jpnn.com - Cuaca buruk dan banjir serta berbagai jenis bencana alam terjadi susul menyusul di Indonesia.
DKI Jakarta tetap menjadi langganan banjir, Jawa Tengah terendam air berbulan-bulan.
BACA JUGA: Cuaca Ekstrem Berpotensi Terjadi di Sebagian Jatim, BMKG Minta Masyarakat Waspada
Banjir meluas di Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera.
Bumi akan makin terancam oleh bencana alam yang muncul akibat salah kelola lingkungan oleh manusia.
BACA JUGA: Pengembangan Green Energy Pertamina Kurangi Pemanasan Global & Perubahan Iklim, Harus Kita Dukung
Jika kondisi ini berlanjut tanpa terobosan yang revolusioner, tidak mustahil bumi ini akan menjadi planet yang tidak lagi layak huni.
Bumi berada dalam kondisi bahaya.
BACA JUGA: Pernyataan Tegas Sekjen PBB soal Permukiman Ilegal Israel: Harus Dihentikan!
Kita sudah mendapatkan peringatan ‘’red code’’ kode merah yang menjurus pada situasi berbahaya.
Sekjen PBB Antonio Gutteres menyampaikan peringatan bahaya itu.
Guterres mengatakan bahwa kode merah itu berlaku untuk semua negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Gutteres menyatakan bahwa pemanasan global telah menjadi penyebab bencana cuaca ekstrem di seluruh dunia ini.
Kalau manusia tidak mengambil sikap tegas dan masih menjalankan hidup ‘’business as usual’’ maka dalam 20 tahun ke depan cuaca ekstrem berisiko tidak lagi dapat dikendalikan.
Belasan ribu studi yang berkaitan dengan perubahan iklim menunjukkan bahwa penyebab utama kenaikan suhu adalah pembakaran bahan bakar fosil.
Salah satunya industri pembangkit listrik yang mayoritas bahan bakarnya masih menggunakan batubara.
Indonesia adalah salah satu penghasil dan pengekspor batu bara terbesar di dunia.
Karena itu, kita bisa tahu seberapa besar dosa kita terhadap lingkungan.
Belum lagi pembakaran dan pembalakan hutan liar yang masih tetap menjadi aktivitas yang tidak bisa dihentikan, karena kurangnya tekad politik.
Kenaikan suhu bumi sebesar 1.1°C kelihatannya angka yang kecil.
Namun, efek yang ditimbulkan sangatlah besar dan destruktif.
Yang sudah terjadi sekarang ini adalah hujan dengan intensitas tinggi, siklon tropis, banjir, dan musim kemarau yang makin panjang dan menjadi penyebab kebakaran skala besar.
Efek lain perubahan iklim yang sangat mengkhawatirkan adalah gelombang panas ekstrem yang terjadi beberapa bulan terakhir, yang menyebabkan sebagian besar wilayah Eropa dan Amerika mengalami panas ekstrem dan kebakaran hutan di ratusan titik.
Akibat pemanasan global, daratan yang selama ini dianggap beku permanen atau permafrost meleleh, dan bahkan terjadi kebakaran besar di wilayah Siberia.
Hal ini sangat mengherankan karena Siberia merupakan wilayah berpenghuni dengan cuaca paling dingin di dunia.
Sektor pertanian juga akan terancam.
Jika suhu bumi terus memanas maka perubahan iklim akan mengubah ritme musiman, yang bisa mengakibatkan penurunan produktivitas hasil pertanian secara signifikan, termasuk risiko gagal panen akan semakin sering terjadi.
Perubahan iklim ini juga bakal menyebabkan perubahan pola cuaca di seluruh dunia.
Akibatnya akan makin sering terjadi gelombang panas dan kekeringan dalam waktu panjang, yang akan memicu kebakaran hutan dengan area yang sangat luas.
Ketika turun hujan maka intensitasnya bisa berlangsung selama berhari-hari tanpa henti, hingga terjadi bencana banjir bandang seperti yang baru saja terjadi di Eropa dan Amerika Serikat.
Banjir membawa banyak korban, dan kebakaran hutan mengancam keselamatan jiwa manusia di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Bumi bisa menjadi planet yang tidak layak dihuni.
Wartawan dan pemerhati lingkungan dari Amerika Serikat David Wallace-Wells menulis buku ‘’Uninhabitable Earth’’ atau Bumi yang Tak Bisa Dihuni (2020).
Dia memaparkan faktor-faktor yang membuat planet bumi tidak layak huni.
Dulu ada era yang disebut sebagai Antroposen, yang merupakan zaman keemasan manusia.
Ketika itu manusia bisa mengendalikan bumi sepenuhnya, dan bisa mamanfaatkan bumi sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhannya.
Era itu telah berakhir. Manusia mengalami perubahan gaya hidup.
Berawal dari era pertanian, menetap, beternak, dan berlanjut sampai revolusi industri hingga era globalisasi saat ini.
Manusia secara sadar--dan lebih sering tidak sadar--telah menghasilkan emisi karbon yang membuat suhu bumi naik dari tahun ke tahun.
Saat ini saja dengan kenaikan suhu 1,1 derajat selsius kita mengalami berbagai macam bencana yang menghancurkan.
Menurut prediksi Wallace-Wells, kalau tren ini tidak dihentikan, dan panas bumi mengalami kenaikan sampai ke angka 5 derajat selsius, maka bumi ini dipastikan tidak akan bisa lagi ditinggali oleh manusia. Itulah saatnya dunia mengalami kiamat.
Beberapa hal yang diprediksi Wallace-Wells adalah panasnya udara yang membuat manusia perlu mendinginkan tubuh, karena ginjal bisa rusak ketika dehidrasi.
Penggunaan pendingin udara atau AC tidak bisa dihindari.
Saat ini pendingin udara sudah memakan 10% dari penggunaan listrik dunia, dan emisi karbonnya berkontribusi besar terhadap bertambah panasnya udara.
Siklus ini naik setiap tahun dan tidak bisa kita hindari.
Bencana besar yang mengancam adalah kelaparan.
Padi-padian dan jagung merupakan bahan makanan pokok bagi 2/3 penduduk bumi.
Saat ini suhu udara rata-rata di bumi sudah optimal bagi kehidupan jenis-jenis tanaman tersebut, artinya jika suhu makin memanas maka akan memengaruhi pertumbuhan, mengurangi kandungan gizi, dan menurunkan angka panennya.
Dengan jumlah manusia di dunia yang sekarang mencapai 7 miliar, kita bisa membayangkan bagaimana mulut-mulut itu harus diberi makan.
Di zaman pertengahan, Thomas Malthus meramalkan terjadinya kelaparan besar di dunia karena pertumbuhan manusia yang terlalu besar ketimbang pertumbuhan makanan.
Ternyata nujum itu bisa dipatahkan oleh teknologi pertanian dan budi daya berbagai jenis tanaman.
Kali ini, kita tidak bisa lagi mengandalkan hal yang sama untuk menghadapi prediksi bencana besar ini.
Ancaman lainnya adalah banjir besar.
Permukaan air akan naik dari tahun ke tahun karena pemanasan global.
Kota-kota yang berada di tepi pantai akan terancam tenggelam.
Akibatnya banyak pengungsi ke daerah yang lebih tinggi dan aman, dan menyebabkan urbanisasi yang merambah ke hutan dan area pelindung.
Panas ekstrem akan memunculkan banyak kebakaran.
Bila pohon mati, baik karena alasan alami, karena api, atau ditebang manusia, maka pohon akan melepaskan karbon ke atmosfer.
Kebakaran hutan merupakan umpan balik iklim yang paling ditakuti, karena ketika harusnya hutan berfungsi menyerap karbon ketika kebakaran, malah menjadi sumber karbon yang telah diserapnya.
Kemampuan adaptasi manusia termasuk yang paling hebat dibanding spesies lain di bumi, sehingga manusia mulai terbiasa dengan bencana, dan menganggapnya sebagai hal yang biasa.
Manusia menganggap hidup sekarang sebagai normal baru atau new normal.
Kenaikan suhu yang ekstrem pun akan dianggap sebagai new normal sampai akhirnya manusia kekurangan air.
Jumlah manusia yang terus bertambah menyebabkan munculnya perlombaan menyedot cadangan air dalam tanah atau akuifer.
Pertanyaannya bukan apakah air bisa habis, tetapi kapan.
Laut akan sekarat akibat rusaknya terumbu karang karena limbah manusia.
Biota laut akan mati dan nasib penghidupan setengah miliar manusia menjadi taruhan.
Panas global akan membuat udara tak bisa dihirup.
Paru-paru butuh oksigen, tetapi kandungan karbondioksida terus meningkat dan turut kita hirup ketika bernapas.
Jika kandungan karbondioksida meningkat diatas 2 kali lipat maka kemampuan kognitif manusia turun hingga 21 persen.
Jared Diamond dalam buku ‘’Collapse’’ menyebut bahwa beberapa bangsa terdahulu dengan peradaban yang tinggi punah karena kerusakan lingkungan.
Kerusakan itu dibuat sendiri oleh manusia, sehingga menyebabkan munculnya ‘’ecoside’’ atau ekosida, bunuh diri lingkungan secara masal.
Kalau hal itu bisa terjadi di masa lalu, sangat mungkin akan terjadi lagi di masa datang. (**)
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror