jpnn.com - AKHIR 2013 menjadi momen tidak terlupakan bagi Rusia. Khususnya, sekitar 1 juta penduduk Kota Volgograd, Volgograd Oblast, dan Presiden Vladimir Putin. Ledakan dua bom bunuh diri secara berurutan, dalam waktu kurang dari 24 jam, menjadi kenangan terakhir mereka menjelang pergantian tahun.
TIAP tahun Putin selalu merekam pidato tahun baru. Biasanya, seluruh stasiun televisi Rusia menayangkan pidato tersebut sekitar lima menit menjelang tahun baru tiba. Pada Rabu (1/1), ada yang berbeda dengan pidato sang presiden. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, pidato tahun baru kali ini mengandung amarah.
BACA JUGA: Petinggi Al-Qaeda Tewas Dalam Sel di Libanon
Ya, dalam pidato tahunan, Putin mengecam keras dua aksi bom bunuh diri yang merenggut total 34 nyawa tersebut. Dua insiden yang terjadi pada 29 Desember dan 30 Desember 2013 itu berhasil menorehkan warna kelam pada malam pergantian tahun di Rusia. Padahal, di Negeri Beruang Merah tersebut, perayaan tahun baru jauh lebih penting daripada Natal.
Insiden pada pengujung 2013 itu membawa kembali memori publik Rusia di masa awal kepemimpinan Putin pada 1999. Pada Agustus 1999, mantan Presiden Boris Yeltsin menunjuk langsung mantan pimpinan badan keamanan Rusia tersebut sebagai penggantinya. Yeltsin pun langsung memercayakan jabatan perdana menteri (PM) kepada Putin.
BACA JUGA: Sapi Berkepala Dua Lahir di Maroko
Sekitar sebulan setelah Putin menjabat PM, serangkaian aksi teror langsung pecah di Rusia. Ledakan demi ledakan terjadi pada waktu hampir bersamaan di Kota Moskow dan kota-kota lain. Putin langsung menyalahkan pemberontak Chechnya. Dia bahkan memerintahkan razia di Dagestan dan mengirimkan sejumlah besar pasukan ke lokasi tersebut.
Ketika itu, menurut Leonid Ragozin, kontributor Al Jazeera dari Moskow, Putin sedikit lepas kendali. "Aksinya untuk membungkam teroris di perbatasan Chechnya sukses. Tapi, Putin memerintah pasukannya untuk merazia lebih lanjut di Kota Grozny. Tujuannya, menumpas habis teroris di negara tersebut," terangnya pada Selasa (31/12).
BACA JUGA: Putin Cabut Larangan Demonstrasi di Olimpiade Sochi
Aksi Putin itu menuai apresiasi Yeltsin. Pada tahun yang sama, yaitu 1999, tepat pada malam pergantian tahun, Yeltsin mengumumkan pengunduran dirinya dan menunjuk Putin sebagai presiden. Begitu menerima mandat tersebut, Putin langsung terbang ke Chechnya dan memerintah pasukannya supaya lebih aktif membersihkan jaringan teror di wilayah tersebut.
Sukses Kaum Separatis
Sejak saat itu sampai sekarang, Putin pun sukses membentuk opini publik bahwa dialah pahlawan Rusia. Berkat dia, Rusia menjadi lebih aman dan stabil. Setidaknya, reputasi buruk Rusia di Chechnya sepanjang 1990-an terbayarkan. Di bawah komando pria penggemar judo tersebut, Rusia menjelma menjadi negara kuat.
"Tapi, serangkaian insiden teror lantas terjadi beruntun," tulis Ragozin. Di antaranya, serangan di Dubrovka Theatre dan drama penyanderaan di salah satu sekolah di Kota Beslan, Distrik Pravoberezhny. Namun, dengan bersenjata media, Putin sukses menyelamatkan reputasi sebagai pemimpin tangguh yang sukses melibas teroris.
Kini keamanan kembali menjadi sorotan di Rusia. Terutama karena dalam waktu sekitar enam pekan mendatang, pemerintahan Putin menghelat Olimpiade Musim Dingin di Kota Sochi. Sejak akhir tahun lalu, dunia menyorot persiapan Rusia sebagai tuan rumah pesta olahraga yang dibuka pada 7 Februari mendatang tersebut.
Terpilihnya Sochi sebagai tuan rumah membuat Rusia mempertaruhkan reputasinya sebagai negara aman dengan tentara yang solid. Sebab, Sochi merupakan salah satu kota yang digadang-gadang separatis Kaukasus Utara sebagai bagian penting dari wilayahnya. Yakni, wilayah negara Islam yang mereka upayakan lahir di Rusia.
Sejak menetapkan Sochi sebagai titik fokus utama olimpiade, Rusia memperketat penjagaan keamanan di kota tersebut. Konon, itulah salah satu faktor penting yang menjadi pertimbangan pelaku dua serangan bom bunuh diri akhir tahun lalu. Lantaran mustahil melancarkan serangan maut di Sochi, mereka lantas mengalihkan sasaran ke Volgograd.
Dua serangan mematikan di Volgograd yang berjarak sekitar 690 kilometer dari Sochi tersebut membuat pemerintahan Putin mempertimbangkan kembali keamanan olimpiade. Sebab, reputasi baik pemimpin 61 tahun itu dipertaruhkan. Sebelumnya, dia menggembar-gemborkan bakal menjadikan Olimpiade Sochi sebagai perhelatan olahraga paling aman.
"Ini akan menjadi olimpiade paling aman sepanjang sejarah," jelas Dmitry Chernyshenko, ketua komite Olimpiade Sochi, beberapa waktu lalu. Janji tersebut, tampaknya, akan membutuhkan kerja lebih keras agar terwujud. Terutama pascadua serangan teror yang diyakini sebagai hasil perbuatan kelompok yang sama pada akhir 2013.
Di mata para pengamat keamanan, serangan sukses di Volgograd itu merupakan prestasi bagi kelompok separatis Kaukasus Utara. Sebab, selama ini kota yang dulunya dikenal dengan nama Stalingrad tersebut menjadi simbol kegigihan Rusia (dulu Uni Soviet) selama Perang Dunia II. Artinya, pada akhir 2013 teroris telah sukses meruntuhkan simbol kebanggaan Rusia.
"Selama dua dekade terakhir, krisis di Kaukasus Utara sudah bermutasi dari perjuangan separatis menjadi aksi jihad global dengan satu tujuan, mendirikan negara Islam di wilayah tersebut," papar Ekaterina Sokiryanskaya, pakar Kaukasus, pada International Crisis Group (ICG) Jumat (3/1).
Menurut dia, dua serangan teranyar itu adalah dampak terlalu fokusnya pengamanan di Sochi. Apalagi, tentara Putin sempat merepresi kelompok minoritas muslim Salafi di Kaukasus Utara. Karena terlalu berfokus di Sochi, pemerintah cenderung mengabaikan keamanan di wilayah lain. Termasuk, di Volgograd yang menjadi salah satu pintu masuk ke Sochi. (The Economist/Al Jazeera/hep/c14/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Temukan Jembatan Era Dinasti Ming
Redaktur : Tim Redaksi