Buruk Citra Bom Ditebar

Rabu, 23 Maret 2011 – 13:35 WIB
BURUK muka cermin dibelahTak pandai menari, dikatakan lantai terjungkit

BACA JUGA: WikiLeaks, Tsunami, Korupsi

Lempar batu, sembunyi tangan
Ini tiga dari sejumlah peribahasa untuk menyindir atau mengeritik para pemimpin yang tak mau bertanggungjawab atas apa yang diperbuatnya.

Di masa lalu, ketika etika dan kebudayaan masih jadi tradisi di kalangan kaum terpelajar, dan rasa malu masih menjadi bagian dari gaya hidup para pemimpin, kritik lewat pantun, peribahasa, atau gambar karikatur, bisa sangat efektif

BACA JUGA: Koalisi atau Konspirasi?

Sehingga yang dikritik dan yang mengeritik masih bisa ketawa bersama.

Tapi di zaman SBY sekarang ini, ketika semua tata nilai dijungkirbalikkan, sehingga jabatan-jabatan publik hanya bisa dijangkau dengan cara-cara KKN dan tipu muslihat, cara mengeritik dan mengingatkan pembesar negara yang korup pun ikut keluar dari konteks etika dan budaya.

Maka demonstrasi mahasiswa, pemuda dan aktivis pergerakan kalau ingin didengar, harus membawa foto si pembesar korup yang sudah dipasangi taring, lalu dibakar di depan kantornya
Atau orasi langsung di depan Istana dengan memakai pengeras suara ribuan watt baru bisa masuk ke kuping sang pembesar negara.

Bahkan para pemuka agama, agar juga bisa didengar nasihatnya, turut mengubah taktik dan strategi

BACA JUGA: Mencari Kebaikan SBY

Dengan menggunakan nukilan kisah para Nabi lengkap dengan ayat-ayat Kitab Suci saja tampaknya hanya jadi angin laluMakanya, para pemuka agama di negeri ini, awal Januari lalu, berkumpul dan menyerukan: 18 Kebohongan Rezim Yudhoyono...

Akan tetapi, para pemimpin yang korup, yang punya seribu satu cara untuk menguasai tahta, juga punya seribu satu cara untuk meloloskan diri dari berbagai sorotan dan kritikan masyarakatEmbargo berita, boikot iklan, dipakai untuk meredam media massa yang memberitakan kondisi masyarakat secara apa adanya, yang memang makin memrihatinkan, dan ini mencerminkan kinerja pemerintahan yang amburadul.

Sedangkan untuk mengalihkan keburukan-keburukan rezim yang terlanjur menjadi topik pembicaraan masyarakat di kafe-kafe, di ruang-ruang tunggu, di warung-warung kopi, dan di mulut-mulut gang serta pos-pos ronda di kampung-kampung, dibikinlah peristiwa yang mengguncang sendi-sendi kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegaraMisalnya, mencabik-cabik Bhineka Tunggal Ika, menebar rasa takut dengan terorTak soal bila untuk itu harus ada korban nyawa manusia atau kerusakan fisik yang besar.

Sekarang, ketika merebak "bom buku" yang sekonyong-konyong menjadi tren sehingga muncul di mana-mana, dibicarakan di mana-mana, menebar teror di mana-mana, semua orang secara otomatis langsung melirik WikiLeaks, situs gerakan internasional yang ingin membebasan dunia dari aneka kebohongan rezim yang menyengsarakan rakyatnya.

Maka dari dunia maya, turunlah pesan elektronik via HP, BB, FB, Twitter, dari Republik Pencitraan yang berbunyi: "Buruk muka cermin dibelah! Buruk citra bom ditebar!"

Tapi di zaman SBY ini, Indonesia memang sudah tercerabut dari akarnyaTelah kehilangan naluri kebudayaannya.

Lihatlah Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin di sudut kumuh Taman Ismail Marzuki, Jakarta, yang menyimpan ribuan buku bernilai sastra, kian rapuh dan nyaris tak disentuhDana pengelolaan dari pemerintah terus disunat sampai nyaris habis.

Ada memang sejumlah seniman yang tergerak hatinyaLalu mengais uang recehan untuk menyelamatkan PDS ituTapi ini bukan langkah budayaIni langkah pembiarkan uang rakyat dikorup para pembesar negaraLebih sehat kalau rakyat menggedor pintu kantor atau rumah para pembesar negara ituLalu meminta uang jatah PDS dikembalikan!

Atau, jangan-jangan buku-buku yang diterlantarkan pemerintah di PDS HB Jassin itu telah mengambil jalan sendiriMeneror kita semua dalam bentuk: Bom Buku...! (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... George Toisutta, Tragedi Baju Hijau di Lapangan Hijau


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler