jpnn.com, BALI - Alunan kecapi suling dari seniman Sunda Wiwitan di meeting room 2, Grand Palace Hotel Sanur, Bali, Jumat (9/8/2019) sore menandai dimulainya diskusi kebudayaan. Di tempat berjarak sekira 2 kilometer dari arena Kongres V PDI Perjuangan ini, para budayawan berkumpul merumuskan strategi Merawat Negara dengan Jalan Kebudayaan.
"Acara ini spontan saja. Ada teman-teman (budayawan) yang kebetulan sama-sama berada di Bali, Ya sudah. Ayo kita kumpul-kumpul lagi dan berdiskusi. Ya sekitar 20-an orang saja,” kata seorang penggagas acara, Heri Purwanto, budayawan asal Surabaya, di lokasi.
BACA JUGA: Sambil Menunjuk Gambar Prabowo, Megawati: Ini Foto Favorit Saya
Forum ngobrol kebudayaan seperti ini, kata Heri, tidak kali ini saja. Beberapa waktu sebelumnya pernah digelar di Yogyakarta.
"Dan akan terus kami lakukan, September di Surabaya,” katanya.
BACA JUGA: Tiga Pimpinan DPC PDIP Dipecat Gara-gara Bandel
Dalam kesempatan itu, mengingatkan untuk menghentikan praktik ujaran kebencian dan mengafirkan orang lain,
“Ujaran-ujaran kebencian dan mengafirkan orang lain, dengan entengnya dilontarkan di wilayah publik. Gerakan berkebaya "diserang" habis-habisan. Festival kebudayaan di Jember juga dihujat. Tidak boleh seperti ini. Itu bukan budaya kita, harus dihentikan,” tegas Heri.
BACA JUGA: Di Hadapan Prabowo, Jokowi Pamer Menang Telak di Bali
Heri menegaskan bahwa pertemuan kebudayaan yang dilangsungkan bersamaan dengan Kongres PDIP sesungguhnya tidak ada kaitannya. Tetapi, kata dia, ada kekhawatiran budayawan terkait adanya ancaman terhadap keberagaman budaya Indonesia. "Kekhawatiran itu sedianya ditujukan kepada dua pihak, negara dan masyarakat," kata Heri.
Heri berharap PDIP yang ini sebagai partai yang memegang pemerintahan dapat mendorong gerakan jalan kebudayaan untuk mengatasi berbagai potensi ancaman terhadap keberagamaan.
Sosiolog UGM Yogjakarta Dr Arie Sujito yang hadir sebagai narasumber dalam pertemuan itu menyinggung tentang politik electoral (pemilu) budaya menjadi terpinggirkan. Dulu, kata dia, para pendiri bangsa seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir, Agus Salim, dan lain-lain juga beradu argumen dan bertukar ide dengan keras untuk mencapai kemerdekaan.
"Mereka menunjukkan budaya berdemokrasi dengan indah. Tidak ada yang merasa paling benar dan merendahkan antara satu kelompok atas kelompok lainnya. Semua terbingkai dalam keindonesiaan," katanya.
Karena itu, kata Ari Sujito, masyarakat perlu terus menerus mendorong negara dalam memperbaiki kualitas demokrasi yang di dalamnya terdapat korelasi dengan keberagaman.
"Kebudayan-kebudayaan lokal mesti ditampilkan. Kebudayaan tidak sekadar tari-tarian, gending-gending dan sebagainya. Ada pesan moral baik di dalamnya. Ini mesti terus menerus dinarasikan dalam kehidupan keseharian," terang Ari.
Budayawan asal Banyumas Bambang Brata Aji mengatakan, "masterpiece" kebudayaan Indonesia sudah dicetuskan saat sidang umum BPUPK pada 1 Juni 1945. Pancasila sebagai dasar negara yang di dalamnya mengandung keberagaman, Bhinneka Tunggal Ika, sebagai dasar negara digali dari berbagai kelompok, suku, dan agama. "Ini sudah final. Tinggal kita rawat," katanya.(fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Di Depan Prabowo, Jokowi Bicara Soal Kunci Sukses Jadi Negara Maju
Redaktur & Reporter : Friederich