jpnn.com - SEMAKIN dekat dengan akhir masa kerja saya di Kedutaan Besar Australia di Indonesia, makin sering saya mengenang tiga tahun hidup saya di negara yang menakjubkan ini. Ada begitu banyak pengalaman luar biasa yang akan saya ingat selamanya. Kebanyakan adalah dampak dari passion saya terhadap cycling.
Ketika akan meninggalkan Australia dulu, saya sempat ragu untuk membawa serta sepeda saya. Mengingat reputasi lalu lintas Jakarta yang seperti itu. Untung, seorang rekan –yang juga punya passion terhadap cycling– mampu meyakinkan saya bahwa masih sangat mungkin untuk bersepeda di jalanan Jakarta.
BACA JUGA: Baju Awan Sambut Indahnya Natal
Perjalanan saya bermula dengan gowes akhir pekan bersama kelompok lokal yang dikenal dengan sebutan KGB (Kelapa Gading Bikers). Dimulai pukul 05.30 di Bundaran Hotel Indonesia, berlanjut dengan perjalanan cepat 100 kilometer melintasi jalanan-jalanan utama Jakarta.
Dengan cepat saya menyadari bahwa lalu lintas Jakarta bukanlah hal yang harus ditakuti. Ada rasa saling menghormati yang cukup antara pengguna kendaraan bermotor dan pengendara sepeda. Ini cukup berbeda dengan Australia. Yakni, melonjaknya popularitas cycling seolah-olah menghasilkan ”perang terbuka” antara pemakai kendaraan bermotor dan cyclist.
BACA JUGA: Setahun Tak Hamil, Pasutri Wajib Periksa
Seiring dengan meningkatnya rasa percaya diri dan kondisi fisik, saya mulai mencari tantangan-tantangan baru. Mengikuti rekan-rekan saya yang lebih cepat dan berpengalaman, Ray Marcelo dan John Ignatius, kami pun mengangkut sepeda di mobil dan menuju Purwakarta, ke arah Bandung. Bersenjata perangkat GPS Garmin, kami pun melintasi jalan-jalan kampung, belokan-belokan ke segala arah, tanjakan, dan turunan.
Dalam perjalanan-perjalanan itu, saya tak pernah merasa yakin berada di mana. Tapi, saya tahu bahwa setiap jalan menyuguhkan keasyikan tersendiri. Sawah yang hijau, hutan rimbun, kawasan pedesaan yang penuh aktivitas, serta deretan kaki lima tanpa henti.
BACA JUGA: Waspadai Nyeri Punggung Bawah
Salah satu tujuan favorit kami adalah Wanyasa, tempat kami akan berhenti untuk makan siang di sebuah warung ayam bakar di sisi danau. Para pelayan warung tampak terheran-heran melihat sekelompok bule datang dengan mengenakan pakaian ketat.
Setelah beberapa bulan, saya diperkenalkan ke sekelompok cyclist tulen yang dikenal dengan sebutan JERCKx (Jakarta Expat Road Cyclists Kelab). Saat hari-hari kerja, JERCKx selalu mulai bersepeda sangat pagi dengan aturan-aturan sederhana; Jangan terlambat karena akan ditinggal, kalau tidak bisa mengikuti kecepatan, sebaiknya Anda benar-benar tahu jalan menuju kafe, dan selalu mengenakan jersey JERCKx setiap Jumat.
Acara bersepeda JERCKx selalu berakhir dengan minum kopi di satu-satunya kafe di Jakarta yang buka pukul 6 pagi: Starbuck Thamrin. Itu adalah kesempatan untuk beristirahat dan bertukar cerita tentang perjalanan-perjalanan bersepeda. Para barista selalu menyapa kami dengan ramah dan sudah tahu bahwa saya selalu pesan extra small cappucino dengan extra shot (espresso).
Seiring dengan terus meningkatnya kemampuan, saya diundang beberapa pesepeda lokal untuk bergabung dalam lomba team time trial (TTT) di Jakarta. Aturannya, batasan satu warga asing per tim. Secara mengejutkan, kami berhasil meraih juara kedua dan saya meraih hadiah uang pertama saya sebagai seorang cyclist. Dalam hati saya berpikir, ”Apakah ini berarti saya telah menjadi seorang profesional?”
Semakin lama, saya semakin menikmati cycling. Alamiah bila kemudian saya mencari tantangan-tantangan baru. Teman-teman lantas bercerita tentang seorang penggemar sepeda asal Jerman bernama Axel (Moeller) yang tinggal di Lombok dan menyelenggarakan petualangan-petualangan bersepeda seru bernama Audax.
Pada 2013, ditemani rekan-rekan JERCKx, saya mengikuti Lombok Audax saya yang pertama, sejauh 400 km dan terbagi dalam dua hari. Rutenya melintasi jalanan-jalanan pegunungan di Lombok. Saya begitu mencintai setiap menit perjalanan dan tak sabar ikut lagi pada 2014. Bersepeda adalah cara yang luar biasa untuk melihat betapa indahnya Pulau Lombok.
Pada Lombok Audax 2014 pula saya –dan tim JERCKx– bertemu dengan rekan-rekan Surabaya Road Bike Community (SRBC) yang salah satu anggotanya adalah Azrul Ananda.
Kekompakan sekaligus persaingan bersahabat (yang hanya dipahami para cyclist!) dengan cepat terbentuk antara para anggota SRBC dan JERCKx. Perjalanan cepat dan seru disusul dengan canda tawa dan hidangan lokal yang nikmat di setiap titik peristirahatan.
Persahabatan tersebut lantas berlanjut di Audax East Java 2014 (diselenggarakan Jawa Pos Cycling), dari Surabaya ke Banyuwangi. Sebagai cyclist, saya tak akan pernah cukup hebat untuk berlaga di Tour de France. Tapi, saya telah menjalani event terbaik setelah lomba tersebut: Bersepeda di jalanan Jawa Timur yang dipagari anak-anak sekolah, yang terus mengibarkan bendera Indonesia. Jalanannya pun mulus dan ditutup total oleh pihak kepolisian.
Jawa Timur benar-benar tempat yang asyik untuk bersepeda. Hanya dalam hitungan beberapa minggu, saya pun kembali bersama rekan-rekan dari Jakarta yang lain. Kami diundang SRBC untuk menjalani tantangan cycling yang sesungguhnya: Mendaki Bromo (via Tosari, Pasuruan).
Bermodal sepeda dan semangat bertualang, kami pun meninggalkan dataran Surabaya dan mulai mendaki salah satu jalur tanjakan paling berkesan yang pernah saya lihat dan rasakan. Rutenya adalah jalanan yang sunyi dan damai, melintasi kampung-kampung, pepohonan, kabut, dan awan sebelum mencapai tujuan akhir kami, puncak tinggi Wonokitri di sisi kawah Gunung Bromo.
Keramahan rekan-rekan SRBC benar-benar sangat berkesan. Sebagai tamu, kami benar-benar tidak diberi kesempatan untuk merogoh kantong sendiri. Benar-benar keramahan Indonesia: Rumah mereka terbuka untuk kami, makanan selalu siap tersedia. Sulit membayangkan seandainya kami harus membalasnya kembali di Australia, ketika kami harus mengatur segalanya.
Tidak cukup untuk menceritakan segala petualangan bersepeda saya dalam artikel pendek seperti ini. Satu hal yang bisa saya pastikan: Kesamaan passion terhadap kegiatan olahraga seperti cycling mampu menaklukkan segala perbedaan. Baik perbedaan budaya, status ekonomi, maupun kemampuan.
Dengan bersepeda, saya telah mendapat kesempatan untuk memperoleh teman dari seluruh penjuru dunia. Saya telah bersepeda dengan orang-orang terkaya di Indonesia, juga dengan mereka yang hidup sederhana. Saya juga pernah berusaha untuk bisa mengimbangi para atlet profesional, sekaligus memperkenalkan olahraga yang begitu saya cintai ini kepada para pemula.
Saya tidak tahu seperti apa masa depan saya nanti. Yang pasti, cycling bakal menjadi bagian penting. Saya juga yakin akan kembali ke Indonesia bersama sepeda saya, melanjutkan jalinan persahabatan sekaligus merasakan petualangan-petualangan baru…. (*)
Tentang Penulis:
Steve Scott adalah Kepala Bagian Politik dan Ekonomi Kedutaan Besar Australia di Jakarta dalam tiga tahun terakhir. Pada pengujung 2014 ini dia mengakhiri masa tugas di Indonesia. Lahir di Perth, Western Australia, pada 22 Maret 1966, pria yang menikah dan memiliki satu putri ini juga pernah bertugas di Filipina, Tiongkok, dan Malaysia
BACA ARTIKEL LAINNYA... Waspada, Lupus Kemungkinan Besar Aktif saat Hamil
Redaktur : Tim Redaksi