Brexit Macet, May Terancam Dimakzulkan Parlemen

Jumat, 14 Desember 2018 – 02:58 WIB
PM Inggris Theresa May saat mengumumkan permintaan pemilu dini, di Downing Street 10, London. Selasa (18/4). Foto: AFP

jpnn.com, LONDON - British Exit alias Brexit menjadi ujian berat bagi Perdana Menteri (PM) Inggris Theresa May. Saat dia sibuk keliling Eropa dan meyakinkan para pemimpin Uni Eropa (UE) tentang perlunya renegosiasi draf Brexit yang tidak didukung parlemen Inggris, legislator Partai Konservatif menimbang-nimbang kepemimpinannya. 

Rabu (12/12) parlemen menggelar voting terkait pengajuan mosi tidak percaya untuk May. Pemimpin 62 tahun tersebut sebenarnya menerima sinyal pemakzulan itu sejak Selasa (11/12) setelah ada petisi yang masuk ke Komite 1922 soal mosi tidak percaya. Namun, May bergeming.

BACA JUGA: May Tunda Voting Kesepakatan Brexit di Parlemen

"Saya akan melawan. Saya ini sudah menjadi anggota Partai Konservatif selama 40 tahun," tegasnya saat berpidato di halaman Downing Street 10 sebagaimana dilansir BBC.

May percaya diri. Dia yakin tidak akan terguling. Menurut Reuters, ada sekitar 120 legislator yang masih setia kepada politikus pengoleksi sepatu bermotif leopard tersebut.

BACA JUGA: Cewek Inggris Penampar Petugas Imigrasi Bali Mulai Diadili

Versi Andrew Neil, koresponden politik BBC, May didukung sekitar 158 legislator. Tapi, mendukung May tidak identik dengan memberikan suara untuk May. "Mendukung dan memberikan suara itu hal yang berbeda," ungkap Neil sebagaimana dilansir The Guardian.

May sudah harus meneken dokumen legal terkait posisi Inggris dan UE setelah Brexit pada 21 Januari 2019. Itu tidak akan bisa terwujud jika ternyata parlemen memakzulkannya. Jika Inggris berganti kepala pemerintahan, masa depan Brexit dipertanyakan.

BACA JUGA: Maling Laptop di Inggris Dipuji-puji Warganet, Ini Sebabnya

"Ini momen genting. Pergantian kepemimpinan hanya akan membahayakan masa depan negara kita," tegas May.

Sama seperti negara-negara lain yang menganut sistem demokrasi parlementer, partai pemerintah punya kuasa penuh untuk mengganti kepala pemerintahan. Langkah awal bermula dari pengiriman petisi ke Komite 1922.

Petisi itu harus didukung 15 persen anggota fraksi. Dengan total 315 legislator dari Partai Konservatif, batas minimal pendukung petisi adalah 48 orang.

Apabila dalam voting tertutup tersebut sebanyak 158 anggota partai mendukung petisi, secara de facto May lengser. Dengan demikian, Inggris harus segera me­nunjuk PM. Sampai ada pengganti, status May akan menjadi pelaksana tugas. "Saya siap menyelesaikan amanah saya sebagai PM sampai batas waktu yang ditentukan," tegas May.

Seperti May, oposisi pun percaya diri. Menurut mereka, kegagalan menjembatani kepentingan rakyat dan UE dalam draf Brexit telah menjadi bukti ketidakbecusan May sebagai pemimpin. Puncaknya adalah saat dia membatalkan pemungutan suara soal kesepakatan final Brexit Selasa (11/12).

Keputusan May untuk kembali mengulur waktu membuat kawan satu partainya geram. "Keputusan itu hanya akan membuat pemerintah jatuh. Partai tidak akan memberikan toleransi lagi," ujar Jacob Rees-Mogg, legislator Konservatif.

Namun, suara untuk mengusir May dari kursi PM tidak bulat. Meski kecewa pada May, sebagian legislator menganggap penggantian kepala pemerintahan hanya akan membuang waktu. Mereka lebih memilih untuk mengagendakan negosiasi ulang agar draf Brexit bisa lebih mengakomodasi kepentingan Inggris.

"Saya 100 persen mendukung PM. Tidak ada pengganti yang lebih baik untuk memastikan Inggris bisa meninggalkan UE dengan aman," ungkap Menteri Lingkungan Hidup Michael Gove. (bil/sha/c25/hep)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Belanda, Swiss, Portugal dan Inggris ke Semifinal, Kok Bisa?


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Brexit   Theresa May   Inggris  

Terpopuler