jpnn.com, JAKARTA - Pemerhati dinamisasi energi Brando Susanto mengkritik pemerintah yang berencana melakukan migrasi penggunaan kompor gas elpiji menjadi kompor listrik.
“Rencana pemerintah tersebut perlu dilakukan pengkajian ulang,” ujar Brando Susanto pada Sabtu (24/9).
BACA JUGA: Brando Susanto: Wacana Konversi Kompor Gas ke Listrik Akan Bebani Masyarakat
Brando menilai pemerintah telah membagikan kompor listrik sekitar 300 ribu unit di Bali.
Namun, kata Brando, kompor listrik didesain menggunakan Miniatur Circuit Breaker (MCB) berdaya 3.500 watt. Padahal rumah tangga miskin masih menggunakan daya 450 VA.
BACA JUGA: Soroti Program Bagi-bagi Kompor Listrik Gratis, Brando Beri Catatan Begini
“Kompor listrik hanya bisa digunakan oleh rumah tangga yang menggunakan daya besar. Bisa dibayangkan program kompor listrik diperuntukkan untuk masyarakat miskin yang sehari-hari mereka menggunakan daya 450 VA,” ujar Brando Susanto.
Menurut Brando, kompor listrik hanya bisa digunakan oleh rumah tangga yang menggunakan daya besar.
BACA JUGA: Brando: Gerakan SICITA Tampung Aspirasi Terhadap Permasalahan di Wilayah
Dia menyebut baru-baru ini, muncul polemik atas penghapusan daya listrik 450 VA dinaikkan menjadi 900 VA. Pada akhirnya dianulir oleh Presiden Jokowi bahwa pemerintah tidak akan menghapus daya listrik 450 VA.
Brando pun merasa aneh jika terburu-buru pemerintah mendorong bagi-bagi kompor listrik gratis.
Dia mengatakan pemerintah seharusnya fokus memberdayakan keadilan listrik di desa-desa.
“Di desa-desa masih banyak yang byarpettt. Bukan malah bagi-bagi kompor listrik,” kata Brando.
Brando mengatakan listrik dan elpiji sama-sama produk energi tidak terbarukan dan harganya ditentukan oleh currency luar dan market internasional.
Selain itu, menurut Brando, orang Indonesia kebanyakan memasak dengan berbagai bumbu agar sehat dan sedap.
“Jadi, masakan daerah di masyarakat akan kehilangan Cita Rasa Nusantara nya dengan kompor listrik. Jangan hanya ditest perbandingan untuk memasak panad saja dengan kompor listrik," katanya.
Menurut Brando, kebijakan tidak boleh mengorbankan masyarakat dengan proyek uji coba kompor listrik apalagi bagi-bagi gratisan.
Menurut Brando, bergembar-gembor bagi kompor listrik gratis hendaknya jangan jadi ajang kampanye di masyarakat. Nanti perangkatnya diterima, tetapi tidak dipakai sebagai mana semestinya.
Anggota VII DPR RI Mulan Jameela juga mengkritik rencana pemerintah yang ingin melakukan migrasi penggunaan kompor gas elpiji menjadi kompor listrik.
“Ini, saya jujur, ya. Kapasitas saya sebagai anggota Dewan dan sebagai emak-emak. Kami di rumah saja punya kompor listrik tetap tak bisa lepas dari gas, karena masakan Indonesia ya beda. Bukan (seperti) masalah orang bule yang pancinya seukuran begitu saja,” ungkap Mulan saat rapat di Komisi VII DPR RI pekan ini.
Hal senada juga diungkapkan Ekonom Bhima Yudhistira. Dia menilai masyarakat Indonesia membutuhkan waktu yang lebih lama untuk beradaptasi memasak dengan menggunakan kompor listrik.
Bhima menyebut ini tidak terlepas dari budaya memasak di Indonesia. Aspek budaya ini kata Bhima, tidak hanya berlaku bagi masyarakat kelas menengah ke bawah atau miskin melainkan juga kepada rumah tangga kalangan menengah atas.
“Jangankan orang miskin, kelompok menengah atas sebenarnya juga sudah mengenal kompor listrik sejak lama,” kata dia.
Rumah tangga kelas atas sudah sejak lama mengenal kompor listrik. Beberapa dari mereka pun sudah pernah mencoba menggunakan kompor induksi.
Hanya saja, pada akhirnya mereka kembali menggunakan kompor gas LPG karena kompor induksi kurang kompatibel untuk budaya memasak di tanah air.
"Mereka (kalangan menengah atas) nyaman pakai LPG karena proses memasak yang lebih cepat," kata Bhima.
Untuk itu dia menilai rencana pemerintah untuk melakukan migrasi ke kompor listrik perlu dikaji ulang.
Dia khawatir masyarakat yang menjadi sasaran dari program ini juga mengalami hal serupa.
“Saya khawatir uji coba dari penggunaan kompor listrik akan kembali lagi pakai kompor LPG karena memasak lebih cepat," pungkas Bhima.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari