jpnn.com, JAKARTA - Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen R Ahmad Nurwakhid menyatakan bahwa Negara Islam Indonesia (NII). merupakan induk dari jaringan teroris di Indonesia.
Jenderal bintang satu ini menyatakan bahwa NII memiliki tujuan akhir mengganti Pancasila dengan ideologi atau sistem agama menurut mereka.
BACA JUGA: 65 Saksi Sudah Diperiksa, Kejaksaan Bidik Calon Tersangka di Kasus Korupsi Bansos BNPT
"NII itu jelas merupakan induk dari semua jaringan teror di Indonesia. Pada 1993, NII mengikuti perkembangan geopolitik global hingga akhirnya pecah mejadi JAT (Jamaah Ansharut Tauhid), JAD (Jamaah Ansharut Daulah ), dan sebagainya,” kata Brigjen Nurwakhid dalam keterangan pers Pusat Media Damai BNPT yang diterima di Jakarta, Rabu (20/4).
Menurutnya, penangkapan 16 anggota NII oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri merupakan langkah tepat.
BACA JUGA: Densus 88 Sebut NII Sumbar Berencana Melengserkan Pemerintah
Dia menilai penangkapan anggota NII yang menggulingkan pemerintahan sah sebelum 2024 itu adalah langkah preventive justice (pencegahan) dan antisipasi dini.
"Justru ini sebagai upaya antisipasi semenjak dini,” tegasnya.
BACA JUGA: Ribuan Warga Sumbar Diduga Terlibat NII, Guspardi Gaus Minta Polri Gerak Cepat
Dia mengatakan penanggulangan terorisme sesuai amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU harus secara holistic (menyeluruh), komprehensif dari hulu sampai hilir.
“Hilirnya adalah proses hukum atau law enforcement, hulunya adalah pencegahan yaitu preventive justice, dengan menangkap dan menindak," katanya.
Menurut dia, meskipun anggota maupun pengikut gerakan itu masih minoritas, eksistensi NII merupakan ancaman serius.
Hal itu terkait agenda utama NII untuk mengambil alih kekuasaan untuk mengganti ideologi negara dengan sistem agama yang mereka percayai benar melalui berbagai skenario dan strategi.
Dia mengatakan strategi yang mereka lakukan selain taqiyah (menyembunyikan jati diri) adalah tamkin, yaitu memengaruhi semua lini, menciptakan konflik untuk membuat chaos (kekacauan) guna mengakselerasi agendanya, seperti kasus Poso dan Ambon.
Mengutip dari keterangan putra pendiri Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Sarjono Kartoesuwiryo, dia mengatakan anggota NII saat ini berdasar data resmi masih ada sekitar 2 juta orang, belum termasuk simpatisan yang belum terdata.
Sarjono sendiri telah menyatakan ikrar setia kepada NKRI di Kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) Jakarta pada 2019.
Nurwakhid juga menepis keraguan masyarakat akan eksistensi NII yang justru dianggap sebagai sikap berlebihan dari aparat dalam menetapkan kelompok tersebut sebagai gerakan teror.
"Jadi, siapa pun mereka, apakah itu JAD, JI (Jemaah Islamiyah), NII, kalau unsur-unsur tindak pidana terornya sudah mencukupi, maka kami langsung akan segera melakukan penindakan.
Selanjutnya, diproses hukum dan dideradikalisasi untuk menyadarkan mereka kembali kepada NKRI,” paparnya.
Dia mendorong pembentukan regulasi untuk melarang ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan NKRI.
Hal itu bertujuan agar ke depannya aparat maupun pemangku kepentingan terkait dapat langsung mengambil langkah tegas demi memutus ideologi anti-Pancasila dan anti-NKRI.
"Belum ada regulasi yang melarangnya, meskipun mereka sudah melakukan takfiri, menunjukkan sikap intoleransi terhadap keragaman perbedaan, eksklusif terhadap lingkungan, serta anti terhadap pemerintahan yang sah, dan sebagainya; itu belum bisa ditindak," katanya menyayangkan.
Oleh karena itu, dia berharap seluruh masyarakat Indonesia dapat memaknai peristiwa penangkapan anggota NII yang mengancam kedaulatan negara sebagai kewaspadaan nasional, serta turut mendukung upaya pemerintah dan pemangku kepentingan terkait.
"Sekali lagi, ini harus menjadi kewaspadaan nasional; dan upaya yang dilakukan Densus 88 Polri, BNPT dan stakeholder (pemangku kepentingan) lainnya harus kita dukung," kata Brigjen R Ahmad Nurwakhid. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Kusdharmadi