Burhanuddin Muhtadi Sebut Warisan Sabam Sirait Soal Konsistensi Pilihan Politik

Minggu, 16 Oktober 2022 – 11:43 WIB
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi memberikan testimoni saat Webinar yang mengangkat tema ‘Aktivis, Politisi dan Negarawan Sejati; Sabam Sirait dalam Kenangan’ digelar GMKI pada Sabtu (15/10). Foto: Tangkapan layar

jpnn.com, JAKARTA - Gerakan Mahasiswa Katolik Indonesia mengenang satu tahun wafatnya Sabam Sirait dengan menggelar Webinar pada Sabtu (15/10/2020).

Webinar ini mengangkat tema ‘Aktivis, Politisi dan Negarawan Sejati; Sabam Sirait dalam Kenangan’.

BACA JUGA: Para Tokoh Ini Dukung Sabam Sirait Menjadi Pahlawan Nasional

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengawali testimoninya dalam webinar itu dengan mengatakan warisan Sabam Sirait adalah konsistensi pilihan politik dengan komitmen ideologis dan bukan politik pragmatis.

Pada waktu Buku Politik itu Suci akan ditulis, Burhanuddin merasa mendapat kemewahan karena termasuk salah satu sumber yang diwawancarai penulis, ditanya tentang siapa Sabam Sirait.

BACA JUGA: Hadiri Diskusi di GMKI, Puluhan Tokoh Dukung Sabam Sirait Jadi Pahlawan Nasional

Saat itu dirinya sedang studi S3 di Australia. Buku ini kemudian diluncurkan dihadiri banyak tokoh nasional. Kutipan di sampul belakang, memuat pernyataannya.

“Warisan politik Sabam Sirait yang kita lihat adalah konsistensi pilihan politik dengan komitmen ideologis, bukan politik pragmatis. Ini sesuai dengan res publica. Pilihan bermakna politik ideologis. Dia memilih tetap bersama Ibu Mega, ketika rezim saat itu memilih Soerjadi, itu pilihan ideologis. Siapa yang tidak dapat restu  Soeharto, biasanya akan tenggelam,” beber  Burhanuddin Muhtadi.

BACA JUGA: Bamsoet Dukung Pengusulan Mendiang Sabam Sirait Sebagai Pahlawan Nasional 

Menurut Burhanuddin, ada dua pengalaman berharga saat bersentuhan langsung dengan Sabam Sirait.

Pertama saat tampil bersama di sebuah stasiun TV Nasional membahas peristiwa Cikesik tahun 2002, penyerangan Ahmadyah di Banten yang memakan 3 korban meninggal.

“Saat itu dengan baju yang sederhana, tanpa menunjukkan senioritas, ia dulu menyapa saya ramah. Bayangkan tahun 1967-1973 sudah menjadi Sekjen Partai tetapi masih bisa memosisikan  setara  dengan saya, yang pantas sebagai cucunya,” ujar Burhanuddin mengagumi sosoknya.

Dosen FISIP UIN itu makin kagum saat Sabam Sirait dengan tajam mengkritik pemerintahan SBY yang tidak berani menegakkan aturan, menetapkan ayat konstitusi di atas ayat suci.

Banyak kritik ke rezim SBY. Meski saat itu sedikit sekali menyerang FPI yang menyerang Ahmadyah.

Namun mereka berdua seolah menjadi tandem dan saling melengkapi.

“Ketika kelompok Ahmadyah dikatakan sesat, saya katakan tidak ada second class netizent. Tugas pemerintah menegakkan keadilan di atas segalanya.

“Pertemuan  ini buat saya sangat berkesan.”

Pertemuan, berikutnya saat tampil Jak TV. Saat itu lagi genjar tawaran SBY untuk PDI Perjuangan untuk masuk pemerintah pada periode keduanya.

Ada banyak kursi disediakan. Sabam Sirait tanpa tedeng aling-aling menegaskan jika PDI P dan Ibu Mega bersedia gabung dengan pemerintah SBY, maka PDI Perjuangan sudah kehilangan garis ideologisnya.

Menurut Sabam, kata Burhanuddin,  menjadi bagian pemerintah dan oposisi sama-sama pentingnya. Ketika kalah, biar tetap menjadi oposisi.

Lebih jauh,  kata Burhanuddin, setidaknya ada dua pelajaran yang bisa diambil dari sana.

Pertama, di acara Metro TV ada pelajaran  bahwa kehidupan negara pluralisme dan komitmen keanekeragaman kemajukan bangsa diatas segalanya. Pemerintah harus bisa menjamin dan menggaransi kebebasan.

Tidak ada tirani mayoritas, dalam demokrasi punya suara hak yang sama dalam konstitusi.

Kemudian politik berbasis nilai yang diperjuangkan. Dia mendukung Palestina dan tak ragu  mengecam hipokrasi Barat.

Pelajaran kedua, dari acara Jack TV adalah  politik adalah pengejawantahan komitmen politik ideologis bukan pragmatis.

“Kalau politis kompromi nilai sesaat, kata Pak Sabam dia bukan leader tetapi dealer. Baginya politik itu suci,” ujar Burhanuddin.

Dua pelajaran dari politikus dari tujuh zaman mengarungi presiden Indonesia. Sabam Sirait  monumen hidup menyaksikan segala zaman.

Bagi aktivis di sini (Kelompok Cipayung Plus) Sabam Sirait  harus banyak diteladani, terutama Politik itu Suci.

Menurut Burhanuddin mengejar kekuasan bisa di luar panggung selama itu konsekuensi jalan hidup. Dengan itu generasi muda sekarang yang alergi politik akan teratasi.

Mengacu pada data BPS total Generasi Z (kelahriran 81-96) akan mencapi 75 juta, 27 persen.

Meski aware tetapi enggan berpartisipasi dalam pemilu kita juga yang rugi. Menjadikan Politik kita tidak kredibel.

Oleh karena itu, Kelompok Cipayung Plus harus bisa meneruskan jejak-jejak Sabam Sirait yang baik itu.

Dengan demikian anak-anak muda ramai  masuk politik, tetapi  prinsipnya ideologis bukan pragmatis.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler