Boni Hargens: Kalau Urusan Ini, TNI Sudah Ahlinya

Rabu, 17 Juni 2020 – 02:00 WIB
Analis Politik sekaligus Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens. Foto: ANTARA/Foto: Feru Lantara

jpnn.com, JAKARTA - Analis Politik sekaligus Direktur Lembaga Pemilih Indonesia, Boni Hargens menyampaikan sejumlah kriteria calon Panglima TNI yang akan menggantikan Marsekal TNI Hadi Tjahjanto.

Menurut Boni, kriteria pertama adalah sosok yang sejalan dengan cita-cita politik Presiden Jokowi.

BACA JUGA: Boni Hargens Bicara Kriteria Calon Kapolri Pengganti Jenderal Idham Azis

“Saya tidak bilang lagi soal loyal pada Pancasila dan UUD 1945 karena TNI sudah ahlinya urusan itu. Mereka yang paling loyal kalau urusan ideologi negara dan konstitusi. Periode pemerintahan Pak Jokowi adalah momentum untuk pembaruan di segala dimensi. Maka, perlu dukungan institusi militer untuk menjamin keamanan dalam segala aspek,” kata Boni Hargens dalam keterangan persnya, Selasa (16/6) malam.

Lebih lanjut, Boni mengatakan kriteria kedua adalah panglima TNI baru mesti sosok yang dapat diterima di internal institusi militer dan dapat membangun solidaritas antarangkatan di dalam tubuh TNI.

BACA JUGA: Boni Hargens Mengaku Sudah Kantongi Nama Para Tokoh yang Ingin Merancang Kudeta

Kriteria ketiga, menurut Boni, Panglima TNI yang baru harus memiliki pemahaman yang komprehensif dan kemampuan bertindak cepat dalam memerangi bentuk-bentuk ancaman yang mengganggu keutuhan NKRI, Pancasila, dan UUD 1945, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. 

“Perang zaman sekarang sudah berpindah dari medan tempur fisik ke ruang yang tak kelihatan. Polanya asimetris dan selalu acak. Musuh kita tak kelihatan tetapi terasa dan mereka ada. Maka, TNI sebagai garda terdepan pengamanan negara harus dipimpin oleh panglima yang memiliki pemahaman tentang semua itu,” katanya.

BACA JUGA: Ratusan Kapal Nelayan Kepung Kapal Perang TNI AL, Ada Apa?

Lebih lanjut, Boni mengatakan kriteria keempat yakni panglima TNI yang baru mesti memiliki kemampuan inovasi yang memadai dalam konteks melanjutkan upaya profesionalisasi militer yang sudah sukses berjalan setelah 1998.

Menurutnya, militer Indonesia sudah canggih dalam ilmu perang, dan kita yakin justru akan makin canggih dalam semua cabang ilmu pengetahuan.

“Untuk itu, perlu ada kepemimpinan yang beradaptasi dengan kemajuan ilmu pengetahun dan teknologi,” tegas Boni.

Pada kesempatan itu, Boni menegaskan bahwa bangsa Indonesia sudah berjalan sejauh ini karena ada Tentara Nasional Indonesia yang menjadi kekuatan utama dalam menjaga keamanan dari berbagai potensi ancaman yang datang baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Seperti terorisme dan gejolak separatisme.

Menurut Boni, sejarah sudah mencatat semua prestasi TNI dalam mempertahankan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.

Sejarah mengajarkan kita bahwa demokrasi sipil yang makin kuat saat ini juga tumbuh dan berkembang karena TNI kita makin profesional dan menjunjung tinggi demokrasi. Tetapi tak bisa kita pungkiri keadaan bahwa ada kelompok sipil yang muncul dengan mengatasnamakan apapun untuk memperjuangkan cita-cita politik yang sempit.

Boni menyebutkan ada yang memakai simbol etnik untuk memerdekakan diri dari NRKI. Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Organisasi Papua Merdeka (OPM), dan Republik Maluku Selatan (RMS) benar-benar nyata dan masih bergerak. Tokoh-tokoh mereka terus bergerak di luar negeri mempengaruhi opini dunia untuk mendapatkan dukungan internasional.

Menurut Boni, pemerintahan Presiden Jokowi sejak awal mulai dengan komitmen kemanusiaan yang kuat untuk berpihak pada kelompok yang miskin dan “terlupakan” dalam proses pembangunan sejak Indonesia merdeka. Itu sebabnya Papua menjadi begitu diistimewahkan oleh Presiden Jokowi sejak awal. Demikian juga Aceh dan daerah terluar lainnya di tapal batas yang menghubungkan kita dengan dunia luar.

“Fokus utama negara adalah bagaimana menciptakan kesejahteraan bagi setiap warganya. Tetapi apa yang terjadi saat ini, politisasi makin liar. Gejolak isu rasialisme Papua saat ini tidak sepenuhnya persoalan kemanusiaan, meskipun diakui aspek kemanusiaan di balik isu itu cukup menonjol. Tetapi, harus juga kita jujur, bahwa ada unsur politik dalam gerakan itu,” ujar Boni.

“Ada kelompok politik dari Pulau Jawa yang ikut-ikutan memainkan isu ini untuk kepentingan Pilpres 2024. Mereka tidak sepenuhnya peduli Papua, mereka hanya ingin merusak negara dan mencoreng citra pemerintahan Presiden Jokowi.”

Dalam situasi macam ini, lanjut Boni, koordinasi TNI dengan Polri dan Badan Intelijen Negara menjadi kekuatan sentral yang menjamin pengendalian situasi bisa berlangsung efektif dan tetap dalam koridor demokrasi.

Selain itu, ada juga gejolak karena kebangkitan laskar-laskar yang menjual-jual ayat kitab suci untuk memperjuangkan “negara agama”. Mereka menjadi broker politik untuk kepentingan elite dan partai tertentu.

“Risikonya adalah negara menjadi tidak aman dan ruang sosial masyarakat terganggu,” ujar Boni Hargens.(fri/jpnn)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler