jpnn.com, JAKARTA - Salah satu fokus pembahasan Revisi UU Penyelenggaraan Pemilu adalah pelaksanaan kampanye.
Bila sebelumnya berlangsung selama setahun, pada 2019 kampanye hanya dilaksanakan selama enam bulan.
BACA JUGA: PAN Buka Pendaftaran Bacaleg 2019, tak Harus Kader
Ketua Pansus Revisi UU Pemilu Lukman Edy mengatakan, pansus dan pemerintah sepakat kampanye hanya berlangsung enam bulan karena kampanye satu tahun membutuhkan biaya tinggi.
’’Energi yang dikeluarkan juga besar. Sangat melelahkan,” kata Lukman saat ditemui di kompleks parlemen, Senayan, kemarin (17/4).
BACA JUGA: Yakinlah, KPU Periode Ini Bisa Jaga Independensi
Masa kampanye pemilihan umum presiden (pilpres) dan pemilihan umum legislatif (pileg) sama. Namun, kata dia, pelaksanaannya berbeda.
Jika di satu tempat ada kampanye pilpres, kampanye pileg tidak boleh dilaksanakan di lokasi yang sama. ’’Harus diadakan di tempat lain,” paparnya.
BACA JUGA: KPU Baru Langsung Tancap Gas Garap Tugas
Lukman mengatakan, waktu enam bulan cukup untuk kampanye. Bahkan, lanjut dia, di Jerman masa kampanye hanya dua bulan.
Namun, pihaknya tidak mungkin meniru sistem di negara lain karena kondisi itu tidak cocok diterapkan di Indonesia. Waktu dua bulan sangat mepet. ’’Maka, kami pilih enam bulan,” tuturnya.
Bagaimana dengan calon presiden baru yang membutuhkan sosialisasi lebih lama? Menurut Lukman, waktu enam bulan cukup bagi calon baru.
Mereka harus berkampanye secara maksimal sehingga masyarakat bisa mengenal calon tersebut. Jadi, tidak perlu sampai setahun karena terlalu lama.
Selain masa kampanye, waktu pelaksanaan pemilu menjadi pembahasan. Menurut politikus PKB itu, pansus dan pemerintah juga memutuskan bahwa pemilu dilaksanakan pada 17 April.
Namun, lanjut dia, KPU berbeda pendapat terkait dengan pelaksanaan pemilu. Komisi itu berpendapat, jadwal pileg mengikuti pilpres pada Juli. ’’Bukan pilpres yang ikut pileg,” ungkapnya.
Keputusan tersebut belum final. Jika tidak 17 April, pemungutan suara pemilu diselenggarakan pada Juli atau dilaksanakan di tengah-tengahnya. Yaitu, Mei. Pada Orde Baru, pemilu dilaksanakan pada Mei.
Terkait dengan waktu pelaksanaan pemilu, anggota Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan tidak sepakat dengan usul DPR menggelar pemungutan suara pada April.
Sebab, jeda antara pemungutan dan pelantikan presiden terlampau jauh. ’’Jedanya hampir setengah tahun,” ujarnya. Sebagaimana diketahui, masa bakti presiden 2014–2019 berakhir pada Oktober.
Padahal, lanjut Bagja, jeda enam bulan bukanlah waktu yang pendek untuk urusan pemerintahan. Dalam kurun tersebut, mungkin akan ada banyak bentuk kegiatan ataupun kebijakan.
’’Bahkan, bisa saja ada agenda APBN perubahan,” imbuhnya. Dengan begitu, secara tata kelola pemerintahan, hal itu tidak ideal. Terlebih jika presiden terpilih tidak berasal dari unsur petahana.
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain pun, lanjut Bagja, nyaris tidak ada contoh jeda transisi pemerintahan yang mencapai enam bulan. Mayoritas berkisar dua sampai tiga bulan.
’’Di Amerika saja pilpres November, pelantikan Januari,” tuturnya. Untuk itu, pihaknya mengusulkan agar Pemilu 2019 bisa dilakanakan antara Juni atau Juli. Sebelumnya, usulan yang sama disampaikan KPU.
Meski demikian, Bagja menegaskan bahwa pihaknya menyerahkan keputusan tersebut kepada DPR dan pemerintah selaku pembuat UU. Sebagai penyelenggara, apa pun yang diputuskan dalam UU akan dilaksanakannya. (lum/far/c7/agm)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ingat, Sejumlah PR Sudah Menanti KPU Baru
Redaktur & Reporter : Soetomo