jpnn.com - ORANG tua kerap waswas ketika sang anak yang berusia remaja ingin merayakan pesta tahun baru di luar bersama teman-temannya. Waswas memang perlu demi menjaga keselamatan anak. Lantas, kapan memberi izin dan kapan melarang?
Lima hari menjelang pergantian tahun menuju 2015. Para orang tua yang memiliki anak remaja mungkin saat ini sedang bingung dan dilanda rasa khawatir. Maklum, para remaja sering mengajukan permintaan untuk diperbolehkan merayakan pesta tahun baru dengan teman-temannya.
BACA JUGA: Lengkapi Perayaan Natal dengan Lemon Cake
Terlebih, tidak sedikit kejadian buruk akibat pesta tahun baru yang tidak sesuai dengan usia mental. Remaja merayakan pesta tahun baru dengan dugem, minum minuman beralkohol, nge-drugs, bahkan beraksi seks bebas. Rentetan bahaya seperti itu wajar membuat orang tua khawatir. Mereka pun berpikir ribuan kali untuk memberikan izin atau melarang anak.
Psikolog Ajeng Raviando Psi menyarankan, orang tua menyikapinya dengan bijak. Usia remaja merupakan fase seorang anak sedang senang-senangnya berada di antara teman-teman atau kelompok.
BACA JUGA: Perlukah Berolahraga saat Sakit?
Bisa melakukan hal yang sama dengan teman-teman membuat si anak diterima di kalangan teman-teman. Hal itu juga memupuk kepercayaan dirinya.
Ada baiknya orang tua memberikan kebebasan kepada anak untuk bersama dengan teman-teman. Namun, bebas di sini merupakan bebas yang terikat. Lihat kesiapan mental si ABG. Sebelum mengeluarkan izin, orang tua harus punya informasi yang jelas dan detail mengenai posisi anak, dengan siapa saja dia menghabiskan waktu, serta dengan cara apa.
BACA JUGA: Amati Kelainan Bentuk Kaki dan Tungkai sejak Dini
’’Ingat, cara bertanya kepada anak jangan tendensius dan menyudutkan. Itu akan membuat anak jengah dan bisa jadi tidak memberikan informasi yang sesungguhnya,’’ tegasnya.
Sebaliknya, lanjut dia, anak diajak mengobrol dalam suasana santai, berikan gambaran pesta dengan cerita pengalaman orang tua (ortu) ketika masa muda. ’’Anak suka lho mendengarnya,’’ papar alumnus Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Jakarta tersebut.
Lewat obrolan santai itu, orang tua bisa menyelipkan pesan agar sang anak mampu membuat ’’pagar’’ untuk dirinya ketika tidak berada di bawah pengawasan ortu.
Ajari buah hati untuk mampu mengidentifikasi mana teman yang baik dan mana yang berpotensi berbuat buruk. Latih anak untuk bertanggung jawab dan bisa dipercaya.
Bisa seperti itu bukan hal yang instan. Melainkan harus dibentuk sejak dini. Sangat terlambat jika pengarahan itu baru diberikan ketika anak duduk di bangku SMP, bahkan SMA.
Perilaku yang diharapkan untuk dilakukan anak, orang tua juga harus bisa melakukannya. Contohnya, ketika orang tua tidak bisa menepati janji untuk pulang ke rumah pada jam tertentu tanpa memberikan kabar. Hal itu bisa membekas dalam benak anak untuk menirunya.
Ibu dua putri yang anak pertamanya beranjak remaja tersebut memberikan tip kepada orang tua. Sebelum memberikan izin, gali informasi penting mengenai lokasi pesta dan gambaran acara. Kenali teman-teman yang ikut dalam pesta.
’’Ajak anak bekerja sama. Buat kesepakatan mengenai jam pulang, siapa yang menjemput dan mengantar pulang,’’ tuturnya. Bila masih usia SMP, anak perlu diantar-jemput ortu. Tentu, ayah dan ibu hanya memantau dari luar agar anak punya me time bersama teman-temannya.
Kapan ortu berhak melarang? ’’Ketika anak tidak bisa memberikan informasi yang jelas atau berusaha menyembunyikan sesuatu. Ortu melarang demi kebaikan anak,’’ ujarnya.
Memberikan kepercayaan kepada anak sekaligus membentuk karakter mereka untuk bertanggung jawab. Sebaliknya, tipe orang tua yang overprotektif bisa menghambat perkembangan anak. Dampaknya, buah hati tidak berani melakukan hal-hal baru. (nor/c7/nda)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Perempuan Perokok Pasif Lebih Rentan Terserang Penyakit Paru
Redaktur : Tim Redaksi