jpnn.com, JAKARTA - Ancaman penularan Covid-19 mengalami eskalasi karena virus Corona SARS-CoV-2 terus bermutasi. Durasi krisis kesehatan sekarang ini juga makin sulit untuk dihitung.
Mewujudkan kekebalan komunal (herd immunity) pun masih menjadi tantangan, karena vaksin corona yang tersedia saat ini belum sepenuhnya efektif dan jumlahnya pun masih sangat terbatas.
BACA JUGA: Jane Shalimar Meninggal Akibat Covid-19, Berikut Fakta-faktanya
Maka, demi keselamatan bersama, semua orang didorong menggunakan akal budi dengan patuh pada protokol kesehatan atau prokes guna menghindari ancaman penularan Covid-19.
Sejumlah orang, termasuk figur publik, tetap saja terpapar Covid-19 kendati sudah dua kali menerima suntikan vaksin virus corona. Bagi masyarakat yang awam, fakta ini tentu membingungkan. Sebab, sebelumnya sudah dibangun keyakinan bahwa mereka yang sudah dua kali disuntik vaksin akan kebal dari potensi penularan.
Berkembanglah pemahaman di sejumlah kalangan bahwa dalam konteks kekebalan atau imunitas, vaksin corona yang tersedia saat ini belum tentu efektif untuk semua orang. Apalagi, SARS-CoV-2 terus bermutasi.
Maka, agar bisa terhindar dari penularan Covid-19, setiap orang harus tetap waspada kendati sudah dua kali disuntik vaksin. Kewaspadaan itu harus diaktualisasikan dengan kepatuhan tanpa syarat pada prokes.
BACA JUGA: RA Dibuntuti Petugas dari Bekasi, Disergap di Pulogadung, Ini yang Terjadi
Selain karena faktor efektivitas vaksin yang relatif belum maksimal itu, kewaspadaan semua orang harus tetap terjaga karena ancaman Covid-19 terus mengalami eskalasi. Proses eskalasi ancaman ditandai dengan mutasi virus SARS-CoV-2 menjadi sejumlah varian.
Ada virus yang digambarkan begitu mudah menular. Misalnya, varian Delta yang memicu lonjakan kasus baru di sejumlah negara. Apalagi, varian itu tidak hanya menyasar orang dewasa, melainkan juga mengintai anak dan remaja di bawah usia 18 tahun.
Virus SARS-CoV-2 yang terus bermutasi bisa saja menyebabkan alat diagnosa yang digunakan sejak awal pandemi tidak efektif lagi untuk mendeteksi varian baru. Bahkan, bukan tidak mungkin vaksin yang sudah dibuat sekarang pun tidak cukup manjur untuk mewujudkan kekebalan personal ketika seseorang terpapar SARS-CoV-2 varian terbaru.
BACA JUGA: AJL Tak Berkutik saat Petugas Datang, Baju Terapis Jadi Bukti, Hmmm
Oleh karena itu, sampai pada tahap sekarang ini layak untuk dikatakan bahwa belum ada vaksin atau obat yang manjur untuk benar-benar melumpuhkan atau memutus rantai penularan Covid-19.
Satu-satunya pilihan yang tersedia bagi setiap orang agar terhindar dari penularan Covid-19 adalah melindungi diri dan keluarga. Perlindungan itu akan efektif jika setiap orang dengan kesadaran penuh mematuhi protokol kesehatan.
Perlindungan itu tidak bisa didapatkan dari kekuatan lain, pun tak bisa dibeli dengan uang. Virus corona adalah musuh bersama yang wujudnya tidak jelas benar.
Virus ini tak bisa dilumpuhkan atau dieliminasi dengan kekuatan senjata tercanggih atau teknologi terkini sekalipun. Hanya dengan akal budi setiap orang dalam melaksanakan prokes, potensi penularan Covid-19 bisa dihindari.
Patut untuk disadari bersama bahwa faktor mutasi virus SARS-CoV-2 dengan ragam ancamannya itu menyebabkan durasi pandemi Covid-19 menjadi makin sulit untuk diperkirakan.
Bahkan, oleh karena keterbatasan vaksin serta masih adanya kelompok masyarakat yang tidak percaya akan adanya pandemi, hampir bisa dipastikan bahwa virus corona masih akan berada di sela-sela kehidupan semua orang untuk waktu yang lama.
Sebelumnya, sempat diasumsikan bahwa berkat perkembangan ilmu farmasi dan ilmu kedokteran era terkini, durasi Pandemi Covid-19 bisa lebih pendek dibanding pandemi global di masa lalu. Ternyata, krisis kesehatan global sekarang ini sudah memasuki tahun kedua.
Bandingkan dengan pandemi Flu Spanyol yang berdurasi dua tahun lebih (Februari 1918 – April 1920). Digambarkan sebagai pandemi paling mematikan dalam sejarah umat manusia, para sejarawan mencatat bahwa flu Spanyol mewabah ketika ilmu farmasi dan kedokteran belum memiliki alat atau infrastruktur untuk mengembangkan vaksin. Mikroskop pada era itu bahkan belum dapat mendeteksi virus.
Pada krisis kesehatan global sekarang ini, mutasi virus SARS-CoV-2 terbukti tak bisa dicegah oleh teknologi terkini di bidang farmasi dan kedokteran. Untuk menghentikan penularan dan mutasi virus, kekuatan dan andalan utamanya masih tetap pada kesadaran semua orang untuk menggunakan akal budi masing-masing, utamanya dengan mematuhi prokes di masa pandemi.
Indonesia saat ini sedang mengalami lonjakan kasus baru Covid-19 karena banyak orang lengah dan tidak peduli prokes. Masih banyak orang yang tidak menggunakan akal budinya untuk bersungguh-sungguh menghindar dari ancaman penularan Covid-19.
Tak hanya Indonesia, sejumlah negara di Eropa pun akan mengalami lonjakan kasus baru, karena kerumunan puluhan ribu orang dalam setiap pertandingan sepak bola Euro 2020. Usai pertandingan Inggris melawan Skotlandia misalnya, ditemukan lebih dari 2.000 orang terpapar Covid-19.
Seperti juga durasi pandemi global di masa lalu, durasi pandemi Covid-19 sekarang pun ditentukan oleh perilaku masyarakat. Semakin patuh masyarakat melindungi diri dengan kepatuhan pada prokes, pandemi Covid-19 akan lebih cepat berakhir. Sebaliknya, ketika semua orang yang berakal budi tidak realistis menyikapi krisis kesehatan sekarang ini, durasi pandemi akan berlarut-larut.
Akibat lalai pada prokes dalam pelaksanaan Euro 2020 misalnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mulai cemas karena ada potensi Eropa akan mengalami gelombang III pandemi Covid-19.
Pada Jumat (02/07) kemarin, sejumlah media melaporkan adanya penumpukan jenazah di RSUD dr Sutomo, Surabaya. Sangat memilukan. Berita foto yang viral itu pun dibenarkan oleh Direktur RSUD Sutomo.
Dijelaskan bahwa pada Kamis (1/7), terdata 27 pasien Covid-19 meninggal dunia di rumah sakit itu. Berita foto ini menjelaskan banyak aspek tentang beragam akibat dari krisis kesehatan sekarang ini.
Mari, gunakan akal budi kita untuk mematuhi prokes agar tidak tertular Covid-19. (*/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam