Bjorka

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Senin, 12 September 2022 – 14:45 WIB
Peretas yang mengatasnamakan diri sebagai Bjorka mengeklaim telah membobol keamanan siber milik Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ilustrasi Foto: Antara

jpnn.com - Beberapa hari terakhir ini dunia digital di Indonesia ramai oleh isu pembobolan data oleh akun Bjorka, yang mengaku sebagai hacker atau peretas internasional. 

Berbagai data diretas oleh Bjorka, termasuk data level dewa milik Presiden Joko Widodo dan milik beberapa menteri.

BACA JUGA: Bjorka Mengeklaim Meretas Surat Menyurat Milik Presiden Jokowi, Kasetpres Bereaksi Tegas

Meskipun akurasinya masih perlu dikonfirmasi, tetapi akun milik Bjorka di Twitter, banyak disukai para netizen yang membanjirinya dengan berbagai komentar dan pujian. 

Kominfo yang bertanggung jawab atas keamanan siber seluruh warga negara Indonesia dibuat menjadi bulan betulan, bukan sekadar bulan-bulanan. 

BACA JUGA: Isu Bjorka Retas Data Jokowi, BSSN Gandeng Bareskrim dan Langsung Validasi Istana

Terbukti, Kominfo menutup akun Bjorka beberapa jam, tetapi kemudian dibuka lagi.

Banyak yang mencurigai Bjorka sebagai agen ganda. Ada yang menyebutnya sebagai peretas budiman, ada yang menjulukinya ‘’Robin Hood Digital’’, tetapi ada juga yang mencurigainya sebagai ‘’double agent’’, agen ganda, yang sengaja dimunculkan untuk mengalihkan perhatian publik dari dua isu besar, yaitu kasus Ferdy Sambo dan demonstrasi rakyat menentang kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak).

BACA JUGA: Bjorka Klaim Retas Dokumen Rahasia Milik Jokowi dari BIN, Hmm

Bjorka langsung bereaksi terhadap kecurigaan para netizen yang menganggapnya sebagai double agent. 

Kata Bjorka, dia tidak mengenal siapa itu Ferdy Sambo dan dia tidak merasa punya urusan dengan Sambo. 

Pernyataan ini tidak sepenuhnya meyakinkan, tetapi setidaknya sudah menjawab kecurigaan. 

Beberapa netizen melihat gelagat keanehan pada akun milik Bjorka yang relatif masih baru muncul ketika kasus Sambo dan kenaikan BBM ramai. 

Ini memunculkan kecurigaan bahwa Bjorka adalah hasil kerja cyber counter intelligent, yang bekerja untuk menetralisasi citra pemerintah yang hancur-hancuran dalam beberapa bulan terakhir.

Bjorka memang nakal dan kurang ajar. 

Dia membuka data-data Menteri Kominfo Johny G. Plate dan membukanya kepada publik. 

Di dunia digital tindakan itu lazim disebut sebagai ‘’doxing’’. 

Menteri Johny yang gerah kemudian mengganti nomor handphone-nya dengan nomor baru dari Amerika. 

Itu pun langsung ketahuan oleh Bjorka dan langsung dihajar lagi.

Terlihat sekali bahwa Menteri Johny hanya bisa bertahan total dari serangan Bjorka. 

Johny menerapkan strategi bertahan total. 

Serangan Bjorka ini memunculkan pertanyaan publik mengenai tingkat keamanan data pribadi warga negara. 

Kalau lembaga-lembaga negara saja bisa dibobol dengan mudah, bagaimana dengan data warga negara biasa.

Menteri Johny mempertanyakan mengapa publik mengelu-elukan Bjorka yang melakukan kejahatan digital. 

Publik sebenarnya tidak melakukan glorifikasi kejahatan digital oleh Bjorka, publik hanya merasa senang karena ternyata banyak data rahasia yang disembunyikan dari rakyat, dan sekarang dibobol oleh peretas dan menjadikannya sebagai informasi publik.

Tiga kasus muncul di Kominfo yang berhubungan dengan keamanan data pelanggan. 

Seperti yang diungkap oleh Bjorka, ada 1,3 miliar data kartu SIM yang bocor dan diperjualbelikan di Breached Forum. 

Menurut akun Bjorka, ada 26 juta data pelanggan Indihome yang bocor, dan masih ada lagi data 17 juta pelanggan PLN yang bocor.

Dengan jumlah data yang mencapai miliran berarti bukan hanya bocor tetapi bobol dan jebol. 

Kominfo gagal melindungi hak-hak privasi rakyat dan harus mempertanggungjawabkannya. 

Kalau Kominfo tidak bisa menjami keamanan digital negara dan warganya, maka kedaulatan digital Indonesia telah jatuh ke tangan para peretas.

Dalam akunnya, Bjorka mengaku telah meretas banyak data penting milik negara, termasuk data intelijen. 

Data ini akan dibeber kepada publik. 

Menko Polhukam Mahfud MD pun ikut berkomentar terhadap ancaman Bjorka ini. 

Kata Mahfud, Bjorka bisa saja membobol data pemerintah, tetapi data itu bukan data penting.

Tidak jelas apa maksud Mahfud MD dengan data yang tidak penting. 

Mungkin Mahfud menganggap bahwa data kecil itu tidak penting. 

Atau mungkin Mahfud menganggap bobolnya data jutaan pelanggan Indihome dan PLN itu tidak penting. 

Kalau Mahfud menganggap data itu tidak penting, tentu hal itu makin melukai hati rakyat, karena Mahfud menganggap data rakyat tidak penting.

Mungkin Mahfud harus diingatkan mengenai skandal Cambridge Analytica yang membobol data jutaan pengguna Facebook di Amerika dan jutaan lainnya di Inggris. 

Data yang bobol itu kemudian dimanfaatkan oleh konsultan politik untuk diperjualbelikan kepada klien yang akhirnya menjadi skandal politik yang mempermalukan Amerika dan Inggris.

Data yang bobol itu diperkirakan jatuh ke tangan kubu politik Donald Trump yang kemudian memanfaatkannya menjadi senjata kampanye komputasional untuk menyerang dan menjatuhkan lawan politik. 

Sudah jamak diketahui bahwa kemenangan Trump atas Hillary Clinton dalam Pemilihan Presiden 2015 dipengaruhi oleh kampanye negatif komputasional Trump terhadap Hillary.

Hal yang sama terjadi pada publik Inggris dalam kasus referendum ‘’Brexit’’ pada 2016. 

Referendum ini bertujuan untuk meminta pendapat rayat Inggris apakah tetap bergabung dengan Uni Eropa atau keluar dari Eropa. 

Data yang bocor itu dipakai sebagai alat untuk melakukan disinformasi kepada publik untuk mendiskreditkan kelompok pro-Eropa. 

Akhirnya, kelompok Brexit yang menghendaki Inggris keluar dari Eropa menang, dan Inggris pun keluar dari Uni Eropa.

Belakangan banyak orang yang menyesal akan pilihan itu. 

Keluarnya Inggris dari Uni Eropa dianggap sebagai kesalahan. 

Akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur basi, tidak bisa dimakan lagi. 

Inggris telanjur Brexit, dan Trump telanjur menang. 

Publik baru sadar bahwa data mereka yang dibobol dari Facebook ternyata jatuh ke tangan para oportunis politik yang tega membohongi rakyat dengan berita bohong.

Hoaks bermunculan selama kampanye Trump dan kampanye Brexit. 

Donald Trump merasa enteng saja bicara mengenai hal-hal yang tidak berdasar. 

Lawan politiknya menyebut bohong, tetapi Trump menyebutnya ‘’post-truth’’, pasca-kebenaran. 

Pendiri Facebook Mark Zuckerberg diadili oleh Kongres Amerika dan dimintai pertanggungjawaban atas kebobolan itu. 

Zuckerberg mengaku bersalah dan meminta maaf kepada pemerintah dan rakyat Amerika. 

Tragedi ini bisa terjadi di seluruh dunia termasuk di Indonesia.

Kalau data masyarakat yang bobol itu jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab, data itu bisa dipakai untuk disinformasi dan untuk menyebarkan hoaks. 

Kasus Trump bisa terjadi di Indonesia. Banyak kalangan yang meragukan pernyataan Presiden Jokowi mengenai subsidi BBM yang besarnya Rp 503 triliun.

Para ekonom kritis menunjukkan bukti-bukti bahwa data itu manipulatif. 

Akan tetapi, Jokowi mungkin memakai strategi ‘’post-truth’’ ala Donald Trump. 

Dia tidak merasa berbohong, dia hanya menyampaikan post-truth.

Kebobolan data ini bukan hal yang remeh. 

Menteri Mahfud tidak boleh menganggap data apa pun sebagai tidak penting. 

Menteri Mahfud tentu sudah tahu bahwa komputasi awan yang menghasilkan big data itu berasal dari data remeh temeh, yang kemudian diolah menjadi data emas berlian yang berharga tinggi.

Kebobolan data miliaran warga Indonesia itu, tidak mustahil, akan melahirkan kecurangan politik dalam Pemilu 2024 mendatang. Waspadalah. (*)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler