jpnn.com, JAKARTA - Defisit yang dialami Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang diprediksi mencapai Rp 9 triliun pada tahun ini, salah satunya disebabkan adanya fraud atau kecurangan manajemen,
Fraud menjadi satu dari banyak faktor, karena menyebabkan adanya pembengkakan pembayaran dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tersebut.
BACA JUGA: BPJS Kesehatan Tak Boleh Mencari Untung
“Semestinya, BPJS itu hanya membayar sedikit, karena fraud akhirnya bayarnya banyak. Fraud ini dilakukan oleh banyak pihak, mulai dari petugas BPJS, petugas medis, pihak rumah sakit, bahkan juga oleh masyarakat. Ini yang mesti diselesaikan oleh BPJS terlebih dahulu,“ kata Wakil Ketua Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay saat dihubungi jpnn.com, Rabu (1/11).
Selain itu, persoalan pendataan juga memberikan kontribusi. Sejauh ini, pendataan kepesertaan BPJS Kesehatan dinilai masih carut-marut.
BACA JUGA: Politikus PAN: BPJS Kesehatan Membebani APBN
Terutama, pendataan kepesertaan Penerima Bantuan Iuran (PBI). Ada banyak peserta yang tercatat, tetapi orangnya tidak ada.
Pertanyaannya, kata politikus PAN ini, apakah peserta yang tercatat itu tetap dibayar atau tidak? Karena, dalam sistem jaminan sosial, ada pembayaran kapitasi. Selama orang itu tercatat di dalam satu faskes tertentu, maka BPJS akan membayarkan kapitasinya setiap bulan.
BACA JUGA: BPJS Kesehatan Defisit Rp 9 Triliun, JK: Jangan Dibiarkan
"Kalau faskesnya milik pemerintah, kapitasinya enam ribu rupiah, dan kalau miliki swasta kapitasinya sepuluh ribu. Kalau banyak kepesertaan yang orangnya tidak ada, berarti ini berkontribusi pada membengkaknya pembayaran BPJS," jelasnya.
Selain itu, faktor lain yang menyebabkan defisit adalah tidak seimbangnya antara cakupan pelayanan yang harus disediakan oleh BPJS dengan nilai iuran yang menjadi kewajiban peserta. Menurut perhitungan BPJS Kesehatan, untuk peserta dari data PBI saja, idealnya pemerintah membayar premi sebesar Rp 32 ribu.
Kenyataannya, peserta dari data PBI, premi yang dibayakan hanya Rp 23 ribu. Ada selisih Rp 9.000. Jika dikalikan dengan jumlah peserta PBI yang saat ini mencapai 92,4 juta, maka nilainya tentu sangat besar.
“Ini juga perlu dipikirkan pemerintah. Saya setuju ada perhitungan ulang yang akurat terhadap aktuaria dan iuran peserta BPJS. Namun sebelum itu dilakukan, BPJS Kesehatan, Kemenkes, dan Kemensos diminta untuk menyelesaikan perbaikan data kepesertannya," pungkas politikus asal Sumatera Utara itu.(fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemerintah Belum Perhatikan Pelayanan Kesehatan di Nias
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam