Catatan Peringatan HUT ke-96 Sumpah Pemuda: Kelas Menengah Indonesia Dimiskinkan?

Oleh: Eva Nila Sari - Pegawai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

Senin, 28 Oktober 2024 – 06:32 WIB
Sumpah Pemuda merupakan ikrar kebangsaan dari kelompok pemuda Indonesia dari berbagai latar belakang suku dan agama pada 28 Oktober 1928. Ilustrasi. Foto: Pixabay.com

jpnn.com - Sumpah Pemuda merupakan ikrar kebangsaan dari kelompok pemuda Indonesia pada 28 Oktober 1928. Ikrar tersebut dirumuskan melalui sebuah putusan Kongres Pemuda (kedua) yang berlangsung di Jakarta pada 27-28 Oktober 1928.

Kala itu, para pemuda dari berbagai latar belakang daerah, suku, dan agama menyatukan keyakinan mereka bahwa tumpah darah, bangsa, dan bahasa persatuan yang mereka yakini adalah Indonesia.

BACA JUGA: Peringati Sumpah Pemuda, GPAN Gelar Budaya Sehat Tanpa Narkoba

Sumpah Pemuda sudah berulang tahun ke 96. Apakah rasa kebangsaan tersebut masih menjiwai semangat dari jiwa-jiwa muda saat ini?

Ataukah telah bergeser atau dimanivestasikan dalam bentuk lain seiring kompleksnya problematika dan dinamika kekinian?

BACA JUGA: Respons Usulan Debat Capres-Cawapres Berbahasa Inggris, Hasto: Mereka Lupa Itu dengan Sumpah Pemuda

Atau kondisi memang terasa sulit bagi mereka sehingga kontribusi kebangsaanpun terancam melemah?

Kelompok Muda Indonesia identik dengan kelompok Kelas Menengah karena Kelas Menengah Indonesia didominasi oleh kalangan penduduk usia produktif, mulai dari Gen X, Milenial, hingga Gen Z.

BACA JUGA: Singgung Putusan MK, Sejumlah Mahasiswa Deklarasikan Sumpah Pemuda 2.0

Saat ini, data ekonomi telah mengukuhkan bahwa kelas ini tidak dapat menghindari kondisi himpitan ekonomi yang makin menjerat.

Himpitan atas Kelas Menengah ini masih harus menanggung beban akibat kebijakan (Pemerintahan Jokowi).

Sebut saja beban biaya-biaya (baca: pajak, iuran wajib, dan pengetatan subsidi) yang makin intens.

PPN naik 12 persen, pada 2025 membangun rumah sendiri dikenai pajak 2,4 persen, iuran BPJS yang akan mengalami kenaikan, harga BBM dan LPJ 3 Kg yang akan dinaikkan.

Terhitung sejak 2025, UMKM tidak lagi bisa menggunakan tarif PPh final 0,5 persen (1 juta UMKM), Januari 2025 motor dan mobil wajib asuransi, gaji pekerja dipotong lagi untuk program pensiun baru.

Selain itu, kenaikan harga eceran beras (2024) paling tinggi sejak 2011 (inflasi 20 persen year on year), dan wajib potong Tapera 3 persen untuk gaji pekerja di atas UMR.

Apabila kondisi ini terus berlangsung atau bahkan bertambah, tak terbantahkan, Kelas Menengah tengah dimiskinkan karena menanggung biaya lebih besar ketimbang kelas atas bahkan kelas bawah sekalipun.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi 0,12 persen (month to month/mtm) secara bulanan pada September 2024.

Pelaksana tuhas (Plt) Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan ini adalah deflasi kelima berturut-turut selama 2024.

Kondisi ini terjadi karena penurunan harga-harga komoditas. Deflasi ini terparah dalam lima tahun terakhir sepanjang kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Sebagian menilai deflasi baik karena turunnya harga-harga sehingga mudah diakses oleh daya beli masyarakat (supply pust deflation).

Akan tetapi deflasi tidak baik-baik saja apabila terjadi akibat menurunnya daya beli masyarakat (demand push deflation) khususnya Kelas Menengah.

Warga Kelas Menengah memang menjadi penguasa utama konsumsi masyarakat.

Fakta ini berdampingan dengan kondisi gelombang pemutusan hubungan kerja di berbagai sektor industri yang diperkirakan bakal terus membesar hingga mencapai di atas 70.000 pegawai pada akhir tahun 2024.

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBI) Elly Rosita menyebut sejak Undang-Undang Cipta Kerja disahkan pada tahun 2020, belum ada pembukaan pabrik baru yang bisa menyerap ribuan tenaga kerja.

Kelas Menengah Terhimpit

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat – Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) dalam laporan Indonesia Economic Outlook 2024 for Q3 2024 menyebutkan bahwa Kelas Menengah memegang peran yang sangat penting bagi penerimaan negara, dengan andil 50,7 persen dari penerimaan pajak.

Sedangkan calon Kelas Menengah memberikan kontribusi 34,5 persen.

“Jika daya beli mereka menurun, kontribusi pajak mereka berkurang yang berpotensi mengurangi rasio pajak terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang sudah rendah dan mengganggu kemampuan pemerintah untuk menyediakan layanan dan pembiayaan proyek pembangunan,” demikian dikutip dari laporan tersebut.

Hal ini menjadi ironi. Sebab, maju atau tidaknya negara sangat ditentukan dengan banyak atau sedikitnya kelompok Kelas Menengah.

Bambang Brodjonegoro dalam pernyataannya selaku Kepala Bappenas pada 22 April 2019, menyatakan bahwa salah satu ciri negara maju adalah penduduknya didominasi Kelas Menengah.

Sayangnya, BPS melalui data-data yang telah dihimpun, menyatakan bahwa kesejahteraan masyarakat khususnya Kelas Menengah tengah tergerus.

Lebih lanjut, proporsi Kelas Menengah pada 2024 tinggal 17,13 persen saja. Turun tajam dibandingkan posisi tahun 2019 yaitu 21,45 persen.

Secara jumlah, penduduk kelas menengah pada tahun 2019 mencapai angka 57,33 juta orang, 2021 sejumlah 53,83 juta orang, 2022 sebanyak 49,51 juta orang, 2023 sebanyak 48,27 juta orang, dan pada tahun 2024 sejumlah 47,85 juta orang (17,44 persen).

Tekanan Ekonomi, Tekan Kelas Menengah

Lantas apa sebenarnya penyebab penurunan Kelas Menengah?

GDP/ PDB Indonesia didorong oleh konsumsi rumah tangga. Pada sebagian besar negara maju, konsumsi didorong oleh kelompok Kelas Menengah.

Menurunnya konsumsi Kelas Menengah sangat terkait dengan rendahnya daya beli kelompok ini

Perlu diketahui bahwa telah terjadi pergeseran prioritas pengeluaran Kelas Menengah dalam lima tahun terakhir.

Tekanan ekonomi telah menyebabkan Kelas Menengah lebih fokus pada kebutuhan pokok. Angka Kelas Menengah yang memiliki pekerjaan formal pun terus menurun sedangkan mereka yang bekerja secara informal justru mengalami kenaikan.

Masalahnya, pekerjaan informal membuat Kelas Menengah tidak memiliki jaminan perlindungan sosial yang memadai dan penghasilan dari pekerjaan informal juga sering luput dari potongan pajak.

International Monetary Fund (IMF) atau Dana Moneter Internasional mengemukakan tingkat pengangguran Indonesia tertinggi di negara-negara Asia Tenggara lainnya.

Hal ini dijabarkan melalui laporan World Economic Outlook yang terbit April 2024. IMF mendefinisikan unemployment rate sebagai persentase penduduk di usia produktif yakni 15-64 tahun yang sedang mencari pekerjaan.

Mengutip World Economic Outlook, dari 279,96 juta penduduk Indonesia, sekitar 5,2 persennya adalah pengangguran.

Posisi ini lebih rendah 0,1 persen dari data tahun lalu yakni 5,3 persen.

Singkat kata, tidak dapat diingkari bahwa penurunan Kelas Menengah tak terlepas dari menurunnya perekonomian nasional yang telah menyebabkan terbatasnya peluang kerja utamanya di sektor formal.

Ekonomi memang mengalami pertumbuhan, namun sektor mana yang sebenarnya tumbuh? Pasalnya, tingkat ketimpangan di negeri ini masih cukup tinggi.

Fakta ini disampaikan oleh data BPS yang menyatakan bahwa tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia (kelompok kaya dan miskin) menggunakan gini ratio pada Maret 2023, meningkat sebesar 0,388 poin.

Angka ini tertinggi sejak September 2018 yang kala itu pada angka 0,384.

Majunya Negara, Tingginya Kelas Menengah

Statistik Korea Selatan merilis survei yang mengungkap peningkatan persentase orang yang menganggap diri mereka Kelas Menengah, mencapai 60 persen pada tahun 2021.

Kelas Menengah di Singapura muncul dalam waktu yang sangat singkat, hanya satu generasi.

Kelas Menengah ini mencakup hingga 40 persen dari angkatan kerja negara tersebut, dan sebagian besar terdiri dari orang-orang berpendidikan tinggi yang memiliki gelar universitas dan gelar yang lebih tinggi serta fasih berbahasa Inggris.

Berdasarkan klasifikasi tingkat pendapatan Pew, Kelas Menengah China merupakan salah satu yang paling cepat berkembang di dunia, meningkat dari 39,1 juta orang (3,1 persen dari populasi) pada tahun 2000 menjadi sekitar 707 juta (50,8 persen dari populasi) pada tahun 2018.

Saat ini Tiongkok memiliki Kelas Menengah terbesar di dunia, dengan 693,3 juta orang, atau sekitar 53 persen dari total global.

Kelas Menengah mencakup 50 persen dari populasi Amerika Serikat pada tahun 2021, jauh lebih kecil dibandingkan jumlah sebelumnya dalam hampir setengah abad.

Fenomena Kelas Menengah Indonesia seharusnya menjadi perhatian. Kelompok penopang ini selayaknya bisa lebih sejahtera.

Reuters dalam artikel berjudul “Indonesia’s dwindling middle class seen dimming economic outlook” (September 2024), memuat fakta bagaimana PHK saat ini banyak terjadi dan menyasar kelompok menengah. Dikatakan bahwa jutaan pekerja Kelas Menengah RI kini menjadi lebih miskin.

Lebih lanjut, disebutkan meskipun perekonomian Indonesia telah bangkit kembali setelah pandemi yaitu di atas 5 persen per tahun sejak tahun 2022 dan inflasi yang secara umum rendah, menyusutnya Kelas Menengah dikhawatirkan akan menekan pertumbuhan di masa depan.

Sebab pemerintah harus menghadapi pendapatan pajak yang lebih rendah dan kemungkinan subsidi yang lebih besar.

Hal sama disoroti media Singapura, Channel News Asia (CAN). Disebut bagaimana Kelas Menengah Indonesia kini memburuk dan memicu peringatan bagi ekonomi negeri.

Sumpah Pemuda, Bangkitkan Kembali Komitmen Kebangsaan?

Sebagaimana disebutkan di atas, Kelas Menengah Indonesia didominasi oleh kalangan penduduk usia produktif, mulai dari Gen X, Milenial, hingga Gen Z.

Mereka ini adalah Kelompok Pemuda/Pemudi Indonesia yang mempunyai kontribusi besar kepada bangsa ini, baik dari aspek pemikiran maupun kontribusinya secara ekonomi.

Pada konteks Sumpah Pemuda dideklarasikan, problematika yang mereka alami adalah hegemoni para penjajah.

Saat ini, apakah rasa sebagai warga negara jajahan itu masih mereka rasakan?

Semoga kita tidak sedang mengalami situasi sebagai bangsa yang belum merdeka karena mengalami penjajahan dalam bentuk lain.

Pada momen sumpah pemuda ini, berdasarkan data yang telah diungkapkan di atas, ekonomi Indonesia memang tidak baik-baik saja.

Tak terbantahkan pula Kelas Menengah di Indonesia tengah terdesak akibat himpitan ekonomi dan tekanan kebijakan.

Semoga Pemerintahan Prabowo ke depan lebih bijak menyikapi keberadaan kelompok Kelas Menengah ini.

Tidak melanjutkan kebijakan yang memiskinkan kelompok masyarakat yang strategis mendorong kemajuan negeri ini.(****)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler