SEPAKBOLA bagi bangsa Indonesia memang bukan sekadar olahraga, tapi salah satu alat perjuanganMakanya, Ir Soeratin Sosrosoegondo dulu (1930) mendesain PSSI bukan semata sebagai organisasi sepakbola, tapi instrumen perlawanan terhadap rezim penjajah Belanda.
Itulah sebabnya di masa lalu, setelah Soeratin, kursi Ketua PSSI selalu diisi pejuang yang juga tokoh pergerakan: Artono Martosoewignyo, Maladi, Abdul Wahab Djojohadikoesoemo.
Di zaman Orde Baru, karena yang bisa disebut pejuang itu adalah korps baju hijau (TNI), maka orang No 1 di PSSI merupakan jatah tentara: Bardosono, Moehono, Ali Sadikin, Sjarnoebi Said, Kardono, Azwar Anas, Agum Gumelar.
Pasca-reformasi, orientasi sepakbola berubah drastis
BACA JUGA: Cerita dari Jakarta, Skenario dari Kairo
Menjadi bagian dari industri yang berdimensi ekonomiKetika hubungan ekonomi (pengusaha) dan politik (penguasa) makin lengket, sepakbola pun mengalami metamorfosis
BACA JUGA: Antara Cikeusik dan Cikeas
Sepakbola, yang menjanjikan massa sangat besar, pun menjadi instrumen politik yang menggelitik.Akibatnya, kini dunia sepakbola kita memasuki zaman “pelangi” yang aneh
BACA JUGA: Musim Gugur Rezim Kebohongan
Atau gaya catenaccio Italia vs total football Belanda.Sekarang ini di lapangan hijau yang kita saksikan adalah pertarungan warnaTentu saja yang paling dominan adalah Kuning (Golkar: Nurdin-Nirwan) vs Biru (Demokrat: Andi Mallarangeng-Penguasa)Sedangkan George Toisutta (TNI-baju hijau) dan Arifin Panigoro (merah-PDIP-PDP) hanya pelengkap atau hanya sekadar pion dalam kompetisi yang menggelikan ini.
Tentu saja yang paling meradang adalah ToisuttaKarena Jenderal TNI bintang empat yang sedang jadi orang No 1 di TNI-AD ini, bersama Panigoro, tak bisa ikut dalam pertarungan karena diganjar “kartu merah” Komite Pemilihan Ketua PSSI, justru sebelum masuk lapangan pertandingan.
Kita tidak tahu apakah panitia pemilihan, yang didominasi kekuatan Kuning (Golkar), sudah mempertimbangkan kemungkinan munculnya reaksi dari TNI, wabil khusus TNI-AD, karena bos mereka dipermalukan di depan publik nasional dan internasional (FIFA)?
Tapi yang tak kalah pentingnya, tahukah Toisutta kenapa pagi-pagi dia sudah dieliminasi dari medan kompetisi Ketua PSSI? Dan tahukah Toisutta kenapa pemerintah Yudhoyono, via Menegpora Andi Mallarangeng, tampak gigih membela dan melakukan intervensi terbuka dengan, seolah-olah, demi penegakan hukum?
George Toisuta pasti prajurit tulen yang hatinya dibungkus Sapta MargaIa hanya tahu berjuang, berjuang dan berjuangMakanya, begitu melihat medan perjuangan di lapangan hijau terbuka bagi dirinya, ia ingin lekas sampai di sanaSeperti yang pernah dilakukan para seniornya.
Saya sangsi, Toisutta memahami bahwa lapangan hijau sekarang sudah berubah jadi medan ekonomi dan politik, dua cabang kehidupan yang mengandung unsur tipu daya dan intrik yang kuatSebab kalau Toisutta paham soal ini, pasti ia juga tahu kalau dirinya yang sudah terjebak “off-side” dipaksa bikin “gol!”
Jadi ambisi Toisutta duduk di kursi No 1 PSSI memang berbeda dengan Arifin Panigoro, pengusaha yang juga politisi, yang tahu persis potensi ekonomi dan politik di lapangan hijau.
Lalu kenapa Jenderal TNI-AD George Toisutta yang 100 persen ingin berjuang di lapangan hijau dihalang-halangi duet Nurdin-Nirwan?
Mungkin karena Toisutta didorong Panigoro, orang yang sangat dekat dengan Sri Mulyani, bekas Menteri Keuangan yang dianggap SPG-nya IMF, seteru beratnya Aburizal BakrieSedangkan Nurdin Halid orang penting di Golkar, yang dipimpin Aburizal, dan Nirwan adiknya bos Partai Beringin itu.
Jadi George Toisutta tampaknya salah memilih pintu masuk ke Stadion Senayan…! (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gaji Naik dan Kebohongan Publik
Redaktur : Tim Redaksi