jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf menyebut stigma radikalisme yang menyasar umat dan Islam dalam konteks global, sebenarnya sudah ditinggal beberapa negara.
Buktinya, kata dia, DPR di Amerika Serikat (AS) dan didukung presiden negara adidaya itu berupaya meloloskan Undang-Undang Tentang Anti-Islamofobia pada 14 Desember 2021 silam.
BACA JUGA: BNPT Ungkap 5 Ciri Penceramah Radikal, Al Chaidar Menyoroti soal Khilafah
Sementara itu, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau sudah mengumumkan bakal mengangkat duta besar khusus untuk memerangi Islamofobia.
Menurut Bukhori, masyarakat dunia telah tiba pada satu kesadaran bahwa akar dari radikalisme bukanlah agama.
BACA JUGA: Brigjen Ahmad Nurwakhid dari BNPT Ungkap 5 Ciri Penceramah Radikal
"Narasi agama sebagai basis kekerasan yang dikemas dalam bentuk Islamofobia sudah usang di Barat maupun di belahan dunia lainnya," kata legislator Fraksi PKS itu melalui keterangan persnya, Rabu (9/3).
Namun, kata Bukhori, pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) justru membeberkan indikator atau ciri penceramah radikal di Indonesia.
BACA JUGA: Tingkatkan Kewaspadaan, BNPT Beberkan Ciri Penceramah Radikal
BNPT sebelumnya membeberkan ciri penceramah radikal yaitu yang mengajarkan ajaran yang anti-Pancasila, mengembangkan paham takfiri, menanamkan sikap anti-pemimpin, memiliki sikap eksklusif, dan bersikap eksklusif terhadap lingkungan.
Menurut Bukhori, indikator yang diungkap BNPT terkesan menyudutkan umat dan Islam. Narasi itu yang sebenarnya sudah ditinggal sejumlah negara di dunia.
"Ketika kita masih berkubang dalam narasi serupa, sangat tidak relevan dengan apa yang menjadi isu prioritas global saat ini seperti mitigasi dampak perubahan iklim dan pemulihan dari pandemi," beber legislator Daerah Pemilihan I Jawa Tengah itu.
Bukhori kemudian menyebut pangkal radikalisme sebenarnya ketidakadilan, baik di bidang hukum, ekonomi, sosial, dan politik.
Tidak hanya itu, hilangnya kesejahteraan, rasa aman, dan munculnya rasa keterasingan di negeri sendiri turut berkontribusi terhadap munculnya bibit radikalisme.
“Jadi, akar masalahnya bukan terletak pada agama. Benih-benih kekerasan itu dapat muncul, salah satunya, akibat kian lebarnya jurang ketimpangan ekonomi antara si kaya dan si miskin.
Menurut Bukhori, negara seharusnya hadir menjawab persoalan ketidakadilan di Indonesia demi menyelesaikan persoalan radikalisme.
Misalnya, negara melalui pemerintah membuat instrumen kebijakan yang memihak pada kaum yang lemah serta konsisten menunaikan amanat konstitusi.
"Oleh karena itu, seharusnya pemerintah fokus saja mengatasi hulu persoalan, yakni ketidakadilan ketimbang menghabiskan energi pada isu radikalisme yang justru memicu pembelahan sosial di masyarakat,” pungkas Bukhori.(ast/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Heboh Perempuan Berjilbab Nikah di Gereja, Romo Benny Sebut Syarat Pernikahan Beda Agama
Redaktur : Friederich
Reporter : Aristo Setiawan