Calon Menperin : Saya Sih Tidak Berharap

Minggu, 26 Oktober 2014 – 07:05 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Di pos Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dua kandidat kuat disebut-sebut, yaitu bos Gobel Panasonic Rachmat Gobel dan mantan Presdir Toyota Astra Motor (TAM) Johnny Darmawan.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PU-Pera) muncul nama Basuki Hadimuljono dan Kementerian Transportasi diyakini akan diisi oleh Ignasius Jonan.

BACA JUGA: Naik Posisi, dari Wamen jadi Menteri

Johnny Darmawan saat dikonfirmasi kemarin menyatakan belum bisa memastikan pemanggilan dirinya ke struktur kabinet.

’’Ya, memang ada pemilihan. Saya sih tidak berharap. Yang paling realistis karena probabilitas minoritas… karena saya ada keturunan (Tionghoa),’’ ucapnya kepada Jawa Pos kemarin.

BACA JUGA: Andrinof Chaniago Anggap Ini Kesempatan

Kepala Ekonom PT Bahana TCW Investment Budi Hikmat mengatakan, pendekatan dalam memilih kabinet dari sektor ekonomi semestinya mempertimbangkan beberapa fakta penting yang terjadi belakangan ini.

’’Kita tahu, sepuluh tahun terakhir rasio ekspor terhadap GDP (gross domestic product) itu turun. Sejak akhir 2011, neraca berjalan yang tadinya surplus menjadi defisit,’’ ungkapnya kepada Jawa Pos kemarin.

BACA JUGA: Ini Komentar Kandidat Menkeu

Dari dua indikator itu saja, menurut Budi, sudah menunjukkan bahwa Indonesia kurang bersaing dan kurang produktif. ’’Semestinya, kalau kita kuat dalam bersaing, rasio ekspor ke GDP bisa naik. Tapi, faktanya kita memang kurang dalam produksi minyak,’’ paparnya.

Defisit terbesar ketiga dan keempat adalah dari produk kimia dan baja ringan. Defisit terbesar kedua adalah dari bahan bakar minyak (BBM) akibat adanya beban subsidi dan defisit terbesar pertama berasal dari impor kendaraan.

’’Sepuluh tahun terakhir penjualan kendaraan di negara kita 73 juta unit. Sebanyak 58 juta di antaranya sepeda motor. Tapi, apakah penjualan baja Krakatau Steel naik? Kan tidak. Padahal, produksi kendaraan menggunakan baja,’’ tutur Budi.

Karena itu, menurut dia, wajar jika selama ini Indonesia terkesan diskenariokan sebagai negara pasar (market) saja atau terjadi kondisi spending without productions. Dalam istilah tersebut, kata Budi, akhirnya hanya menghasilkan utang.

’’Maka, tugas berat pemerintahan Jokowi saat ini, terutama bidang ekonomi, adalah pangkas BBM bersubsidi terlebih dahulu. Lalu, kita harus berani menjadi negara produsen,’’ tegasnya.

Untuk mewujudkan itu, Jokowi harus diperkuat para menteri berjiwa industri, bukan jiwa pedagang. ’’Kita harus bangun petrochemical. Harus diniatkan untuk lebih serius dalam ekspor. Pak Jokowi harus mampu pecahkan kebuntuan,’’ harapnya.

Terlebih jika melihat riset World Bank pada Juni 2014 yang menyatakan bahwa Indonesia berisiko gagal menjadi negara kaya pada 2030 sebagai bagian dari bonus dividen demografi seandainya pertumbuhan ekonomi hanya di kisaran 6 persen. ’’Apalagi, kondisinya seperti sekarang, di bawah 6 persen. Ini bahaya,’’ ujar Budi mengingatkan. (JP)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sofyan Djalil : Sebaiknya Tunggu Saja


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler