jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah menyatakan, generasi reformasi masih bersemangat untuk mengembalikan semua prosedur demokrasi kepada jalurnya.
Hal itu yang mendasari keinginan untuk mempersoalkan digelarnya Pileg dan Pilpres 2024 dalam waktu bersamaan dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
BACA JUGA: Ikut Pelatihan Hingga Punya Usaha Telur, Siti Rohimah Dukung Sandiaga Uno di 2024
Hal itu dikatakan Fahri dalam Webinar Moya Institute bertajuk Pemisahan Pilpres Dengan Pileg: Tinjauan Strategis, Jumat (24/6).
"Adalah hal yang tak masuk akal ketika hasil proses demokrasi dalam Pileg 2024, justru tidak bisa mencalonkan presiden dalam Pilpres 2024. Yang mencerminkan demokrasi sejati, adalah ketika presiden periode 2024-2029 mendapatkan dukungan suara faktual dari hasil Pileg 2024," papar Fahri.
BACA JUGA: Syafrudin Beberkan Agenda Partai UKM Indonesia Jelang Pemilu 2024, 27 Juni Menentukan
Fahri mengungkapkan jeda waktu yang cukup panjang dari pengumuman hasil pilpres hingga pelantikan presiden pada Oktober 2024 akan membuyarkan konsentrasi pemerintahan Presiden Jokowi.
Adanya delapan bulan jeda waktu sebelum pelantikan presiden terpilih diselenggarakan, menurut Fahri, akan membuat semacam 'dualisme' kepemimpinan nasional
BACA JUGA: Pilpres 2024 Diprediksi Dua Putaran, Begini Analisis Ujang Komarudin
"Presiden terpilih dari Pilpres 2024, akan menjadi 'magnet' bagi semua kekuatan politik. Sedangkan presiden petahana akan 'makan hati' selama 8 bulan. Sebaiknya, kita berikan kesempatan yang baik dan penuh bagi Presiden Jokowi untuk bekerja sampai masa jabatannya berakhir secara berwibawa," ujar Fahri.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif SMRC Sirojuddin Abbas menilai adanya jeda waktu yang panjang antara munculnya hasil Pilpres dengan pelantikan presiden terpilih, dalam dunia politik di berbagai negara akan melahirkan periode lame duck atau periode 'bebek lumpuh'.
Presiden petahana, lanjut Sirojudin, cenderung tidak bisa bekerja sama dengan presiden terpilih. Salah satu contohnya adalah periode transisi presidensial pada akhir masa kepresidenan Herbert Hoover di Amerika Serikat, sebelum dimulainya pemerintahan Franklin D. Roosevelt .
"Setelah pemilihan, Roosevelt menolak permintaan Hoover untuk pertemuan untuk menghasilkan program bersama untuk menghentikan krisis ekonomi. Hal itu, membuat krisis ekonomi makin parah," papar Sirojudin.
Periode lame duck, lanjut Sirojudin, juga bisa menimbulkan konsekuensi lunturnya pengaruh Presiden petahana di kalangan birokrasi. Inilah yang berdampak sangat serius bagi kepentingan publik.
Maka, Sirojudin mengungkapkan, ide untuk memperpendek periode lame duck patut dipertimbangkan.
"Perlu dikaji, apa dampak periode lame duck yang panjang terhadap efektivitas pemerintah dan DPR. DPR dan KPU mungkin dapat melakukan simulasi memperpendek periode lame duck," ujarnya.
Sementara Direktur Eksekutif Moya Institute Hery Sucipto mengatakan, akan ada jarak waktu yang jauh antara terpilihnya Presiden baru pada Pilpres Februari 2024, dengan pelantikan Presiden pada Oktober 2024.
Hal itu diperkirakan akan berdampak pada efektivitas jalannya pemerintahan Presiden Jokowi.
Di sinilah berbagai persoalan berpotensi muncul. Ia mengungkapkan, hasil Pilpres dan Pileg akan membuat siapapun peserta kontestasi, baik partai politik maupun politisi, akan sibuk mengamankan keberlangsungan jejak politik mereka.
"Terbuka juga peluang bahwa hasil pileg akan memunculkan situasi riil yang berbeda dari konstelasi politik yang terbentuk pra-pemilu 2024," tutup Hery. (dil/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif