Bu Ledia Mengingatkan Guru Honorer Jangan Langsung Senang

Sabtu, 15 Februari 2020 – 20:54 WIB
Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa. Foto: Mesya/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi X DPR Ledia Hanifa Amaliah mengingatkan para guru honorer jangan senang terlebih dahulu menyikapi aturan baru dibolehkannya maksimum 50 persen dari dana BOS (bantuan operasional sekolah) untuk gaji mereka.

Sebab, ujar Ledia, pembiayaan untuk gaji guru honorer itu merupakan satu dari 12 item komponen penggunaan dana BOS sebagaimana Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 8 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah Reguler.

BACA JUGA: Guru Honorer Berijazah SMA tak Boleh Digaji dari Dana BOS

"Pak Didi (Pembina Federasi Guru dan Tenaga Honorer Swasta Indonesia Didi Suprijadi) jangan senang dulu, kalau kata saya sih. Itu cuma dari satu dua belas item, kebayang kan?," kata Ledia dalam diskusi "Skema Dana BOS, Kenapa Diubah?" di Jakarta Pusat, Sabtu (15/2).

Seperti diketahui, penggunaan dana BOS sudah diatur jelas dalam Pasal 9 Permendikbud 8/2020. Misalnya, untuk membiayai penerimaan peserta didik baru, pengembangan perpustakaan, kegiatan pembelajaran dan ekstrakurikuler, kegiatan asesmen/evaluasi pembelajaran.

BACA JUGA: Menurut Hetifah, Ini Angin Segar Bukan Hanya untuk Guru Honorer K2

Kemudian, administrasi kegiatan sekolah, pengembangan profesi guru dan tenaga kependidikan, langganan daya dan jasa, pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah.

Berikutnya, penyediaan alat multi media pembelajaran, penyelenggaraan bursa kerja khusus, praktik kerja industri atau praktik kerja lapangan di dalam negeri, pemantauan kebekerjaan, pemagangan guru, dan lembaga sertifikasi profesi pihak pertama, penyelenggaraan kegiatan uji kompetensi keahlian, sertifikasi kompetensi keahlian dan uji kompetensi kemampuan bahasa Inggris berstandar internasional dan bahasa asing lainnya bagi kelas akhir SMK atau SMALB , dan atau pembayaran honor.

BACA JUGA: Info dari Mbak Titi PHK2I: 51 Ribu PPPK Siapkan Demo Besar-besaran

Ledia menjelaskan bahwa kalau PPDB dilakukan Mei atau Juni dengan berbagai skema, tentunya harus mengeluarkan biaya. Belum lagi biaya untuk pengembangan perpustakaan.

"Yang agak berat sebenarnya justru kegiatan assesmen dan evaluasi pembelajaran. Kenapa? Karena Mas Menteri (Mendikbud Nadiem Makarim) sudah bilang 2020 terakhir (ujian nasional), dan pada 2021 akan ada asesemen," ungkap Ledia.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu justru mempertanyakan bagaimana ceritanya bila dalam melakukan assesmen, guru tidak memiliki skill mumpuni. Sementara, lanjut dia, anggaran di Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK) Kemendikbud turun.

"Nah, ini harus dikejar banget. Ini bukan setahun (waktunya). Kalau dibilang 2020 April ujian nasional, kemudian potong Lebaran, Ramadan, Natal, sisanya tinggal enam hingga delapan bulan. Lalu bagaimana mengejarnya kalau tidak sekarang," ungkap dia.

Selain itu, lanjut Ledia, seperti apa konsep assesmen juga belum turun dari Kemendikbud. "Ini PR besar bagi semua," tegasnya.

Lebih lanjut Ledia menuturkan, dari sisi pengembangan GTK, sekolah biasanya belum berpikir ke arah itu karena selama ini dilakukan oleh Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP), maupun dinas-dinas pendidikan.

"Padahal ini penting. Konsep Merdeka Belajar itu butuh guru yang punya keterampilan mumpuni, tidak bisa seperti sekarang, apalagi mereka sudah biasa menyelenggarakan hal-hal bersifat administratif. Jadi, harus ubah paradigma," katanya.

Ledia menambahkan pemeliharaan sarana prasarana sekolah yang kecil-kecil atau ringan, juga dibiayai dana BOS. Menurut dia, untuk rehabilitasi sedang dan berat, memang dibiayai dana alokasi khusus (DAK) fisik.

Kalau kecil-kecilan seperti mengganti lampu yang putus, membetulkan atap yang bocor, bisa dibiayai dana BOS.

"Kadang-kadang seringkali, karena tidak biasa dengan pemeliharaan, kasusnya adalah bocor diperbaiki dari anggaran katakan dari dana BOS, itu tidak bisa karena kalau dibenerin biasanya merembet tuh," jelasnya.

Menurut dia, apalagi sekarang ini skema rehabilitasi sekolah untuk kerusakan sedang dan berat itu semuanya diletakkan di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemenpupera).

"Itu juga skemanya memperbaiki sekolah, bukan merehabilitasi kelas per kelas. Kadang-kadang kebutuhan sekolah itu cuma kelas. Nah, karena itu perlu dipikirkan lagi supaya tidak menjadi temuan," ujarnya.

Kemudian, dari pembayaran honor yang satu per 12 itu yang harus dipikirkan adalah guru honorer mesti memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK) dan belum punya sertifikasi.

Pada 2018 kemarin, kata dia, ada 46 ribu guru yang pensiun massal karena mereka diangkat berdasar Instruksi Presiden era Soeharto. Ketika mereka pensiun, tidak ada penggantinya karena tak ada pengangkatan lagi.

Karena tidak ada pengangkatan, bisa saja mereka yang purnatugas itu dikaryakan di sekolah sebagai guru honorer. Nah, persoalan ini mesti dipikirkan.

"Meskipun mereka dapat pensiun, apakah dengan mengajar di sekolah itu mereka dianggap kerja bakti, tidak bisa juga begitu. Dari mana mau memenuhi itu?" katanya.

Terbaru, ia mengaku ada satu kasus di mana sebuah sekolah negeri hanya kepseknya yang PNS, sedangkan sembilan hingga 12 gurunya berstatus honorer. "Ini bisa dibayangkan alokasinya (gaji dari dana BOS, red)," ujar Ledia.

Sementara, pemerhati pendidikan Asep Sapa'at menilai bahwa peningkatan anggaran untuk guru honorer dari dana BOS, tidak otomatis membuat mereka sejahtera.

"Saya katakan bahwa meningkatkan persentase (dana BOS) untuk guru honorer tidak otomatis menyejahterakan guru honorer," katanya di kesempatan itu.

"Karena pemahaman saya tentang kesejahteraan itu adalah selain kebutuhan hidup yang harus dicukupi, yang kedua adalah kemerdekaan bagi dia untuk mengembangkan profesionalismenya," lanjutnya.

Sebab, ujar Asep, profesionalisme ada kaitan dengan seberapa besar memberikan dampak pembangunan sumber daya manusia kepada anak-anak didik.

"Pada akhirnya tujuan akhir pendidikan itu kan memberikan dampak sumber daya manusia kepada anak-anak didik kita. Jadi bagaimana anggaran besar ini nanti bisa menghasilkan SDM yang diharapkan," katanya.

Seperti diketahui, pemerintah mengubah skema pembayaran dana BOS reguler yang sebelumnya dari rekening kas umum negara (RKUN) ke rekening kas umum daerah (RKUD) baru ke sekolah,menjadi langsung dari RKUN ke rekening sekolah.

Tahapan pencairan bos juga berubah. Dulu, ada empat tahap yakni Januari 20 persen, April 40 persen, Juli 20 persen, dan Oktober 20 persen. Namun, sekarang hanya tiga tahap yakni Januari 30 persen, April 40 persen, dan September 30 persen.

Pasal 9 Ayat 2 Huruf l Permendikbud 8 Tahun 2020, penggunaan dana BOS itu bisa dipakai untuk pembayaran honor guru. Pasal 9 Ayat 3 menyatakan pembayaran honor sebagaimana dimaksud pada Ayat 2 Huruf l, hanya dapat digunakan paling banyak 50 persen dari keseluruhan jumlah alokasi dana BOS reguler yang diterima oleh sekolah.

Guru honorer yang berhak mendapatkan pembiayaan dalam skema BOS baru harus memenuhi persyaratan seperti harus punya NUPTK, belum memiliki sertifikasi pendidik, dan telah tercatat di Data Pokok Pendidikan (Dapodik) sebelum 31 Desember 2019. (boy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler