Cabut 154 Perda Diskriminasi Perempuan

Kekerasan Rumah Tangga Naik Tajam

Rabu, 22 Desember 2010 – 06:21 WIB

JAKARTA - Peringatan hari ibu hari ini diharapkan menjadi titik balik bagi pemerintah daerah untuk memperbaiki penghormatan hak-hak perempuanKetua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Yunianti Chuzaifah menyatakan ada banyak peraturan daerah (perda) yang diskriminatif kepada perempuan

BACA JUGA: Menkes Serahkan Penghargaan 25 RSIA Terbaik

Untuk itu, Komnas meminta agar perda tersebut untuk segera dicabut.

"Kebijakan diskriminatif ini dalam proses perumusannya minim melibatkan perempuan atau kelompok agama lain," kata Yunianti di dalam seminar Meneguhkan Perjuangan Kita: Pelaksanaan Mandat Konstitusi untuk Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan di gedung Mahkamah Konstitusi, Selasa (21/12) kemarin.

Komnas Perempuan mencatat di serdikitnya 154 perda di Indonesia mengabaikan hak-hak sebagian warga negara yang telah dijamin di dalam konstitusi
Sepanjang 2010 ada 46 kebijakan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten yang disahkan tapi masih memiliki unsur diskriminasi terhadap perempuan.

Yunianti menyontohkan, perda prostitusi yang dikeluarkan pemerintah Tangerang dan perda syariat di Nanggroe Aceh Darussalam

BACA JUGA: KPK Tunggu Data Skoring CPNS

Kedua perda tersebut, lanjutnya, mengatasnamakan agama dan moralitas serta menggunakan klaim mayoritas masyarakat dalam proses demokrasi
Padahal, perda tersebut menjadikan perempuan sebagai subjek penindasan."Untuk peraturan jam malam misalnya

BACA JUGA: SBY Perintahkan Mendagri Stop Komentari DIY

Faktanya di Indonesia ibu single parent itu banyak dan mereka butuh bekerja yang memakan waktu untuk bertahan hidup demi anaknya," kata Yunianti.

Berdasarkan hal itulah Komnas mengajak berbagai pihak terkait mulai dari pemerintah yang menghasilkan kebijakan hingga masyarakat untuk menangani persoalan ini secara komprehensifBentuknya dengan melakukan review ulang penetapan perda tersebut secara riil dan komprehensif.

Fakta lain yang menunjukkan tingginya diskriminasi perempuan adalah meningkatkan pelaporan kasus kekerasan dalam rumah tangga dalam 3 tahun terakhirDari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) ,misalnya,hingga Oktober tahun ini tercatat 434 kasus terlapor dan sebagian besar telah ditangani.

Koordinator LBH APIK Nursyahbani Katjasungkana mengatakan, penerapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga masih lemah di kalangan penegak hukumPadahal laporan kasus terus mengalir baik ke lembaga advokasi maupun ke kepolisian hingga pengadilan"Harusnya elemen hukum harus kerjasama untuk memberikan dampak bagi keadilan korban," ujarnya.

Nursyahbani mencontohkan, standar operasional pelaksanaan seperti perlindungan untuk korban kekerasan sejauh ini masih belum adaPada kasus lain, polisi mudah menindaklanjuti pengaduan suami yang menganggap telah ditelantarkan karena ditinggalkan istrinyaPadahal pemicunya kekerasan suami kepada istri.

Menurut dia, para penegak hukum harus diberi pelatihan untuk memahami UU KDRTSelain itu, kampanye penghapusan kekerasan juga harus digencarkan agar masyarakat tidak lagi pasif ketika menjadi korban kekerasanDari catatan LBH APIK, ada 337 kasus pada 2007, 497 laporan pada 2008, dan tahun lalu melonjak menjadi 657 kasus(zul)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Busyro Siap Buka Telinga demi KPK


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler