Catatan Ketua MPR RI: Kecenderungan Positif untuk Mencegah Gelombang Ketiga

Oleh: Bambang Soesatyo

Jumat, 20 Agustus 2021 – 22:05 WIB
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo atau Bamsoet sampaikan catatan terkait pandemi Covid-19, Senin (2/8/2021). Foto/ilustrasi: Humas MPR RI

jpnn.com, JAKARTA - SETELAH melalui puncak penularan gelombang kedua, tantangan bersama berikutnya adalah mencegah dan menghindari gelombang ketiga penularan COVID-19. Kecenderungan positif dalam pengendalian pandemi Corona di dalam negeri sekarang ini harus dipertahankan dan dirawat dengan tetap bersikap waspada, berhati-hati dan konsisten mematuhi protokol kesehatan (Prokes).

Penurunan jumlah kasus COVID-19 dan turunnya tingkat keterisian rumah sakit atau BOR (bed occupancy rate) pada rumah sakit rujukan COVID-19 akhir-akhir ini jangan sampai membuat pemerintah dan masyarakat lengah atau ceroboh. Sepanjang tahun kedua ini, perkembangan pandemi masih menghadirkan ketidakpastian. Vaksinasi corona yang telah dilaksanakan di banyak negara memang sangat bermanfaat, tetapi vaksin itu sendiri belum menyelesaikan masalah. Faktanya, penularan virus corona yang menyebabkan lonjakan jumlah pasien masih terjadi di banyak negara.

BACA JUGA: Bamsoet: Kajian PPHN oleh Badan Pengkajian MPR RI Diharapkan Tuntas Awal 2022

Data terkini memang memperlihatkan bahwa Indonesia sudah melalui puncak penularan COVID-19 sepanjang gelombang kedua pandemi di dalam negeri. Boleh jadi, pekan ketiga Juli 2021 menggambarkan puncak penularan. Pada 14 Juli 2021, ada 54.517 tambahan kasus baru. Keesokan harinya, 15 Juli 2021, bertambah lagi 56.757 kasus. Dan pada 16 Juli 2021, tambahan kasus baru mencapai 54.000.

Pekan kedua Agustus 2021, tambahan jumlah kasus per hari sudah memasuki level di bawah 30.000-an kasus. Per Sabtu (14/8) kemarin, data resmi pemerintah melaporkan tambahan 28.598 kasus baru Covid-19 yang tersebar di 34 provinsi. Konsekuensi dari menurunnya jumlah kasus baru adalah berkurangnya tekanan pada sektor jasa layanan kesehatan.

BACA JUGA: Analisis Pakar soal Habib Bahar Vs Ryan Jombang

Beberapa hari lalu, Kementerian Kesehatan mengumumkan bahwa BOR untuk ruang isolasi di rumah sakit di seluruh provinsi, per 12 Agustus 2021, tidak ada lagi yang mencapai 80 persen. Namun, khusus ruang Intensive Care Unit (ICU), BOR rumah sakit pada beberapa provinsi masih di atas 80 persen. Antara lain Bali, Kalimantan Timur, Bangka Belitung, Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Riau.

Kecenderungannya layak disebut positif karena pulau Jawa yang sebelumnya sempat berstatus sebagai episentrum wabah corona di dalam negeri mulai menampakan perubahan yang menjanjikan. Data menunjukan bahwa angka atau jumlah kasus penularan di Jawa sejak Juli mulai melandai. Karena alasan itulah pemerintah dan Satgas COVID-19 mendorong semua pemerintah daerah di luar Jawa meningkatkan kewaspadaan dan bekerja lebih keras untuk menekan penularan.

BACA JUGA: Deklarasi Sehat Sulit Diakses, Peserta Seleksi CPNS 2021 dan PPPK Galau Lagi

Jika saja kencenderungan di pulau Jawa bisa dibuat lebih baik lagi, upaya pemulihan pada sejumlah aspek, terutama aspek ekonomi, bisa dimulai. Produktivitas pulau Jawa masih menjadi kontributor utama bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

Kecenderungan positif dalam pengendalian pandemi COVID-19 di dalam negeri sekarang ini harus dipertahankan dan dirawat, antara lain dengan tetap bersikap waspada, berhati-hati dan konsisten mematuhi prokes. Kesadaran bersama akan hal ini sangatlah penting, karena semua elemen masyarakat dihadapkan pada tantangan berikutnya, yakni mencegah dan menghindari gelombang ketiga penularan COVID-19.

Hingga kini, Pandemi COVID-19 pada tingkat global sekali pun masih menghadirkan ketidakpastian. Durasi pandemi ini belum bisa dihitung. Karena itu, ketidakpastian dan ketidaktentuan itu harus disikapi dengan cerdas dan bijaksana oleh semua elemen masyarakat. Semangat dan tujuan utamanya adalah menghindar dari gelombang ketiga.

Pada puncak penularan gelombang kedua, tersaji dengan gamblang ragam permasalahan dan banyak kisah memilukan. Rumah sakit rujukan tidak mampu menampung dan melayani semua pasien akibat besarnya lonjakan kasus COVID-19. Jumlah dokter dan tenaga kesehatan (Nakes) jauh lebih sedikit dibanding tambahan jumlah pasien.

Akibatnya, tidak sedikit pasien yang tidak tertolong atau terlambat mendapatkan pertolongan dari dokter dan Nakes. Juga di puncak gelombang kedua itu, penanganan pasien COVID-19 diwarnai dengan stok obat-obatan yang menipis dan keluhan banyak manajemen rumah sakit karena kehabisan oksigen.

Siapa pun tentu tidak ingin tragedi serupa terulang lagi. Semua orang harus mau belajar dari puncak penularan COVID-19 pada gelombang kedua yang menghadirkan ragam ekses yang nyata itu. Kini, data-data resmi menjelaskan bahwa Indonesia telah melalui puncak penularan gelombang kedua. Akan tetapi, ancaman dari COVID-19 tidak berkurang dengan sendirinya. Virus corona yang terus bermutasi masih menghadirkan ancaman. Ancaman yang tidak terlihat itu memaksa orang lanjut usia, kaum muda, remaja hingga anak bayi sekalipun melindungi diri dengan prokes.

Benar bahwa ada kegelisahan sebagian publik karena faktor penerapan pembatasan sosial. Bahkan ada yang menuntut pelonggaran atas PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat. Sayangnya, pada saat yang sama, semua pihak harus mengakui dan menerima fakta bahwa pandemi ini belum berakhir. Pada tingkat global, durasi pandemi yang tidak menentu ditunjukan oleh kurva penularan yang fluktuatif; menurun di kawasan tertentu, tetapi melonjak di kawasan lain.

Bahkan, karena tidak tahu kapan pandemi ini akan berakhir, sejumlah negara sudah menyatakan siap berdampingan hidup dengan virus corona. Namun, kesiapan itu harus didukung oleh sistem layanan kesehatan publik yang efektif merespons pasien yang terinfeksi COVID-19. Salah satu tolok ukur kemampuan itu adalah mencegah atau meminimalisir jumlah kematian pasien Corona.  Jika kematian akibat infeksi virus ini masih tinggi, itu pertanda sistem layanan kesehatan publik negara bersangkutan belum efektif.

Karena itu, setiap negara didorong untuk tidak gegabah dalam melonggarkan Prokes atau PPKM. Dalam konteks ini, pengalaman buruk Amerika Serikat (AS), Israel serta Inggris layak dijadikan contoh kasus pembelajaran. Pekan keempat April 2021, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit pemerintah AS melonggarkan aturan prokes Covid-19.

Karena sudah banyak warga AS yang menerima vaksinasi, peraturan yang mewajibkan penggunaan masker di luar ruangan tidak lagi diwajibkan. Sebelumnya, Israel  juga mengumumkan kebijakan pelonggaran yang sama. Inggris pun cenderung melonggarkan ketentuan prokes selama berlangsungnya turnamen sepak bola Piala Eropa 2020.

Akibat pelonggaran prokes itu, AS, Inggris dan Israel kembali mengalami lonjakan kasus COVID-19.  Memasuki pekan kedua Agustus 2021, jumlah tambahan kasus baru per hari di AS bisa mencapai 100.000 kasus. Rumah sakit di beberapa negara bagian AS sempat kewalahan karena lonjakan jumlah pasien itu. Di Israel, kendati 80 persen warga dewasa sudah menerima vaksinasi, pelonggaran Prokes justru menyebabkan terjadinya lonjakan kasus baru COVID-19.

Banyak negara sudah belajar dari pengalaman AS, Israel dan Inggris itu, dan semuanya tidak ingin gegabah melonggarkan Prokes. Untuk menghindari gelombang ketiga COVID-19, Indonesia pun tidak boleh gegabah melonggarkan Prokes. Apalagi, persentase penduduk yang sudah divaksinasi belum proporsional.

Puncak penularan COVID-19 gelombang kedua di dalam negeri dengan banyak cerita pilu itu hendaknya mendorong semua elemen masyarakat semakin cerdas dan bijaksana menyikapi ancaman virus Corona. Pengendalian pandemi sudah menunjukan kecenderungan positif, dan kecenderungan ini menjadi modal awal bersama untuk mencegah musibah berikutnya. Biasakan mematuhi prokes agar Indonesia terhindar dari gelombang ketiga penularan COVID-19. (*/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler