jpnn.com, JAKARTA - Proklamator Kemerdekaan RI Bung Karno merupakan seorang pendidik yang mengajarkan bangsa ini memiliki ideologi nasionalisme, sekaligus menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang mencintai keindahan.
Dalam perspektif Bung Karno, keindahan termasuk di dalamnya bagaimana cita rasa kuliner terutama dari Indonesia yang sangat beragam.
BACA JUGA: Budiman Sudjatmiko Ajak Anak Muda Belajar dari Bung Karno
Dua hal ini saling berkaitan satu sama lain.
Yakni, cara melihat kuliner kesukaan Bung Karno.
BACA JUGA: Resep Bung Karno jadi Singa Podium Dunia
Sekaligus juga harus melihat bagaimana ideologi Bung Karno.
Hal ini diungkap Kepala Departemen Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Abdul Gaffar Karim dalam ‘Talkshow & Musik Bung Karno Series’ bertema ‘Visi Bung Karno dan Keragaman Kuliner’ Episode 29, Selasa (29/6).
Bincang-bincang ini dipandu artis sekaligus aktivis nasionalis Kirana Larasati.
BACA JUGA: Survei Elektabilitas Parpol: PDI Perjuangan Masih di Peringkat Pertama
Gaffar mengutip Guntur Soekarnoputera, putra pertama Bung Karno, menyebutkan bahwa selera Presiden Pertama RI ini sangat simpel, terutama yang ada akarnya di Indonesia.
“Bung Karno menikmati sekali saat di luar negeri disuguhkan ikan-ikan kecil macam wader di Indonesia,” kata dia.
Selain itu, lanjut Ghafar, Bung Karno dikenal sebagai sosok pemimpin yang ingin mengambil hati rakyatnya di semua daerah.
Oleh karena itu, Bung Karno akan selalu mencintai dan dicintai rakyatnya.
Penulis buku ‘Pesantren in Power: Religious Institutions and Political Recruitment in Sumenep, Madura’, itu menambahkan setiap Bung Karno bertemu orang dari berbagai daerah, akan mengatakan bahwa dia mencintai kuliner di wilayah tersebut.
“Kepada perempuan Sunda, Bung Karno bilang suka sayur lodeh. Kepada perempuan Jawa Timur menyatakan suka pecel. Tak heran, setiap orang akan mengeklaim bahwa makanan kesukaan Bung Karno adalah makanan dari daerah mereka,” katanya.
Dia mengungkapkan salah satu proyek prestisius Bung Karno terkait ‘Gastro Diplomasi', yakni terbitnya buku ‘Mustika Rasa: Resep Masakan Indonesia Warisan Sukarno’ pada 1967.
Ini sebagai sebuah perintah Bung Karno untuk mengumpulkan tradisi kuliner nusantara yang bisa dibanggakan sebagai makanan khas Indonesia.
Buku ‘Mustika Rasa’ dibuat dengan riset serius, bukan hanya soal cita rasa, tetapi juga dilengkapi dengan informasi nilai kalori kesehatan.
“Andai saja proyek Mustika Rasa itu berhasil, maka Indonesia akan berhasil sebagai pendekar kuliner di Asia dan dunia, yang sayangnya kini posisi itu diambil Thailand. Bung Karno punya cita-cita agar masakan asal Indonesia berdiri sama tinggi dengan hidangan Eropa,” ungkapnya.
Catatan lain tentang selera Bung Karno, ialah pada usia senjanya tampak fit karena biasa sarapan roti lebar dengan madu.
Selain itu, kesan Bung Karno sebagai seniman yang mencintai keindahan juga berlaku saat makan sayur lodeh, yang minta secara khusus agar nasinya tidak panas, tetapi justru dihangatkan dari kuah lodehnya.
“Jadi, ketika disiramkan ke nasi, rasanya pas," katanya.
Sebaliknya, lanjut Gaffar, kalau nasinya hangat, lodehnya dingin, maka akan menurunkan suhu yang justru diserap sayurnya.
"Prinsipnya, nasinya dihangatkan oleh sayur. Ini tak terbayangkan oleh banyak orang,” kisah pemilik gelar master dari Department of Asian Studies and Languages, The Flinders University of South Australia dan doktor ilmu politik dari UGM ini.
Hal lain yakni Bung Karno tak suka sayurnya diberi garam.
Bung Karno ingin menggarami makanannya di setiap suapan.
Menentukan sendiri karakter di setiap suapan.
Tak asal kenyang, Bung Karno menjadikan makanan sebagai caranya untuk mengekspresikan keindahan.
Secara eksplisit, kata Gaffar, dalam otobiografinya Bung Karno memiliki kebiasaan makan pakai tangan.
Termasuk saat kerap mengundang Duta Besar Amerika Serikat ke Istana Bogor untuk makan nasi goreng ayam bersama.
“Beliau sangat ingin membanggakan apa yang Indonesia miliki, salah satunya cara makan dengan menggunakan tangan,” jelas Gaffar.
Kepedulian Bung Karno pada kuliner juga ditunjukkan dengan penghargaan yang diberikan negara pada Mbah Wiryo, seorang juru masak Istana nan setia mengikuti perjuangan pemerintahan Indonesia.
Perempuan kelahiran Sleman, 1903, itu mengabdi sejak di Gedung Agung, Yogyakarta, hingga diboyong ke Istana Jakarta dan mendapat penghargaan ‘Satya Lencana Wira Karya’
“Mbah Wiryo dianggap berjasa karena memastikan kesehatan pemimpin bangsa baik-baik saja, termasuk saat pemerintahan berada dalam pengasingan,” terang pakar pemilu dari UGM ini.
Kuliner juga menjadi salah satu alat politik diplomasi Bung Karno, termasuk saat tengah ‘menyerang’ negara lain.
Suatu waktu, Bung Karno mengundang seorang duta besar negara lain yang baru saja datang ke Indonesia.
Menunjukkan ketidaksukaan pada negara asal sang diplomat, Bung Karno menyuguhkan durian sebagai simbol bahwa Indonesia juga tidak menyukai dubes itu sebagai representasi negaranya.
Program ‘Talkshow & Musik’ BKNP PDIP dengan tema besar ‘Bung Karno Series’ hadir setiap hari pada Bulan Juni pukul 16.30 WIB, tayang selama satu bulan penuh, dan dapat diikuti melalui kanal Youtube: BKNP PDI Perjuangan, Instagram: BKNPusat dan Facebook: Badan Kebudayaan Nasional Pusat. (boy/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Boy