Brigadir Wahyu Pengin Peluk Mama Terus, Inikah Firasat Itu?

Selasa, 21 Juni 2016 – 00:42 WIB
Pasangan Misar Ardi M dan Murtini, berbincang dengan Kapolres Bukittinggi AKBP Tri Wahyudi, saat menunggu jenazah anaknya Brigadir Wahyu Dianto, di ruang jenazah RSUD Adnaan WD Payakumbuh. Foto: Fajar Rillah Vesky/Padang Ekspres/JPNN.com

jpnn.com - BRIGADIR Wahyu Dianto,22, anggota Polda Sumbar, meninggal dunia akibat kecelakaan kecelakaan tragis di jalan raya Bukittinggi-Payakumbuh, persisnya di jembatan PLTA Batang Agam, Jumat lalu (17/6). Jenazah bintara muda itu baru ditemukan, Minggu siang (19/6).

Saat itu, Wahyu mengawal mobil pengangkut uang dari Padang ke Payakumbuh. Meninggalnya Wahyu menyisakan kepedihan bagi ibu dan ayahnya yang berasal dari daerah transmigran Lunangsilaut, Pesisir Selatan, dan Penarik, Muko-muko, Bengkulu. Seperti apa, sosok Brigadir Wahyu di mata keluarga?

BACA JUGA: Dihajar Suami Hingga Kaki Patah, Meraung di Kantor Polisi

FAJAR R VESKY-- Payakumbuh

Bola mata Murtini,41, nampak sembab. Perempuan Jawa yang lahir dan besar di daerah transmigran, Lunangsilaut, Kabupaten Pesisir Selatan, itu tidak menyangka, putra semata wayangnya, Brigadir Wahyu Dianto,22, bakal meninggal dalam usia yang masing teramat muda.

BACA JUGA: Masya Allah, Alquran Era Pangeran Diponegoro Masih Terjaga

Penemuan jenazah Brigadir Wahyu, pada satu sisi, membuat Murtini lega. Karena masih bisa melihat wajah sang putra untuk terakhir kali. Walau dengan kondisi tidak utuh, sebab Brigadir Wahyu  mengalami luka parah di bagian dahi dan kepalanya. Namun di sisi lain, batin Murtini remuk redam. Perasaannya, hancur berkeping-keping.

"Tidak tahu pak, apa yang harus saya katakan. Saya tidak menyangka Wahyu pergi begitu cepat," ujar Murtini, saat ditanya Padang Ekspres (Jawa Pos Group) di ruang jenazah, RSUD Adnaan WD Payakumbuh, Minggu siang (19/6).

BACA JUGA: Jantuk Gula Mau Kabur, Terekam CCTV, Ditemukan di Kandang Babi

Di ruangan tersebut, Murtini yang masih kuat menjalankan ibadah puasa, tidak sendirian. Bersamanya, ada sang suami, Misar Adi M,44 yang juga berasal dari pulau Jawa tapi besar di Desa Maju Makmur, Kecamatan Penakit, Kabupaten Muko-Muko, Provinsi Bengkulu.

Seperti Murtini, Misar juga shock berat akibat kematian Brigadir Wahyu. Namun, petani sawit ini masih sanggup meladeni awak media dan polisi yang menanyainya. Menurut  Misar, Brigadir Wahyu adalah satu-satunya anak lelaki yang ia miliki.

"Saya punya tiga anak. Dua perempuan, dan satu lelaki. Wahyu merupakan anak kedua kami. Adiknya, Arini Intah Cahyahni, baru mau masuk SMA. Sedangkan kakaknya, Wiwid Indrayani, sudah bekerja di Rumah Sakit Pelni. Hari ini, dia juga hadir di sini. Itu  yang sedang bersama ibunya," kata Misar, sambil menunjuk seorang gadis berjilbab yang berdiri di samping Murtini.

Misar menyebut, Wahyu merupakan sosok anak yang penurut. Tidak banyak ulah. "Wahyu sangat patuh kepada kami. Ia juga sayang kepada kakak dan adik perempuannya. Sebelum masuk Polisi, Wahyu pernah kuliah di Stikes Alifah, Padang," kata Misar.

Lelaki berkulit sawo matang itu mengaku tidak punya firasat apa-apa sebelum kematian Wahyu. "Saya ataupun ibuk (Murtini), juga tidak pernah bermimpi yang aneh-aneh," ucap Misar.

Hanya saja, diakui Misar, beberapa hari sebelum meninggal akibat kecelakan lalu-lintas di jembatan PLTA Batang Agam, Wahyu memang bertingkah sedikit aneh. 

"Ia sering menelepon saya dan ibunya. Pagi sebelum berangkat ke Payakumbuh, Wahyu juga masih sempat menghubungi kami," kata Misar.

Pihak keluarga sendiri, menurut Misar, bertemu Wahyu untuk terakhir kalinya, pada awal-awal Ramadhan. "Saya tidak ingat, tanggal dan harinya. Yang jelas, di awal puasa-awal, Wahyu mendapat tugas, mengawal pengantaran uang dari Padang ke sebuah bank di Muko-Muko," cerita Misar.

Sebelum berangkat dari Padang, Wahyu sempat menghubungi Misar dan Murtini. "Wahyu meminta kami, menyusulnya ke Muko-Muko. Sebab, dia tidak mungkin singgah ke rumah. Apalagi, jarak rumah kami dengan jalan raya Muko-Muko cukup jauh. Kami tinggal di Desa Makmur Maju, Kecamatan Panik. Untuk ke Muko-Muko, kami harus lewat kebun sawit," ujar Misar.

Setelah membuat janjian, Misar dan Murtini, akhirnya bertemu dengan Wahyu di sebuah bank di pusat pemerintahan Muko-Muko. Itulah pertemuan terakhir pasangan suami-istri tersebut dengan buah hati mereka. Dalam pertemuan tersebut, diakui Misar, Wahyu kembali bertingkah tak lazim.

"Wahyu bilang, sangat sayang dengan  mamanya. Dia berkali-kali mengatakan, pengin selalu memeluk mamanya. Dia juga minta foto sama saya. Katanya, pengen foto sama bapak dan mama. Kami pun, sempat berfoto-foto di Muko-Muko. Itu, terakhir kali kami bertemu Wahyu," ujar Misar.

Usai pertemuan di Muko-Muko itu, Wahyu dan masih rajin menelepon Misar. Sampai akhirnya, pada Jumat malam, Misar mendapat kabar dari Padang bahwa Wahyu mengalami kecelakaanm saat mengantar uang ke Payakumbuh. 

Mobil yang ditumpangi Wahyu terbenam ke dalam kolam pengaturan air PLTA Batang Agam, setelah sebelumnya menabrak jembatan dan sepeda motor.

Begitu mobil tenggelam, tubuh Wahyu diperkirakan hanyut terbawa arus Batang Agam (Batang dalam bahasa Minang adalah Sungai). Tubuh kokoh tersebut baru ditemukan dua hari kemudian, dalam kondisi tersangkut di ranting-ranting kayu di kawasan Lubuakpesong, Jorong Lompatan, Nagari Tanjuangbaru, Kabupaten Tanahdatar.

Setelah ditemukan di Lubuakpesong, jenazah langsung dibawa ke RSUD Adnaan WD Payakumbuh. Setelah dikafani dan dimandikan, jenazah dilepas dari Polres Payakumbuh menuju Muko-Muko, Bengkulu. Tapi sebelumnya, juga dilakukan pelepasan oleh Kapolda Sumbar Brigjen Basarudin di Polres Bukittinggi.

"Kami keluarga, mengucapkan terimakasih kepada keluarga besar Polri dan Tim SAR yang menemukan Wahyu. Kami mohon maaf, apabila putra kami ini ada kesalahan semasa hidupnya," kata Misar, dengan mimik wajah yang terlihat pasrah. (***/sam/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Nasib Tragis Ratusan WNI yang Ditahan Malaysia


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler