jpnn.com, JAKARTA - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) memberikan catatan atas simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pilkada Serentak 2020 yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Komisioner Bawaslu Mochammad Afifuddin mengatakan, beban penyelenggara pemilu bukan saja pada sisi teknis lapangan, tetapi yang banyak berhubungan dengan protokol kesehatan Covid-19.
BACA JUGA: Keluhan Daerah, KPU Rapid Test, Bawaslu Kok Tidak?
Ia melihat dalam simulasi kemarin, yang membuat pemilih lama masuk ke tempat pemungutan suara (TPS) itu ialah karena harus antre untuk diberikan sarung tangan.
"Itu menyebabkan antrean panjang. Kami hitung satu orang bisa dua menit (antre) di TPS. Itu berimplikasi pada antrean yang dibikin (dengan jarak) satu meter, panjang sekali," kata Afifuddin dalam diskusi "Menghitung Kualitas Pilkada Saat Pandemi" yang disiarkan secara virtual, Sabtu (25/7).
BACA JUGA: Bawaslu Agam: 168 Aparat Dukung Calon dalam Pilkada 2020
Afifuddin mengatakan, yang menjadi tantangan terutama di luar DKI Jakarta adalah membuat TPS yang luas, termasuk ruang untuk mengantre.
Lebih lanjut Afifuddin menegaskan sekarang ini juga tengah mengampanyekan green election.
BACA JUGA: KPU Sebenarnya Pilih Opsi Pilkada September 2021, Tetapi Sudahlah
Namun, kata dia, masalah yang ditemukan ialah penggunaan tisu yang berlebihan di TPS.
"Penggunaan tisu luar biasa. Orang cuci tangan, (lap) pakai tisu, (celupkan) tinta harus (lap) pakai tisu. Ini banyak sekali tisu yang dipakai dalam proses di TPS," ungkapnya.
Afifuddin juga memberikan catatan lain, terkait penggunaan sarung tangan bagi penyandang disabilitas tuna netra.
Meskipun sarung tangan itu plastik, kata dia, tetap menyulitkan penyandang tuna netra membaca template huruf braille.
"Sarung tangan meskipun plastik membuat mereka tidak bisa membaca template yang ada di TPS," katanya.
Afifuddin juga menyoroti masih tercantumnya NIK lengkap di formulir C6.
Ia mengatakan memang C6 itu langsung diberikan ke pemilih.
Namun, kata dia, proses sampai ke tangan pemilih itu tentu butuh tangan lain. Formulir itu pun pasti difotokopi, di-print, lalu diantar petugas ke pemilih.
"Jadi kekhawatiran kami terhadap data ini, ketika NIK (nomor induk kependudukan) lengkap ini berbahaya, untuk bisa dipakai oleh orang yang tidak bertanggung jawab," ungkap Afifuddin. (boy/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : Boy