Buah Bibir Dunia untuk Kampung Miskin Medellin

Jumat, 23 Oktober 2015 – 18:11 WIB
INOVASI DI TENGAH KEMISKINAN: Cable car yang menjadi angkutan umum warga miskin di Kota Medillin, Kolombia. FOTO: DAHLAN ISKAN

jpnn.com - INILAH yang membuat Medellin terpilih sebagai kota paling inovatif di dunia pada 2012: memberikan kemewahan untuk kampung termiskin di kota paling kaya di Kolombia itu. Saya tertarik untuk melihatnya. Dan belajar darinya. Saya pergi ke Medellin Minggu siang pekan lalu, saat saya ke Kolombia dalam rangkaian kunjungan ke Meksiko. 

Kampung miskin di Medellin itu ternyata luar biasa luas. Sekitar 2 kilometer (km) persegi. Penuh dengan rumah petak. Mirip Tanah Tinggi, dekat Senen, Jakarta. Saya bisa membandingkannya karena sering masuk gang di Tanah Tinggi. 

BACA JUGA: Anak Sulung Imam Samudera Tewas Saat Berjuang Bersama ISIS

Saya juga pernah mengunjungi lautan kampung kumuh di Cape Town, kota paling indah di Afrika Selatan. Agar tidak mengganggu keindahan Kota Cape Town, kampung kumuh itu disembunyikan dalam pagar tinggi yang mengelilinginya. 

Tapi, yang ada di Medellin berbeda. Kemiskinan di Medellin tidak bisa disembunyikan. Kampung petak itu ter-display dengan nyata. Mengapa? Karena berada di lereng gunung yang cukup terjal 

BACA JUGA: Gara-gara Anak Ingin Lahir Di AS, Sembunyikan Kehamilan, Ibu Ini Pun Lahiran Di Pesawat

Dari bawah ke atas, yang jarak lurusnya hanya 2 km, perbedaan ketinggiannya 400 meter. Tidak akan ada pagar yang bisa menutupinya. Dengan demikian, lautan kemiskinan itu bisa dilihat dari kota di bawahnya secara dramatis. Tanpa bermaksud melihatnya pun, akan terlihat sendiri. Seluruh lereng gunung itu padat dengan rumah petak. 

Tidak bisa disembunyikan, tidak bisa digusur, tidak bisa dibenahi. Maka, dilayani saja. Melayani pun sulit. Medannya yang terjal dan padat tidak mudah dijangkau. Sampai timbul ide yang sangat inovatif ini. Yang membuat Medellin menjadi buah bibir dunia di bidang manajemen perkotaan. 

BACA JUGA: Partai Komunis Larang kadernya Selingkuh

Dampak inovasi tersebut memang sangat nyata. Kriminalitas menurun drastis. Penduduk bisa dijangkau. Mereka juga bisa pergi ke kota dengan mudah dan murah untuk mencari sumber penghidupan. Kesejahteraan meningkat. 

Dulu, lingkaran kemiskinan di situ memang sulit diatasi. Akses ke sana amat berat. Gang-gangnya sempit seperti spiral. Kendaraan kecil-kecil hanya bisa merangkak termehek-mehek dari kampung terbawah. Untuk mencapai kampung paling atas, diperlukan waktu 2,5 jam. Ongkosnya pun mahal. 

Lengkaplah sudah gelar tradisional kampung itu berpuluh tahun: kumuh, penuh kejahatan, tempat persembunyian, dan pusat kebodohan. Secara singkat, sering disimpulkan secara berlebihan: Siapa yang masuk ke sana tidak akan keluar dengan selamat. 

Situasi seperti itulah yang juga dimanfaatkan oleh jaringan kartel narkotika pada zaman Pablo Escobar dulu. Jadi tempat bersem­bunyi yang ideal. Escobar mati disergap tidak jauh dari kampung itu. 

Ide baru yang inovatif tersebut tidak akan bisa diterapkan kalau Escobar masih eksis. Maka, setelah Escobar tewas dan jaringan kartelnya dibasmi, ide itu bisa dilaksanakan: membangun alat transpor yang tidak biasa bagi warga kampung termiskin di wilayah itu. 

Alat angkut yang jadi buah bibir tersebut adalah cable car

Cable car? Untuk angkutan umum? Untuk kampung miskin? Selama ini, kita mengenal cable car hanya untuk turis. Juga hanya bisa dibangun oleh negara yang mampu. 

Di Medellin, cable car dibangun untuk angkutan umum warga miskin. Saya tentu tergiur untuk ikut merasakan cable car yang istimewa itu. Pemerintah Kota Medellin menamakannya Metrocable. 

"Harus naik Metrocable," pesan Duta Besar Indonesia untuk Kolombia Trie Edi Mulyani saat saya dijamu makan arepa di resto tradisional di Bogota, ibu kota Kolombia. 

Resto itu berlokasi di puncak bukit. Dari tempat tersebut, bisa dipandang seluruh kota Bogota yang terhampar di bawah. Udara 16 derajat Bogota di sore yang cerah itu membuat saya teringat suasana lereng Danau Toba. Udaranya, awannya, bukit-bukitnya, maupun hijaunya seperti diimpor dari Balige. Hanya, di tempat itu, danaunya adalah pusat Kota Bogota.

Karcis Metrocable di Medellin itu tentu dibuat murah: setara Rp 9.000. Itu sudah termasuk seandainya Anda ingin menyambung perjalanan dengan kereta Metro menuju pusat Kota Medellin. 

Dari stasiun Metrocable terbawah sampai ke kampung paling atas, terdapat tiga stasiun. Jarak tempuh 2 km yang dulu 2,5 jam itu cukup diganti dengan Metrocable 20 menit. Kecepatan kereta gantung tersebut 16 km/jam. 

Belakangan, Pemkot Medellin membangun sambungan cable car dari stasiun teratas itu ke puncak gunung yang tidak ada kampungnya. Untuk turisme. Dengan jarak lebih pendek, tarif dua kali lebih mahal. 

Itulah untuk kali pertama saya naik kereta gantung dengan pemandangan lautan rumah kumuh di bawahnya. 

Kadang-kadang kereta gantung yang saya naiki itu seperti hendak menyenggol atap rumah petak. Tapi, saya tidak takut. Kalaupun senggolan tersebut terjadi, tidak akan membahayakan kereta gantung. Pasti atap rumahnya yang copot. Dengan mudah. Atap seng itu kelihatannya tidak dipaku. Hanya ditindih bata. Mungkin dulu tidak mampu membeli paku. 

Ternyata bukan hanya saya yang baru pertama naik Metrocable. Dua orang di depan saya (satu kereta gantung bisa digunakan untuk delapan penumpang) juga baru sekali itu. Padahal, mereka orang Medellin. Rupanya dia tinggal di bagian Kota Medellin yang lebih kaya. 

Hari itu hari Minggu. Rekreasinya ke kampung miskin. (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Lihat Nih, Make Up First Lady Tiongkok Berantakan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler