jpnn.com, JAKARTA - Ketua DPD Taruna Merah Putih Provinsi DKI Jakarta Brando Susanto menyoroti soal sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup yang saat ini hangat dibicarakan masyarakat.
Menurut Brando, sistem proporsional terbuka dan tertutup masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.
BACA JUGA: Fahri Hamzah Soroti Wacana Pemberlakuan Sistem Proporsional Tertutup, Menohok
Hal ini dapat dilihat dari sudut pandang partai politik dan masyarakat yang memilih. Keduanya adalah elemen utama dalam sistem demokrasi.
“Masyarakat tanpa partai politik dalam konteks demokrasi tentu akan makin anarkis bentrokannya (no rules) dalam kontestasi politiknya. Hal ini berimbas pada absennya kesepakatan bersama yang dihormati bersama dalam kontestasi. Demikian pula partai politik tanpa masyarakat yang terwakili jadi omong kosong,” kata Brando, Jumat (30/12/2022).
BACA JUGA: Fraksi PKS: Sistem Proporsional Terbuka Lebih Representatif dan Demokratis
Di sisi lain, lanjut Brando, masyarakat yang partisipasinya rendah atau tidak dihiraukan oleh elite partai politik akan mematikan api demokrasi.
Oleh karena itu, keduanya punya peran utama yang harus berjalan beriringan bukan menegasikan satu dengan yang lain.
BACA JUGA: Ketua Komisi II DPR RI Pertanyakan Soal Pemilu Sistem Proporsional Tertutup
“Namun, Indonesia sedari awal pemilunya berasaskan demokrasi Pancasila terkandung dalam sila keempat, yakni kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Dengan ini, bukan demokrasi liberal ala Barat maupun demokrasi terkondisikan model China,” ujar Brando.
Walaupun, kata dia, terdapat masih banyak debat points dari Barat bahwa demokrasi mereka adalah “soko guru”, sementara China mengeklaim demokrasi adalah kerja (mengutip Buku Putih China: Democracy That Works).
“Sistem proporsional tertutup, artinya partai dan platformnya dipilih konstituen sehingga tidak individualistik peran para calegnya. Biaya kampanye menjadi sentralistik sehingga cenderung lebih murah, karena persaingan internal partai tidak terjadi di forum-forum terbuka publi,” kata Brando.
Namun sistem tersebut memiliki kekurangannya, like or dislike internal partai harus bisa dikurangi tajam dengan meritokrasi berbasis kinerja para dewannya kelak.
Brando berpendapat proporsional tertutup alat ukurnya kadang jelas, tetapi penerapannya masih kurang tegas cenderung bernuansa eweuh pakewueh Timur.
Sementata, proporsional terbuka, mengundang kontestasi internal maupun eksternal partai lebih dinamis, maka biaya akan tinggi.
Masyarakat akan disajikan ribuan pilihan yang mungkin saja banyak yang over-rated atau dilebih-lebihkan di tengah gencarnya sosial media dan rendahnya edukasi informasi termasuk pengawasan berita hoaks.
Menurut Brando, proporsional terbuka memiliki kelebihan yakni keterlibatan masyarakat pemilih lebih tinggi. Hal ini bisa dicek secara detail sampai ke jejak rekam pribadi para calegnya, tidak hanya parpolnya.
Brando berharap agar kontestasi pemilu yang dibangun dengan berbagai sistem baik terbuka maupun tertutup.
Oleh karena itu, perlu adanya gerakan sadar politik sehingga masyarakat dan seluruh elemen memaknai sungguh-sungguh demokrasi menghendaki perubahan untuk kebaikan bersama bagi peradaban manusia.
“Akhirnya, perlu bikin sadar politik, demokrasi adalah alat bukan tujuan. Tujuan sistem Pemilu apapun, hendaknya membawa kebaikan bagi peradaban manusia,” ujar alumnus FISIP Unpar tersebut.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari