BPK Nilai Dinkes Sumbar Boros

Selasa, 21 April 2009 – 19:37 WIB
JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menilai Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Sumbar telah melakukan pemborosan keuangan daerah sebesar Rp 970.408.860, indikasi kerugian daerah Rp 166.451.089, dan sanksi denda yang belum dikenakan dalam pengadaan obat pelayanan kesehatan dasar (PKD) dan buffer stock provinsi tahun 2008 sebesar Rp 692.825.153,32.

Dalam laporan hasil pemeriksaan BPK, disebutkan bahwa pada tahun anggaran 2008, Dinkes Sumbar menganggarkan pengadaan obat (PKD) buffer stock sebesar Rp 9.504.450.000 yang direalisasikan melalui mekanisme pelelangan terbatas dan dimenangkan PT Indofarma Global Medika, dengan kontrak senilai Rp 9.490.755.525Jangka waktu pelaksanaan kontrak adalah selama 120 hari dengan jaminan pelaksanaan sebesar 5 persen dari kontrak, atau senilai Rp 474.537.776 pada Bank Mandiri Cabang Jakarta Graha Irama yang berlaku mulai tanggal 21 April sampai tanggal 18 Agustus 2008.

"Berdasarkan pemeriksaan terhadap pengadaan obat tersebut, diketahui obat yang diadakan dalam kontrak dan telah diserahkan, tidak sepenuhnya merupakan obat generik berlogo (OGB)

BACA JUGA: Banjir Besar, Bandara Lumpuh Lagi

Tetapi terdapat beberapa obat generik bernama dagang (branded generic), yaitu Pehamoxil Forte, Pehacain, Fenicol 0,5%, dan Carpine 2% tetes mata," demikian hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Semester II Tahun 2008 atas belanja pelayanan publik di Sumbar, yang disampaikan dalam Sidang Paripurna DPR, Selasa (21/4).

Subdin Bina Farmasi sebagai pihak yang menentukan spesifikasi dan jenis obat yang dibutuhkan, menyatakan bahwa pengadaan obat generik bernama dagang untuk beberapa item tersebut karena tidak tersedianya OGB tersebut di pasaran
Sehingga katanya, diputuskan untuk mencantumkan obat generik bernama dagang dalam daftar kebutuhan obat sebagai dasar penyusunan harga perkiraan.

Tim pemeriksa bersikap bahwa alasan yang diungkapkan Subdin Bina Farmasi tersebut tidak dapat diterima, karena tidak terdapat bukti atas kelangkaan obat tersebut, berupa surat resmi dari produsen yang menyatakan kekosongan atau tidak diproduksinya jenis OGB itu

BACA JUGA: Bupati-Wakil Bupati Lombok Barat Terpilih Segera Dilantik

Di samping itu, beberapa kabupaten/kota dan unit pelayanan kesehatan justru dapat mengadakan OGB jenis tersebut.

Jika dibandingkan dengan harga OGB sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menkes No
302/Menkes/SK/IV/2008, harga obat generik bernama dagang pada kontrak tersebut lebih mahal sebesar Rp 896.199.810

BACA JUGA: Depdagri Proses Plt Walikota Manado

Jika dibandingkan dengan harga batas toleransi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menkes No 696/Menkes/Per/VI/2007 tentang Harga Obat Generik Bernama Dagang pada Sarana Pelayanan Kesehatan Pemerintah, harga obat generik yang terdapat dalam kontrak lebih tinggi sebesar Rp 78.119.760.

Masih dari catatan BPK, pada 25 Juli 2008 dilakukan adendum II (Nomor 18b/Panit/DPASKPD/KES/VII/2008)Dalam adendum II itu dilakukan beberapa perubahan, antara lain, pertama, pengurangan masa kadaluarsa untuk beberapa item obat yang seharusnya minimal dua tahun menjadi kurang dari dua tahunKedua, penggantian beberapa item OGB dengan obat generik bernama dagang dengan alasan kekosongan stok dan kelangkaan bahan baku, sehingga biaya pengadaannya bertambah mahal sebesar Rp 240.660.139.

"Jika dibandingkan dengan harga batas toleransi untuk pengadaan obat generik bernama dagang, harganya lebih tinggi sebesar Rp 88.331.329," demikian laporan BPK.

Berdasarkan pemeriksaan fisik, diketahui bahwa pekerjaan selesai pada tanggal 30 Oktober 2008Berdasarkan kontrak awal (sebelum adendum), pekerjaan ini terlambat 73 hari, oleh karena itu harus dikenakan denda keterlambatan sebesar Rp 692.825.153,32Kondisi tersebut dinilai BPK tidak sesuai dengan Keppres 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Harga kontrak pengadaan lebih tinggi sebesar Rp 1.136.859.949, yang terdiri dari Rp 970.408.860 berupa pemborosan keuangan daerah karena mengadakan obat generik bernama dagang (seharusnya OGB), serta sebesar Rp 166.451.089 (Rp 78.119.760,00 ditambah Rp 88.331.329) berupa kerugian daerah karena mengadakan obat generik bernama dagang melebihi harga toleransiSementara keterlambatan penerimaan obat, sehingga tidak dapat segera dimanfaatkan sebagaimana mestinya, dan sanksi denda keterlambatan yang belum diterima berjumlah sebesar Rp 692.825.153,32.

Soal lain yang disorot BPK adalah pembayaran subsidi premi asuransi kesehatan masyarakat miskin TA 2007 dan 2008, yang belum tertib dan bermanfaat secara optimal, serta merugikan keuangan daerah sebesar Rp 19.530.000Pada 2007 dan 2008, Dinkes Sumbar mengalokasikan belanja premi asuransi kesehatan masing-masing sebesar Rp 9.087.022.000 dan Rp 3.150.000.000, dengan realisasi masing-masing sebesar Rp 3.772.560.000 atau 41,51 persen dan Rp 2.557.440.000 atau 81,18 persenBelanja premi asuransi kesehatan itu digunakan untuk memberi bantuan/subsidi kepada pemerintah kabupaten/kota di Sumbar yang melaksanakan program Jamkesda.

Hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap data peserta Jamkesda Kota Padang, Kabupaten Padang Pariaman, Pesisir Selatan dan 50 Kota yang diperoleh tim dari Dinas Kesehatan Provinsi dan PT Askes, diketahui bahwa terdapat peserta Jamkesda yang didaftarkan lebih dari satu kali (double) dan tidak ada nama pesertanya.

Temuan lainnya adalah pengadaan belanja jasa laboratorium (Pemeriksaan Sampel Urine) TA 2008 pada Dinkes Sumbar sebesar Rp 449.955.000, yang tidak sesuai Keppres No80 Tahun 2003Kemudian juga ditemukan harga pengadaan AC, swing fog dan billboard pada TA 2008 di Dinkes tersebut yang lebih mahal dan merugikan daerah sebesar Rp 87.842.000Sedangkan pengadaan alat-alat laboratorium kimia sebesar Rp 609.101.598 pada UPTD Balai Laboratorium Dinkes Sumbar TA 2008 oleh CV Primarindo Sakti Nusadua, juga tidak dapat dilaksanakan sesuai kontrak(fas/JPNN)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Polres Mataram Gagalkan Pengiriman TKW Ilegal


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler