jpnn.com - jpnn.com - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius meresmikan masjid dan ruang belajar di Pondok Pesantren Al-Hidayah, Sei Mencirim, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara, Jumat (24/2).
Ponpes itu dibina mantan terpidana kasus terorisme Khairul Ghazali.
BACA JUGA: BNPT Siap Tingkatkan Kualitas Kinerja
Dia pernah terlibat dalam kasus perampokan Bank CIMB Niaga pada 2010 silam
“Saya ucapkan terima kasih kepada orang-orang yang terlibat dalam pembangunan masjid ini. Pembangunan masjid ini merupakan bukan anggaran dari negara tapi anggarannya berasal dari orang orang dermawan, donatur dan tergerak hatinya untuk membantu pembangunan masjid.” kata Suhardi.
BACA JUGA: Belum Temukan Kaitan Eks Pejabat Kemenkeu dengan ISIS
Alumnus Akpol tahun 1985 ini mengatakan, penanggulangan terorisme bukan hanya menembak dan menangkap, tapi dengan menghadirkan negara di tengah tengah masyarakat.
Salah satunya melalui pembangunan masjid di tengah tengah masyarakat.
BACA JUGA: 3 Terduga Teroris Dibekuk Densus Setelah Uji Coba Bom
“Dengan hadirnya masjid maka doktrin-doktrin yang tidak baik akan dengan mudah dihindari. Kami komitmen, negara hadir untuk menanggulangi terorisme. Ini bentuk dan komitmen dalam rangka mencegah paham radikalisme,” kata mantan Sekretaris Utama (Sestama) Lemhanas ini.
Mantan Kabareskrim Polri ini menjelaskan, masjid itu untuk mendidik anak anak dari doktrin-doktrin yang tidak benar.
Sebab, sebagian besar para santri yang ada di pesantren tersebut adalah anak para pelaku tindak pidana terorisme.
“Anak-anak harus diberi pendidikan yang baik dan benar agar terhindar dari paham dan aksi terorisme. Di mana pembina dari pesantren ini adalah ustaz Khairul Ghazali yang pernah menjadi pelaku. Dia (Ghazali) yang akan memberikan pemahaman yang benar kepada anak-anak di pesantren ini bahwa jihad yang benar itu bukan merampok atau melakukan teror,” ujar mantan Kapolda Jawa Barat ini.
Menurutnya, keberadaan pesantren Al-Hidayah membuktikan komitmen BNPT dan masyarakat untuk mencegah dan mewaspadai bahaya terorisme.
“Ini juga sebagai wujud komitmen dan komunikasi yang baik antara BNPT dengan warga sekitar pondok pesantren dalam mendukung program nasional pemerintah sekaligus sebagai kepentingan BNPT dalam melakukan pembinaan, pencegahan sekaligus waspada terhadap bahaya radikalisme dan terorisme,” jelasnya.
Pria yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Divisi Humas Polri ini juga mengatakan, pembangunan masjid dan pesantren menjadi bagian upaya menjalankan program deradikalisasi dalam membina mantan narapaidana kasus terorisme dan keluarganya.
Langkah itu tidak akan berhenti sampai di sini saja. Program ini akan berlanjut ke Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur.
“Di Jawa Timur kami akan bicara dengan Ali Fauzi (mantan pelaku teror yang juga adik kandung dari terpidana mati kasus bom Bali, Amrozi) mengenai rencana ini. Jadi ini bukan sekadar wacana, kami langsung aksi. Masjid ini kami bangun selama lima bulan. Menaranya saja dikerjakan selama sebelas hari 24 jam nonstop,” ujar mantan Wakapolda Metro Jaya ini.
Sementara itu, Khairul mengatakan, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harga mati.
“Saya bersyukur bahwa keinginan saya untuk kembali ke jalan yang benar mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Untuk itu saya juga mengajak rekan-rekan saya untuk meninggalkan paham kekerasan dan kembali ke jalan kedamaian seperti yang diajarkan Islam,” ujar Khairul.
Meski begitu, dia menegaskan bahwa radikalisme dan terorisme tidaklah sesuatu yang tiba-tiba terjadi. Ada proses panjang yang menyebabkan radikalisme dan terorisme lahir dan berkembang.
Ini juga berarti bahwa penanggulangan terorisme tidak bisa dilakukan dengan singkat.
Dia menganggap, tambahan masjid megah dan dua ruang belajar untuk pesantrennya sebagai upaya penanggulangan terorisme yang tidak bisa dilakukan secara kilat tersebut.
“Radikalisme dan terorisme tidak terjadi mendadak, ia juga tidak akan habis dengan tiba-tiba, ada proses panjang yang perlu dilalui (untung menghabisi terorisme),” ungkapnya.
Secara lebih spesifik, pria yang dikaruniai sepuluh anak ini memberikan penekanan khusus kepada pentingnya melindungi anak-anak dari bahaya radikalisme dan terorisme.
“Saat ini, di sini saja, sudah ada 70 anak yang orang tuanya terlibat jaringan terorisme, baik langsung maupun tidak langsung. Saya dirikan pesantren ini untuk selamatkan anak-anak itu,” jelas Ghazali.
Anak-anak, erutama dengan orang tua yang memiliki keterkaitan dengan terorisme, dipandang sangat rawan terpapar radikalisme dan terorisme.
Doktrin utama yang biasa diberikan orang tua kepada anak-anaknya untuk menjerat mereka dalam kubangan terorisme adalah dalih birul walidain, yakni perintah untuk mematuhi orang tua.
Hal ini yang membuatnya serius menyelamatkan anak-anak melalui pesantren yang dikelolanya.
Hal utama yang dia lakukan adalah memberikan pemahaman keagamaan yang baik kepada anak-anak tersebut.
Ketika besar , mereka bukan saja terhindar dari bahaya radikalisme dan terorisme, tetapi juga bisa mengajak orang tua mereka untuk menyadari kesalahan dan kembali ke jalan yang benar.
“Anak-anak ini nantinya akan tahu bahwa jihad itu membangun, bukan menghancurkan. Melalui pendidikan yang benar, anak-anak dari keluarga teroris akan mengerti bahwa jihad yang dilakukan oleh orang tua mereka salah,” katanya. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menyedihkan, Anak Muda Kok Kesengsem ISIS
Redaktur : Tim Redaksi