Pemerintah Australia sedang merancang sistem migrasi baru untuk 10 tahun ke depan, dengan diumumkannya beberapa aturan baru pada Selasa, 11 Desember lalu.
Terdapat beberapa perubahan dalam strategi tersebut, khususnya mengenai aturan 'student visa' atau visa pelajar.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Australia Berubah Haluan, Kini Mendukung Gencatan Senjata di Gaza
Salah satu wujudnya adalah dengan dimunculkannya 'genuine student test' di mana pemohon visa pelajar akan harus membuktikan kalau studi mereka di Australia nantinya akan membantu aspirasi akademis dan jenjang karir mereka di masa depan.
Berdasarkan rancangan baru ini, pengawasan lebih terhadap mereka yang mengajukan permohonan visa kedua akan menjadi lebih ketat, dengan jumlah pelajar internasional yang tinggal di Australia dengan beberapa visa pelajar berturut-turut meningkat lebih dari 30 persen menjadi 150.000 pada tahun lalu.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Penghapusan Bahan Bakar Fosil Tidak Disebutkan Dalam Draf COP28
Selain itu, persyaratan kemampuan berbahasa Inggris lewat nilai tes IELTS juga akan dinaikkan.
Bagi pemohon visa pelajar, minimal skor IELTS akan menjadi 6.0 dari 5.5, sementara pemohon visa Graduate bagi mereka yang sudah lulus skor minimalnya adalah 6.5, dari sebelumnya 6.0.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Australia Merombak Strategi Imigrasi, Termasuk Visa Untuk Pelajar
Perubahan aturan ini mungkin akan mempersulit Lita, mahasiswi asal Jawa Tengah yang berencana untuk mengajukan visa Temporary Graduate (subclass 485) setelah lulus.
Lita menjadi pelajar di Australia demi menambah keterampilan di bidang kuliner dengan mengambil jurusan 'Italian Cookery' atau ilmu memasak hidangan Italia di Alma Mater College Australia, Melbourne.
Berkaca pada pengalamannya sebagai mahasiswi yang bekerja paruh waktu, ia mengakui bahwa perubahan aturan tersebut akan berdampak lebih baik bagi Australia ke depannya.
"Sekarang ini, cari kerja pun menjadi lebih susah karena lebih banyak pendatang yang beberapa bahasa Inggris-nya kurang banget, dan susah diajak ngomong", ujarnya.
Sebagai mahasiswi yang berkerja paruh waktu di industri restoran, Lita setuju dengan upaya pemerintah Australia dalam mengurangi angka migrasi ini melihat semakin sulitnya mencari pekerjaan dan tempat tinggal.
"Sekarang ini industri restoran tuh banyak menurun, agak quiet [sepi] dibanding dulu, jadi mulai ada perpotongan jam, jadi terlalu banyak staff tapi jam kerjanya enggak cukup gitu," katanya.
"Jadi kita kayak rebutan pekerjaan."
Senada dengan Lita, Belleza yang berasal dari Jakarta tidak merasa ada yang salah dengan ditetapkannya aturan tersebut.
Belleza sedang dalam tahap mengumpulkan dokumen untuk menempuh S1-nya di Australia, meski belum memutuskan di universitas mana.
"Menurut saya kalau dinaikkin enggak masalah karena sumber belajarnya juga sudah banyak," katanya.
"Kayak di Youtube, nonton film, atau baca buku pasti meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris juga, ada tempat les juga, kan?"
Namun, Belleza yang sudah memenuhi persyaratan tes IELTS visa pelajar Australia meminta agar standar bahasa Inggris yang ditetapkan tidak terlalu tinggi.
"Takutnya misalkan orang yang belum terlalu bisa bahasa Inggris terus mau belajar karena mau ke luar negeri, takutnya sulit," katanya.
"Bahkan mereka kalau sudah les pun enggak pass kan sayang juga."Tren 'visa hopping'
Menurut pemerintah Australia ditingkatkannya persyaratan bahasa Inggris adalah salah satu bentuk komitmen untuk meningkatkan kualitas pengalaman belajar di Australia dan mengurangi potensi eksplotasi di tempat kerja.
Walau jumlah visa pelajar yang dikabulkan akan mengurang, agen migrasi Sola Gracia Migration di Melbourne, Lily Susanti mengatakan persyaratan ini tidak akan mengurangi pelajar internasional di Australia.
"Menurut saya kenaikan requirement [persyaratan] ini tidak akan membuat student Indonesia akan berkurang, karena tidak cukup signifikan, cuma setengah dari persyaratan sebelumnya," ujarnya.
Pemerintah Australia juga menyadari adanya tren 'visa hopping' atau bergonta-ganti dari satu visa ke visa lainnya, termasuk pelajar yang bisa lebih dari sekali mendapatkan visa.
Pemerintah mengatakan pelajar dan lulusan internasional merupakan golongan terbesar migran "permanen sementara", dengan 108.000 orang telah tinggal di Australia selama lima tahun atau lebih.
"Kita tahu bahwa saat ini banyak sekali mungkin orang datang dengan visitor visa, kemudian mereka apply student visa, untuk belajar dan ternyata tidak bisa memenuhi persyaratan PR [penduduk tetap]," kata Lily.
"Dan kemudian [mereka] memperpanjang ke student visa yang baru, atau mungkin meloncat ke student visa yang lain."
Menurut Lily, melalui strategi ini, pemerintah ingin memastikan agar pengguna visa pelajar benar-benar menggunakannya untuk belajar. Begitu pula dengan turis, yang seharusnya tujuannya adalah untuk berkunjung.
“Jadi bukan untuk swapping [berganti] dari satu visa ke visa lain hanya untuk memperpanjang tinggal di Australia," katanya.Menghindari dampak menumpuknya migran
Jumlah migrasi bersih Australia diyakini telah mencapai puncaknya pada tahun fiskal lalu yaitu sebesar 510.000 dan diperkirakan akan turun ke tingkat yang lebih normal, turun menjadi 250.000 pada tahun depan dan 250.000 pada tahun 2025.
Pemerintah mengatakan tanpa kebijakan baru, tingkat migrasi akan tetap tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama – yaitu 440.000 tahun depan dan 305.000 pada tahun berikutnya.
Lily mengatakan jika tingginya angka 'net migration' atau tingkat migrasi bersih ini tidak dibarengi dengan prasarana dan infrastruktur yang memadai, akan menimbulkan masalah.
"Contohnya adalah housing problem [masalah perumahan] dengan kenaikan harga-harga rumah yang tidak terkendali,” jelas Lily.
Menurutnya, permasalahan tersebut bisa diatasi dengan mengendalikan angka migrasi dan lebih fokus ke tenaga kerja yang langsung memberikan dampak posiif terhadap perekonomian Australia.
Ada juga prioritas untuk menyebarkan para migran ke daerah regional supaya populasi menjadi lebih rata.
Sebagai bagian dari inisiatif ini, Pemerintah Australia akan memperkenalkan jenis visa baru, yaitu visa 'Skills in Demand' yang diharapkan bisa mengisi kekosongan pekerja terampil yang dibutuhkan di berbagai sektor.
Menurut Lily, walaupun ada dampak negatif dari perubahan-perubahan ini, ada juga tenaga-tenaga profesional yang keterampilannya dibutuhkan di Australia, dan ini menjadi peluang karena adanya jalur untuk bisa apply visa dan bekerja di Australia.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dunia Hari Ini: Taylor Swift Dinobatkan Person of the Year Majalah Time