinnya dengan Palang Merah karena dia merasa tidak enak badan.
Berselang dua hari, dia sudah tidak bisa beranjak dari tempat tidurnya.
BACA JUGA: Pemerintah Tidak Paksakan Daerah Zona Hijau dan Kuning Membuka Sekolah
"Saya terbangun dan merasakan tulang-tulang dan ototku serasa seperti diremas," katanya. "Sangat sakit di sekujur tubuhku. Saya bahkan tak punya energi untuk bergerak."
Photo: Penggunaan plasma darah dari pasien yang telah sembuh seperti Damian Fawkner menjadi salah satu upaya yang dilakukan para tenaga medis dalam mengobati pasien COVID-19. (ABC News: Jack Fisher / Ben Spraggon) Damian, seorang manajer umum dari daerah Central Coast di New South Wales, tak pernah membayangkan bahwa dirinya akan menjadi bagian dari upaya mengatasi virus corona.
Setelah mengatasi virus ini, Damian sekarang menjadi "donor super" untuk pengobatan corona.
BACA JUGA: Kemendikbud Gelontorkan Rp 54 Miliar untuk Insentif Sukarelawan Covid-19
Plasma darah yang diambil dari lengannya telah disuntikkan ke pasien-pasien COVID-19 yang masih menjalani perawatan klinis.
Mungkin terdengar radikal bahkan agak kuno untuk menyuntikkan darah pasien yang sudah sembuh ke pasien yang masih sakit.
Namun tanpa vaksin, langkah ini bersama ratusan upaya pengobatan lainnya merupakan satu-satunya harapan untuk mencegah kematian yang lebih besar.
Tapi apakah upaya penyembuhan dari COVID-19 itu realistis?
Ada tiga jenis pengobatan yang terus dijajaki saat ini. Meski virus ini 'cukup piawai', ketiga pengobatan memberi harapan: Pengobatan cara lama dengan menggunakan darah dari penyintas seperti Damian Pengobatan dengan obat-obatan yang digunakan mengobati penyakit lain dan mungkin bermanfaat mengatasi COVID-19 Vaksin anti virus yang ditunggu-tunggu namun belum diuji secara menyeluruh
Untuk mengatasi virus ini, para peneliti terlebih dahulu perlu memahami bagaimana pasien seperti Damian bisa sembuh dari infeksi. Begini caranya.
Virus corona tidak hidup, sehingga ia harus menginfeksi sel pasien sebelum bisa membelah atau mereplikasi diri.
Bayangkan sel-sel sebagai pabrik dan virus ini sebagai pencuri yang mencoba masuk ke dalam pabrik.
Namun virus ini bahkan tak perlu repot-repot memaksa masuk ke pabrik. Karena mereka punya kunci pintu. Yaitu benjolan-benjolan protein pada sel.
Benjolan-benjolan protein ini terikat pada reseptor atau penerima yang berada pada permukaan sel-sel, sehingga virus bisa masuk dengan aman.
Tak butuh waktu lama, pabrik tersebut telah diambil-alih dan menyemburkan banyak partikel-partikel virus.
Namun sel-sel tersebut tak menyerah begitu saja ketika virus berhasil masuk. Sistem peringatan dini dari sel-sel ini akan teraktivasi.
Sel-sel akan melepas zat-zat kimiawi yang disebut sebagai cytokines.
Gambarannya mirip dengan adanya bunyi alarm yang membuat para satpam datang ke lokasi.
Para satpam itu adalah sel darah putih. Mereka langsung melawan virus ini.
Salah satu dari zat cytokines terpenting dalam mengatasi infeksi virus pada sel yaitu apa yang disebut Interleukin-6.
Hasil mengejutkan dari proses ini yaitu, Interleukin-6 tersebut tidak hanya membunyikan alarm tubuh.
Tapi juga bisa membuat orang yang bersangkutan menjadi sakit parah.
Sepuluh hari setelah terinfeksi COVID-19, kondisi Damian Fawkner semakin memburuk.
"Saya belum pernah merasa sesakit itu dalam hidupku. Saya berbaring di tempat tidur selama 15-16 jam sehari," katanya.
Kondisinya begitu buruk sehingga dia masuk IGD untuk menjalani serangkaian tes.
Gejala yang dialami Damian tidaklah disebabkan oleh virus itu sendiri. Melainkan oleh respons tubuhnya terhadap virus.
Cytokines, termasuk Interleukin-6, merupakan penyebab atas kondisi kelelahan ekstrim yang dialami Damian.
Dokter pun memberinya oksigen untuk membantunya bernapas sampai akhirnya dia keluar dari rumah sakit.
Beberapa hari kemudian, dia mendapat pemberitahuan bahwa tes virus coronanya negatif. Diagnosis positifnya baru datang belakangan.
Penelitian pertama di dunia atas kasus virus corona pertama di Australia oleh Doherty Institute di Melbourne mengungkapkan bahwa sekitar hari ke-10, sama dengan saat Damian Fawkner pergi ke rumah sakit, populasi sel-sel kekebalan mulai muncul dalam darah.
Salah satu sel yang memiliki peran utama adalah jenis sel darah putih yang disebut Sel T.
Sel-sel T ini merupakan salah satu satpam yang 'berkelahi' dengan pada pencuri yang menerobos masuk ke pabrik.
Sebagian Sel T merupakan pembunuh.
Mereka masuk ke sel-sel yang terinfeksi dan membunuh virus yang ada di situ.
Sebagian Sel T lainnya bertindak sebagai pembantu.
Mereka merekrut sel darah putih lainnya, yaitu Sel B, dan meminta mereka untuk memproduksi zat-zat antibodi.
Antibodi itulah yang merupakan kunci dalam keberhasilan mematikan virus.
Mereka mengikat virus-virus itu, sehingga virus tak bisa lagi masuk ke sel-sel sehat untuk mereplikasi diri.
Sel T dan Sel B pada darah putih merupakan satpam yang bisa mereproduksi diri.
Sepanjang usianya, sel-sel tersebut akan berada dalam tubuh manusia, berjaga-jaga terhadap serangan virus corona dan membunuhnya jika mereka masuk.
Hal ini berarti respon tubuh terhadap serangan virus corona berikutnya, akan berlangsung cepat, tidak sampai beberapa minggu.
Pada awal Mei, atau dua bulan setelah Damian merasa sakit, pihak rumah sakit memberitahu soal antibodi khusus untuk virus corona dalam sampel darahnya.
Antibodi itulah kunci kesembuhannya.
Damian sudah kembali bekerja dua setengah minggu setelah sakit, tapi ketika dia melanjutkan hobinya bersepeda gunung, dia menemukan virus itu telah berdampak jangka panjang.
"Apa yang saya temukan adalah begitu mulai berolahraga, saya merasa kehilangan sesuatu di paru-paru. Mungkin sekitar 10 persen, tapi saya merasakannya," katanya.
Empat minggu kemudian dia merasa sudah benar-benar sehat kembali.
Namun tak semua orang seperti Damian. Pada beberapa orang, respon imunnya sangat berlebihan.
Sel-sel bergegas memenuhi paru-paru, hingga pasien membutuhkan ventilator untuk bernapas.
Sebagian di antaranya akhirnya meninggal dunia.
Dampaknya terasa di seluruh tubuh. Terutama sangat beresiko pada jantung.
Sel kekebalan meningkatkan produksi sitokin, terutama Interleukin-6, tapi sel-sel ini bertindak terlalu jauh dan tidak terkendali.
Para peneliti menduga "badai sitokin" inilah yang menyebabkan beberapa pasien yang sakit parah meninggal dunia.
Bagi orang-orang yang respon imunnya tak proporsional, tantangannya adalah mencari perawatan yang bisa membantu mereka. Sekantong darah
Bisakah plasma darah dari penyintas corona menyelamatkan pasien yang sakit?
Bagaimana jika kita mengambil antibodi dari seseorang seperti Damian, dan memberikannya kepada pasien yang sakit?
Begitulah cara kerja pengobatan yang dikenal sebagai "penyembuhan plasma". Hal ini digunakan ketika mengobati flu Spanyol, campak, Ebola dan SARS.
Metode ini pertama kali digunakan pada tahun 1890-an, ketika dokter mengambil plasma darah dari kuda yang disuntikkan dengan bakteri yang menyebabkan difteri dan menggunakannya untuk mengobati pasien.
Dewasa ini, konsepnya sama, tetapi penerapannya jauh lebih halus.
Konsepnya yaitu konvalesen plasma berfungsi sebagai penguat segera - antibodi dari plasma darah donor membantu penerima melawan virus, sampai sistem kekebalan mereka sendiri meningkat dengan cepat.
Damian Fawkner telah menjadi donor darah selama 30 tahun.
Saat dia membaca bahwa Palang Merah sedang mencari donor yang sudah sembuh dari virus corona, dia pun tidak ragu.
"Tidak ada bedanya dengan apa yang saya selalu rasakan. Jika plasma saya dapat membantu seseorang, saya dengan senang memberikannya," katanya.
Photo: Darah dari pasien sembuh seperti Damian dimasukkan ke dalam tubuh pasien yang masih sakit. (ABC News: Jack Fisher)
Orang seperti Damian inilah yang oleh para peneliti disebut sebagai "donor super". Tingkat antibodi virus corona dalam darahnya adalah 69 kali lebih tinggi dari yang dibutuhkan.
Sejauh ini, 454 orang Australia yang sembuh telah berdonor 990 kali dengan sumbangan darah sebanyak 450 ml, sekitar satu gelas penuh, kepada Australian Red Cross Lifeblood.
Mereka ingin agar lebih banyak pasien sembuh menyumbangkan darah, 28 hari setelah gejala gangguan pernapasan mereka benar-benar hilang.
Zoe McQuilten, pakar hematologi di Monash University, melakukan dua percobaan besar penggunaan plasma darah ini.
Tim peneliti McQuilten memisahkan plasma yang kaya antibodi dari sel darah merah, kemudian mentransfusikannya ke pasien yang sakit. Hal itu diulangi sehari kemudian.
Plasma konvalesen diberikan kepada 10 pasien warga China yang sakit parah dan semua gejalanya hilang atau membaik dalam tiga hari. Hasil yang meyakinkan, tapi masih perlu dikonfirmasi lebih lanjut.
Darah donor itu dapat dibekukan hingga 12 bulan, tapi hanya plasma dari pria yang digunakan.
"Itu untuk mengurangi salah satu komplikasi dari transfusi plasma, yang disebut cedera paru akut terkait transfusi," jelas Professor McQuilten. "Komplikasi ini sangat jarang tetapi lebih mungkin terjadi pada plasma dari donor wanita."
Sumbangan dari pasien wanita yang sembuh tidak akan sia-sia.
Perusahaan Australia CSL menggunakan donasi dari wanita dan pria, dalam "hyper-immune globulin", campuran antibodi anti-virus corona yang dimurnikan. Berhenti bereaksi berlebihan
Ketika respon tubuh terhadap virus lebih buruk dari virus itu sendiri
Alternatif untuk memberikan antibodi adalah dengan menyiramkan air pada respon imun yang terlalu bersemangat sehingga membuat sebagian orang sakit.
Interleukin-6, pembawa pesan kimiawi penting itu, terkadang menyebabkan semua sel kekebalan bergegas ke paru-paru untuk melawan infeksi virus corona.
Itu salah satu target utama dari pendekatan pengobatan ini.
IL-6 terikat ke sebuah reseptor penerima pada Sel T dan Sel B.Hal itu menyebabkan terbentuknya cytokines, dan akan lebih banyak lagi sel-sel imun yang muncul.
Menghentikan IL-6 membunyikan alarm bisa mengurangi respon tersebut.
Kemudian, metode kedua yaitu tocilizumab.
Ini adalah obat yang sudah ada sejak tahun 2010 dan digunakan untuk mengobati penderita rheumatoid arthritis dan penyakit radang lainnya.
Ini telah direkayasa di laboratorium untuk menempel pada reseptor IL-6 sel.
Tujuannya untuk menghentikan ikatan IL-6 yang mendatangkan malapetaka.
Jika tocilizumab manjur, maka dia akan menghentikan aliran sel imun yang tidak terkendali ke dalam paru-paru.
Pada awal pandemi, kalangan dokter mulai dari Milan hingga ke Wuhan mencoba segala hal, mulai dari pengencer darah hingga steroid dalam upaya mereka mencegah kematian.
Kalangan dokter di China meresepkan obat tocilizumab kepada 21 pasien pada awal Februari.
Para pasien ini merespon dengan baik dan setelah tiga minggu, mereka semua sudah sembuh.
Jadi, jika tocilizumab itu memang manjur, mengapa tidak menggunakannya pada semua pasien virus corona yang sakit parah?
Jawabannya adalah bahwa penelitian tersebut tidak memenuhi standar baku untuk memutuskan untuk menggunakan obat lebih luas. Yaitu standar ujicoba terkontrol secara acak.
Artinya perlu perbandingan antara ribuan pasien tanpa pengobatan dengan yang menggunakan pengobatan tiruan, yang disebut plasebo.
Menurut Steven Tong, peneliti dari Peter Doherty Institute, uji klinis acak secara besar-besaran adalah satu-satunya cara untuk mengetahui apakah suatu pengobatan berbahaya atau tidak.
Tocilizumab sendiri sedang diuji dengan cara seperti itu untuk 7.000 pasien.
Tocilizumab menargetkan respons imun yang tidak terkendali pada pasien yang sakit parah. Tetapi bagaimana dengan orang yang tidak terlalu sakit, atau belum tertular virus?
Di situlah muncul obat-obat yang diklaim anti-virus. Sensasi hidroksi
Hydroxychloroquine disebut-sebut sebagai obat ajaib untuk infeksi virus corona. Donald Trump mengaku meminumnya. Pengusaha Clive Palmer dari Australia membeli hampir 33 juta dosis dan mengiklankannya di surat kabar.
Hydroxychloroquine adalah obat murah yang digunakan untuk mengobati penyakit malaria dan autoimun selama lebih dari 50 tahun.
Untuk melihat cara kerjanya, kita masuk kembali ke dalam "pabrik" sel.
Begitu virus corona menempel pada sel yang sehat, ia akan membentuk gelembung di dalam sel.
Gelembung, dengan virus di dalamnya, disebut endosom.
Hydroxychloroquine masuk ke dalam sel dan menumpuk di endosom, membuatnya kurang mengandung asam. Penumpukan ini menyebabkan endosome membengkak dan menghentikan virus agar tidak dilepaskan.
Jika virus tidak dapat keluar dari endosome, ia tidak dapat menggunakan mesin sel untuk mereplikasi dirinya dan membuat virus baru. Pada dasarnya, obat tersebut memaksa pabrik untuk berhenti bekerja.
Tapi tidak semua jenis hydroxychloroquine bisa melakukannya. Ini juga menenangkan respons imun yang terlalu bersemangat pada pasien yang sangat sakit.
Kedengarannya seperti obat ajaib, bukan?
Yang pasti Hydroxychloroquine merupakan obat untuk virus corona yang sedang diuji yang melibatkan lebih dari 120.000 orang. Ketika metode ilmiah menjadi berantakan
Pada 22 Mei, jurnal terkemuka Inggris The Lancet menerbitkan hasil penelitian terhadap 100.000 pasien COVID-19, membandingkan mereka yang dirawat dengan hydroxychloroquine dengan perawatan rumah sakit biasa.
Itu bukan ujicoba secara acak, tapi melihat ke belakang bagaimana pasien di enam benua merespon pengobatannya.
Hasilnya menunjukkan bahwa pasien yang menggunakan hydroxychloroquine lebih mungkin meninggal daripada pasien yang tak menggunakan obat itu. Mereka juga lebih rentan terhadap masalah jantung.
Di Australia, Professor Tong dan tim yang menjalankan ujicoba pada 2.400 pasien, menangguhkan pendaftaran pasien dalam kelompok hydroxychloroquine dan mulai bekerja menganalisis data dari makalah The Lancet.
Pakar statistik dalam tim ini mencatat bahwa data Australia tidak mungkin akurat.
Studi Lancet mengandalkan data yang dikumpulkan dari Surgisphere, sebuah perusahaan analitik data kecil, yang tidak akan merilis datanya ke peer reviewer.
Peer review sangat penting bagi integritas suatu penelitian ilmiah. Mereka adalah ilmuwan independen, bekerja di bidang yang sama, yang meninjau penelitian sebelum dipublikasikan di jurnal ilmiah.
Pada tanggal 4 Juni, perekrutan pasien untuk pengobatan hydroxychloroquine dalam ujicoba di Australia dimulai lagi, tapi pada 30 Juli, dibatalkan setelah ujicoba di luar negeri gagal menemukan manfaatnya.
Tapi itu bukanlah akhir dari hydroxychloroquine.
Marc Pellegrini, seorang dokter penyakit menular di Institut Walter and Eliza Hall Australia, sedang menguji apakah obat itu dapat mencegah petugas kesehatan terkena virus dalam percobaan bernama COVID SHIELD.
"Beberapa dari obat (influenza) yang paling mujarab, tak begitu bagus mengobati influenza, tapi sangat fenomenal dalam mencegah orang terinfeksi," katanya.
Profesor Pellegrini mengatakan hydroxychloroquine, digunakan oleh ribuan orang dengan rheumatoid arthritis, sebenarnya cukup aman.
Namun, bukannya tanpa risiko. Sebab bisa masuk ke sel jantung dan memengaruhi cara jantung berdetak.
Semua pasien dalam uji coba COVID SHIELD akan mendapatkan elektrokardiogram, tes untuk memeriksa apakah detak jantung mereka normal, sebelum diberi obat. Tidak bisa digandakan
Hydroxychloroquine dan tocilizumab bukan satu-satunya obat lama yang memberi harapan.
Para peneliti mencoba kombinasi obat HIV berusia 20 tahun dari lopinavir dan ritonavir untuk virus corona.
Untuk memahami dengan tepat bagaimana obat ini muncul, kita harus mempelajari lebih dalam ilmu RNA dan bagaimana virus mengkloning dirinya sendiri.
Tenang saja. Penjelasannya mudah dimengerti.
Setelah virus masuk ke dalam sel, endosom membuka dan mengeluarkan RNA virus.
RNA seperti paket desain virus.
Ini mengarahkan sel untuk membuat protein yang akan menghasilkan virus baru.
Virus menggunakan printer 3D dari sel, yang disebut ribosom, untuk menggandakan diri.
RNA memasok printer 3D tersebut.
...dan dua jaringan protein virus bernama polyproteins pun terbentuk.
Jaringan tersebut perlu dipotong-potong menjadi protein sendiri-sendiri.
Sayangnya, virus tersebut laksana pisau Swiss Army.
Ada guntingnya sendiri, yang disebut protease, hanya untuk pekerjaan ini.
Lopinavir, obat HIV lama, adalah protease inhibitor.
Ketika bersembunyi di dalam sel, ia mengikat protease virus ...
... dan menghentikan jaringan protein agar tidak terpotong.
Ini digunakan dengan ritonavir, yang bertindak seperti pengawal untuk membantu melindungi lopinavir.
Seperti hydroxychloroquine, hampir semua data yang menunjukkan bagaimana obat HIV ini bekerja pada virus corona berasal dari tabung reaksi.
Dalam ujicoba acak skala kecil pada 200 pasien di China, orang yang minum obat sembuh sehari lebih cepat daripada yang tidak, tapi perbedaannya tidak signifikan secara statistik.
Artinya, hal ini bisa terjadi secara kebetulan.
Namun, para peneliti memasukkan kombinasi HIV dalam tujuh percobaan di lebih dari 20.000 pasien.
Ini adalah ukuran seberapa besar perawatan diperlukan untuk mengalahkan virus corona. Peniruan mikroskopis
Antivirus lain, remdesivir, mungkin merupakan harapan terbaik untuk pengobatan yang mujarab.
Ini diambil dengan menyaring seribu molekul kecil untuk anti-virus Ebola dalam tabung reaksi. Tidak seperti perawatan potensial virus corona lainnya, obat ini tidak pernah digunakan pada pasien di luar uji klinis.
Seperti lopinavir, ia bertindak untuk mencegah virus menggandakan dirinya sendiri. Tapi itu menangani pekerjaan dengan sedikit berbeda.
Remdesivir bekerja pada tahap kedua replikasi virus - ketika virus mencoba menyalin RNA-nya.
Ingat protein virus yang dibuat oleh sel yang terinfeksi?
Virus menggunakannya untuk merakit mesin fotokopi RNA sendiri.
Hal ini disebut replikasi kompleks.
Untuk membuat RNA baru, virus mencuri bahan penyusun sel, yang disebut nukleotida.
Jaringan RNA virus baru pun keluar dari sisi lain.
Remdesivir bekerja pada tahap ini. Ini meniru salah satu blok pembangun sel dan memasukkan dirinya ke dalam untai RNA baru.
78/5000
Ini menyebabkan mesin fotokopi RNA macet dan RNA pendek dan tidak lengkap dibuat.
Tidak hanya blok bangunan cerdik yang dimasukkan ke dalam RNA virus, tapi remdesivir juga dapat 'mengelabui' kapasitas pemeriksaan virus, yang akan mengatasi penyumbatan.f Setiap hari sangat berharga
Langkah putus asa dan tergesa-gesa untuk mendapatkan obat virus corona menjadikan dunia penelitian klinis sebagai pusat perhatian.
Bahkan ada pihak yang sudah menggelar konferensi pers bahkan sebelum ujicobanya selesai.
Remdesivir menjadi obat virus corona pertama yang disetujui di Australia dan telah digunakan untuk pasien, meskipun uji klinis belum selesai.
Dan hasilnya?
Pasien yang memakai remdesivir pulih setelah 11 hari, dibandingkan dengan pasien yang tidak memakai yaitu 15 hari.
Delapan persen pada pemakai remdesivir meninggal dibandingkan dengan 12 persen yang tidak memakai.
"Jika setelah seribu pasien, Anda tidak memiliki signifikansi statistik, berarti perbedaannya tidak akan signifikan," kata Professor Tong. "Perbendaan ini penting dan saya pun akan minum obat itu, tapi tidak akan menyelamatkan semua orang".
Terobosan paling menarik sejauh ini berasal dari ujicoba Recovery Inggris.
Didukung jumlah pasien yang besar, ujicoba ini paling cepat dalam sejarah medis, mendaftarkan 1.000 pasien di 132 rumah sakit dalam 15 hari pertama.
Obat yang diujicobakan termasuk hydroxychloroquine, lopinavir dan ritonavir, dan antibiotik.
Tapi justru deksametason, kortikosteroid tua dan murah yang menyebabkan kehebohan pada 16 Juni lalu.
Deksametason membantu mengerem respons imun yang tidak terkendali dengan menekan "alarm" sitokin tersebut.
Pada sekitar 2.000 pasien, deksametason menurunkan tingkat kematian pada pasien yang menggunakan ventilator hingga sepertiganya.
Tapi tidak bermanfaat bagi pasien yang tidak membutuhkan bantuan untuk bernapas.
Deksametason akan mencegah satu kematian pada delapan pasien yang menggunakan bantuan ventilasi atau satu kematian pada 25 pasien dengan oksigen. 'Tak akan sempurna'
Perbedaan ini terlihat tidak besar, tapi mungkin itulah yang terbaik yang bisa kita harapkan saat ini.
Penyembuhan tampaknya belum mungkin.
"Bisa dikatakan, tidak satu pun dari semua ini yang akan mengubah keadaan," kata Professor Tong.
David Paterson, direktur pusat penelitian klinis Universitas Queensland, menambahkan, pada saatnya nanti akan ditemukan sesuatu yang lebih baik.
"Kita tidak gunakan kata penyembuhan. Kita bicara tentang perawatan. Saya kira tidak akan ada obat universal. Kita harus terima hal ini tidak akan sempurna," katanya.
Plasma darah Damian Fawkner hanyalah salah satu dari berbagi jenis perawatan yang dapat membantu kita mengatasi virus corona.
"Kalau tidak berhasil, setidaknya mereka sudah mencobanya," katanya. "Saya bahagia bisa menyumbang. Jika itu membantu, senang sekali."
Kredit Reporter: Catherine Hanrahan Designer, illustrator, animator: Ben Spraggon Developer: Joshua Byrd Laporan tambahan: Annika Blau Fotografer: Jack Fisher Editor: Matt Liddy
Penerjemah: Farid M. Ibrahim
Video Terpopuler Hari ini:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Daftar Nama Petenis yang Sudah Menyatakan Mundur dari US Open