jpnn.com, JAKARTA - Para orang tua disarankan melakukan skrining sebagai langkah awal meminimalisir kemungkinan anak mengalami penyakit jantung bawaan (PJB) atau Congenital Heart Disease (CHD).
Ketua terpilih Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) Dr. Radityo Prakoso, menyarankan lewat skrining premarital.
BACA JUGA: Kenali Gejala Stres Pada Anak Sejak Dini, Jangan Abai
"Skrining premarital dan konseling genetik dapat mengidentifikasi dan memodifikasi, melalui pencegahan dan manajemen, beberapa kebiasaan, medis dan faktor risiko lainnya yang dapat memengaruhi hasil kehamilan," ujar Dr. Radityo dalam seminar daring Heartology Cardiovascular Center, dikutip Minggu (25/7).
"Ini juga melibatkan promosi kesehatan wanita dan pasangannya sebelum terjadinya sebuah kehamilan, merupakan pencegahan primer dan langkah penting dalam membentuk masyarakat yang sehat," katanya menambahkan.
BACA JUGA: Orang tua Penting Antisipasi 3 Masalah Kesehatan Pada Anak di Masa Pandemi
Sebagai informasi, Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah penyakit jantung yang telah ada sejak lahir akibat pembentukan jantung yang tidak sempurna pada fase awal perkembangan janin di dalam kandungan.
PJB mengakibatkan gangguan aliran darah di dalam ruang jantung, sehingga darah yang dipompa tidak mencukupi kebutuhan tubuh.
BACA JUGA: RS Polri Raih Presisi Award Atas Dedikasi Tangani Covid-19
Tanpa kontrol kehamilan yang baik seringkali PJB tidak terdiagnosa sebelum bayi dilahirkan.
Pada saat orang tua mengetahui bahwa mereka memiliki bayi, proses perkembangan jantung telah selesai.
Di Indonesia sendiri, menurut data dari PERKI, terdapat 9 dari 1.000 bayi yang lahir dengan PJB.
Ada sejumlah faktor risiko yang bisa diketahui melalui skrining.
Pertama, dapat diketahui gen PJB yang diturunkan pada keluarga dan berhubungan dengan banyak sindroma genetik.
Lalu, Rubella yang dapat memengaruhi perkembangan jantung janin dan diabetes yang meningkatkan risiko PJB.
Perlu diketahui, diabetes gestasional tidak meningkatkan risiko PJB.
Lebih lanjut, penggunaan obat-obatan seperti lithium atau isoretinoin berkaitan dengan PJB, diikuti dengan konsumsi alkohol serta merokok.
Kini, sebagian PJB dapat divisualisasi dengan ekokardiografi fetal pada trimester kedua.
"Dokter jantung janin memiliki peranan yang penting yang bukan hanya untuk menegakkan diagnosis, tetapi juga memberikan konseling prenatal untuk membantu pasien," ucap Radityo.
Diagnosis prenatal juga memberikan kesempatan bagi orang tua untuk berkonsultasi mengenai diagnosis anak dan meningkatkan pemahaman orang tua tentang PJB.
Ini juga memberikan waktu bagi orang tua untuk memutuskan tetap dilanjutkan atau diterminasinya sebuah kehamilan, serta untuk memproses emosi.
Selanjutnya, ada skrining bayi baru lahir untuk PJB kritis, dilakukan dengan oksmetri denyut.
Uji ini memperkirakan jumlah oksigen pada darah bayi.
Skrining dilakukan ketika bayi berusia minimal 24 jam atau paling telat sebelum bayi dipulangkan jika diukur sebelum berusia 24 jam.
Dr. Radityo mengatakan PJB saat ini dapat ditangani tanpa pembedahan.
Intervensi kateter Zero Fluoroscopy (tanpa radiasi) merupakan teknik mutakhir penanganan PJB tanpa radiasi dan pembedahan.
Diketahui, radiasi dapat menimbulkan efek jangka panjang baik untuk pasien maupun dokter dan tim laboratorium kateterisasi.(Antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Ken Girsang