Blakblakan, Kepala ICU RS Keluhkan Fasilitas BPJS

Sabtu, 07 Januari 2017 – 05:32 WIB
BPJS Kesehatan. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com - JPNN.com - Kepala ICU Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) Kota Malang Wiwi Jaya mewakili beberapa dokter yang ada di Malang menyampaikan, ada hal-hal yang tidak realistis antara kebutuhan pasien di lapangan dengan fasilitas yang disediakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

”Bahkan itu terjadi sebelum Permenkes 64 keluar,” kata dia ketika ditemui Jawa Pos Radar Malang di ruang ICU Persada Hospital Malang, kemarin (6/1).

BACA JUGA: Masyarakat tak Perlu Cemas, Kartu BPJS Masih Sakti

Yang dimaksud adalah Permenkes Nomor 64 tahun 2016 tentang standar tarif pelayanan kesehatan dalam penyelenggaraan program jaminan kesehatan

Dia menyampaikan, selama ini kebutuhan pasien yang tidak termasuk ke dalam fasilitas BPJS Kesehatan dicover oleh rumah sakit.

BACA JUGA: RS Telat Perpanjang Kerjasama dengan BPJS, Pasien Cemas

“Jadi rumah sakit lebih berfungsi sebagai donatur kalau ada pasien yang tidak tercover oleh BPJS,” terang laki-laki yang juga menjabat sebagai Kepala ICU Rumah Sakit Persada itu.

Wiwi mencontohkan kondisi riil yang dialaminya selama menjadi dokter ICU di RSSA. “Pasien disini (ICU RSSA, red) kan berat-berat, seperti radang paru-paru dan gagal napas pasti pakai mesin ventilator (alat bantu pernafasan). Nah kalau dia inveksi, pasti kami ingin tahu kuman apa yang menyebabkan infeksi ini dan antibiotik apa yang sesuai dengan kuman itu,” ungkapnya.

BACA JUGA: Hamdalah, Bu Wako Cantik Naikkan Honor Penjaga Kuburan

Kemudian, setelah diketahui penyakit tersebut sensitif dengan antibiotik apa, selanjutnya pihak rumah sakit mencari dan memintakan pada BPJS.

”Misalnya pasien butuh antibiotik Tigecycline. Kemudian ketika kita mintakan ke BPJS ternyata tidak ada. Padahal pasien perlu diobati, tanpa diobati mana mungkin bisa sembuh. Akhirnya rumah sakit yang mengeluarkan dana untuk memberikan antibiotik ini pada pasien,” paparnya.

Misalnya, pasien A membutuhkan antibiotik Tigecycline untuk kesembuhan penyakitnya. Namun antibiotic itu tidak tercover oleh BPJS. Akhirnya obat itu menjadi tanggung jawab pihak rumah sakit. Padahal untuk 50 mg Tigecycline dihargai Rp 850 ribu.

Sedangkan dalam sehari satu pasien membutuhkan dosis sebanyak 150 mg atau tiga kali dalam sehari, artinya rumah sakit harus mengeluarkan dana sebesar Rp 2,5 juta per hari per pasien. Itulah yang memberatkan pihak rumah sakit.

Wiwi menyampaikan, jika hal ini terus-terusan dilakukan, mau sampai kapan rumah sakit harus mengeluarkan dana untuk mengcover biaya pengobatan pasien. Sebenarnya Wiwi sudah menyampaikan ketidaknyamanan ini kepada Kepala BPJS Jawa Timur, namun tidak ada respon hingga saat ini.

“Sudah saya sampaikan ketika ada pertemuan dengan BPJS Jatim bulan Desember tahun 2015. Tapi tidak ada tanggapan,” keluhnya.

Dia mengungkapkan, seharusnya asuransi itu tidak profit oriented. “Artinya tidak dipatok, lha ini dipatok. Jadi cukup atau tidak cukup ya sebanyak itu, kalau ada yang kurang ya jadi tanggung jawab rumah sakit,” kata dia.

“Silahkan saja dibuat sistem seperti itu, tapi harus ada plan B. Bagaimana solusinya,” lanjut Wiwi.

Di kalangan dokter-dokter, dirinya sering mengatakan, kenapa RSSA tetap bertahan karena rumah sakit itu punya pemerintah.

“Gaji semua pegawai baik direktur hingga karyawan dari gubernur. Artinya semua yang bekerja di RSSA tidak mengharapkan pemasukan dari pasien. Mau pasien bayar atau hutang, gaji tetap jalan,” terangnya.

Kemudian bagaimana dengan swasta? Nah ini lah yang selama ini menjadi pertanyaan, karena hingga saat ini belum ada solusinya.

“Yang kasihan tidak hanya dari pasien, tetapi juga rumah sakit,” ucapnya. Dia mengatakan, saat ini pihaknya hanya bisa menurut dengan ketentuan Permenkes 64 tersebut. Karena hal tersebut sudah sesuai dengan undang-undang (UU).

“UU mengatakan bahwa semua warga negara harus dicover oleh BPJS dan semua rumah sakit harus melayani BPJS. UU kan mau tidak mau harus dilaksanakan,” kata dia.

Dikatakan, dengan adanya Permenkes 64 ini justru semakin memberatkan lagi.

Kenapa ? Wiwi menjelaskan, dulu sempat ada istilah iur biaya. Yaitu adanya subsidi silang ketika pasien ingin naik kelas. Contohnya dari kelas 2 naik ke VIP tentu biayanya berbeda.

Dengan demikian kelas VIP harganya lebih mahal. Namun setelah diberlakukannya Permenkes 64, iur biaya dihapuskan.

“Pasien hanya boleh menambah biaya kamar. Akhirnya rumah sakit jadi kebingungan. Dengan fasilitas lebih tinggi, rumah sakit harus mengcover semuanya,” keluhnya.

Karena hal itulah, beberapa daerah akhirnya memutuskan kerjasama dengan BPJS.

Menurutnya, rumah sakit tidak mampu untuk menutup hal tersebut. “Ketika pasien butuh obat, tetapi tidak tersedia di formulariumnya BPJS, pasien tidak boleh membeli obat itu. Tapi pihak rumah sakit lah yang harus mengcover. Ini kan sama saja dengan bentuk dzalim,” tegasnya.

“Pertanyaannya, mau sampai kapan seperti ini,” imbuhnya. Saat ini pihaknya menginginkan adanya perbaikan dari aturan tersebut, sehingga bisa menghasilkan aturan yang sama-sama menguntungkan dari pihak manapun.

Asuransi berjalan lancar, rumah sakit tidak merasa terbebani, masyarakatpun juga enak. Karena saat ini yang membuat frustasi yakni berasal dari permasalahan obat tersebut.

Sementara itu Kepala BPJS Kesehatan Malang Indry Kurnia menyatakan, prinsipnya kalau di era JKN manakala peserta dirawat di rumah sakit sesuai dengan haknya, tidak akan menambah biaya sama sekali.

“Obatnya itu semua ada di dalam formularium nasional (fornas), yang sudah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan,” kata dia.

Misalkan obat tidak ada di dalam fornas, lanjut Indry, sebetulnya pasien boleh dibelikan obat melalui formularium yang ada di rumah sakit-rumah sakit.

Intinya ketika obat yang tidak ada di fornas, rumah sakit bisa memberikan melalui formularium. “Karena JKN membayar ke rumah sakit sudah paket. Jadi sudah termasuk semuanya,” terangnya. Memang diharapkan pasien tidak membeli obat, karena tidak ingin memberatkan pasien.

“Di ketentuan JKN memang seperti itu. Sesuai dengan haknya tidak menambah biaya,” lanjutnya. Jadi, istilahnya semuanya dilimpahkan dan menjadi tanggung jawab rumah sakit.

Dia mengungkapkan, sebenarnya semua obat sudah mencakup semua jenis penyakit, tapi kadang memang ada beberapa obat yang tidak tercover. Oleh karena itu rumah sakit bertanggung jawab untuk mengover.(fis)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kartu BPJS Tak Lagi ‘Sakti’ di Rumah Sakit Swasta


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler