Qatar mendapat kecaman keras dari sejumlah kelompok hak asasi manusia tentang perlakuan terhadap pekerja migrannya.
Padahal pekerja migran,bersama dengan orang asing lainnya, merupakan kelompok mayoritas di Qatar.
BACA JUGA: Louis Van Gaal Mengaku Kantongi Kelemahan Lionel Messi, Ternyata Ini!
Kekalahan 3-0 Senegal di Stadion Al Bayt menyisakan Maroko sebagai satu-satunya wakil Afrika yang tersisa di turnamen tersebut, tetapi di pusat perbelanjaan Asian Town, beberapa penggemar Afrika sudah memikirkan masa depan mereka setelah final piala dunia.
"Mereka yang datang hanya untuk Piala Dunia pasti akan pulang ke negaranya setelah Piala Dunia, tetapi saya masih memiliki masa depan di sini karena saya masih punya pekerjaan yang harus dilakukan," kata Wambaka Isaac dari Uganda.
BACA JUGA: Brasil Dituding tak Menghormati Korea, Begini Pengakuan Tite
"Kami akan melakukan bersih-bersih, seperti membersihkan kantor, di mana pun [ada] banyak yang bisa dikerjakan, dan tentu saja gedung juga harus terus beroperasi," tambahnya.
Mengenakan kaos tim nasionalnya dengan penuh rasa bangga, Wambaka adalah salah satu dari ribuan pekerja migran yang ikut menyaksikan pertandingan babak 16 besar antara Prancis dan Polandia sebelum Inggris dan Senegal berlaga, Minggu kemarin.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: RKUHP Disahkan Meski Ada Pasal-pasal Bermasalah
"Ini rumit," kata seorang polisi lalu lintas muda dari Kenya, yang menolak menyebutkan namanya, ketika ditanya apakah dia akan tetap tinggal atau tidak di Qatar setelah Piala Dunia usai.
"Saya bekerja di bidang konstruksi Stadion Lusail, [stadion] Al Thumama. Saya bekerja untuk kontraktor, jadi kita bekerja kemana pun diminta. Hari ini kami bertugas mengamankan pertandingan, tapi minggu depan kami mungkin akan bekerja di bidang konstruksi lagi," jelasnya.
"Kami bekerja pada musim panas, saat cuaca sangat panas, dan hari yang Panjang. Panas sekali. Saya sangat lelah sepanjang waktu."Tidak ada pekerjaan di kampung halaman
Bagi Rahim, seorang pengemudi 'ride-share' dari Bangladesh, tinggal selama tiga setengah tahun di Qatar sangatlah berat.
Tapi di desa asalnya tidak ada pekerjaan, sehingga dia merasa tidak punya pilihan selain terus bekerja dan menetap di Qatar.
"Saya bekerja setiap hari, tujuh hari seminggu. Pertama saya harus membayar perusahaan untuk mobil yang saya pakai, karena itu bukan milik saya. Kemudian saya harus membayar ongkos makan dan sewa tempat tinggal, lalu sisanya saya kirim ke keluarga saya,” kata Rahim.
"Selama pandemi saya tidak punya kerja, jadi hidup kami kurang. Saya mencoba menabung untuk pulang, saya belum melihat keluarga saya selama tiga setengah tahun [tetapi] jika saya pulang, di sana tidak ada pekerjaan. Jadi saya harus punya lebih banyak uang."
Rahim mengatakan dia ingin membawa istri dan putrinya untuk tinggal bersamanya di Qatar tetapi dia tidak memiliki cukup uang untuk melakukannya, jadi istri dan anak-anaknya tetap tinggal di Bangladesh.
Kawasan penggemar FIFA di Asian Town, yang dekat dengan tempat tinggal banyak pekerja migran, adalah salah satu dari sedikit tempat di Doha yang menayangkan pertandingan Piala Dunia di layar besar.
Hampir setiap malam para pria keluar untuk duduk di rumput atau di bangku stadion kriket, tempat zona penggemar ini dibangun untuk menonton Piala Dunia.
Namun karena mereka harus mulai kerja pagi-pagi sekali, banyak yang memilih pulang ke rumah untuk tidur sebelum pertandingan selesai.
Banyak pekerja bergantung pada majikan mereka untuk diizinkan tinggal di Qatar dan mereka harus memastikan jika tetap bisa bekerja.
Jonathan, seorang warga asal Uganda lainnya, tidak terlalu suka dengan pekerjaannya sebagai mekanik.
Tapi tak ada pilihan lainnya, sehingga ia memilih menetap meski Piala Dunia usai.
"Saya akan bertahan sampai kontrak saya selesai," katanya.
Artikel ini diproduksi oleh Hellena Souisa dari ABC News.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Top Skor Piala Dunia 2022: Kylian Mbappe Beringas, Richarlison Mengintip