Cawe-Cawe di Pilpres

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Sabtu, 20 Mei 2023 – 20:20 WIB
Presiden Joko Widodo dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan (kanan) pada pertemuan bilateral di Istana Kepresidenan Turki di Ankara pada Juli 2017. Foto: Setpres RI

jpnn.com - ISU cawe-cawe dalam pemilihan presiden atau pilpres sedang ramai menjadi perbincangan di Indonesia.

Cawe-cawe merupakan istilah dari Bahasa Jawa yang artinya intervensi oleh pihak yang mempunyai kekuasaan terhadap sebuah urusan demi mempertahankan kekuasaannya.

BACA JUGA: Petugas Partai & Despotisme Baru

Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akan segera mengakhiri masa jabatannya diduga melakukan cawe-cawe dengan meng-endorse salah satu -atau malah salah dua- bakal calon presiden pilihannya.

Cawe-cawe dalam pilpres tidak hanya terjadi di Indonesia. Isu yang sama terjadi di Turki yang pekan lalu (15/5) menyelenggarakan pilpres.

BACA JUGA: King Maker dan Power Broker

Dua kandidat bersaing ketat, yaitu Recep Tayyip Erdogan sebagai petahana dan Kemal K?l?cdaroglu. Keduanya bersaing ketat neck to neck alias leher melawan leher sampai akhir penghitungan suara.

Erdogan akhirnya memenangkan persaingan dengan perolehan suara 49,86 persen suara, sementara Kilicdaroglu mengumpulkan 44,38 persen suara.

BACA JUGA: Anies dan Keikhlasan Koalisi Perubahan

Calon ketiga, Sinan Ogan, mengumpulkan 5,17 persen suara. Kendati Erdogan menang, pilpres akan digelar dua putaran karena tidak ada kandidat yang melewati ambang batas 50 persen seperti ketentuan undang-undang.

Putaran kedua akan diselenggarakan pada 28 Mei 2023. Erdogan sebagai petahana justru menjadi underdog karena selisihnya yang tipis dari pesaing terdekatnya. Dengan margin yang tipis itu, limpahan suara dari kandidat ketiga yang tesisih akan sangat menentukan.

Banyak yang memprediksi suara kandidat ketiga akan jatuh kepada Kilicdaoglu karena selama ini mereka semua berada pada barisan anti-Erdogan.

Akan tetapi, Erdogan menegaskan keyakinannya bahwa rakyat Turki tetap akan memberinya mandat untuk kali ketiga. Erdogan sudah menjadi presiden selama 10 tahun dan sekarang berusaha mendapatkan masa jabatan ketiga.

Erdogan mewakili kubu muslim melalui Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), sedangkan lawan-lawannya berasal dari kubu sekuler dan liberal.

Erdogan  berkali-kali mengingatkan  pemilih bahwa pilpres Turki kali ini penuh dengan intervensi. Tidak tanggung-tanggung, Erdogan menuding Amerika Serikat dan sekutunya berada di balik kekuatan yang melakukan konspirasi dan cawe-cawe untuk menggusur Erdogan.

Presiden Amerika Serikat Joe Biden memang secara terbuka menyatakan ketidaksukaann terhadap Erdogan. Presiden ke-46 AS itu menuduh Erdogan sebagai despot.

Sebaliknya, Biden menyatakan dukungannya secara terbuka kepada lawan-lawan politik Erdogan. Memang Erdogan dan Kilcdaroglu mempunyai program politik yang berseberangan.

Erdogan selama ini menghidupkan politik Islam dan membangkitkan kekuatan pemilih muslim yang tergusur sejak kekhalifahan Utsmaniah tumbang pada 1924.

Kilicdaroglu mewakili sayap nasionalis yang ingin mengembalikan Turki sebagai negara sekuler sebagaimana yang dilakukan oleh Mustafa Attaturk.

Erdogan sudah 10 tahun menjadi presiden dan sebelumnya pernah menjadi perdana menteri selama 10 tahun. Selama berada di bawah pemerintahan Erdogan, Turki menjadi kekuatan ekonomi dan politik baru yang membuat Amerika khawatir.

Turki bangkit secara ekonomi dan politik menjadi kekuatan regional yang mengancam status quo. Turki membina hubungan yang erat dengan Rusia dan mempunyai hubungan mesra dengan Iran.

Koalisi tiga kekuatan ini cukup membuat Amerika dan sekutu Eropa dan Timur Tengan tidak nyenyak tidur.

Karena itu, Amerika secara terang-terangan tidak menghendaki Erdogan untuk terus berkuasa. Kubu Erdogan menuduh Amerika melakukan intervensi dengan menggerakkan agen-agen menyusup ke Turki dan memengaruhi pemilih.

Sebaliknya, kubu lawan Erdogan menuduhnya mendapat dukungan politik dan logistik dari Rusia.

Pemilih Turki dipastikan akan terpolarisasi menjadi dua kubu pada pilpres putaran kedua. Dalam kampanye terakhir, dua tokoh yang bersaing itu itu melakukan kampanye yang berseberangan.

Erdogan melakukan doa bersama di Masjid Hagia Sophia, sedangkan Kilicdaroglu nyekar ke makam Mustafa Kemal Attaturk, pendiri Republik Turki yang sekuler.

Erdogan menempatkan diri sebagai pelindung negara-negara Islam di Timur Tengah, sedangkan Kilicdaroglu lebih condong kepada Amerika dan Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Salah satu program utama Kilidaroglu ialah mengusir pengungsi Suriah di Turki yang jumlahnya mencapai 4 juta orang. Jika sampai terlaksana, program itu diperkirakan akan memicu krisis kemanusiaan internasional.

Amerika dan Eropa memandang Erdogan sebagai pemimpin populis yang ororiter. Erdogan dianggap mengeksploitasi pemilih muslim untuk memperpanjang kekuasaannya secara tidak terbatas.

Amerika memotret Erdogan sebagai pemimpin yang menindas dan ingin memperpanjang kekuasaannya seumur hidup. Citra itulah yang digambarkan oleh media-media Barat dan Amerika terhadap Turki.

Pandangan tersebut dianggap subjektif dan sarat dengan framing. Amerika Serikat selalu mendiskreditkan pemimpin dunia ketiga yang dianggapnya sebagai pembangkang dan menyebutnya sebagai tiran.

Di sisi lain, Amerika berhubungan baik dengan pemimpin otoriter yang menaati kepentingan Negeri Paman Sam itu.

Erdogan memang sedang menghadapi persoalan ekonomi yang cukup pelik di Turki. Dalam beberapa waktu terakhir, inflasi di Turki membumbung tinggi dan daya beli melemah.

Cara Erdogan dalam mengatasi bencana gempa bumi di perbatasan Turki dengan Suriah pada Februari lalu juga dianggap kurang efektif sehingga jumlah korban tewas sampai 45 ribu jiwa. Gempa bermagnitudo 7,7 itu msuk dalam 10 lindu terburuk di dunia selama 100 tahun terakhir.

Isu ekonomi dan penanganan bencana itu seharusnya yang menjadi pokok perdebatan dalam pilpres Turki. Namun, yang terjadi adalah pembunuhan karakter terhadap Erdogan secara masif oleh media Amerika dan Eropa yang mewakili kepentingan oligarki dunia.

Rakyat Turki sudah menunjukkan perlawanan yang gagah perkasa. Kemenangan Erdogan pada putaran pertama menunjukkan bahwa wali kota Istanbul itu masih dicintai lebih banyak pemilih ketimbang lawan-lawannya.

Sebelum pemilihan presiden diadakan, tidak ada satu pun lembaga survei yang mengunggulkan Erdogan. Semua lembaga survei memprediksi Erdogan akan tumbang satu putaran.

Akan tapi, realitas politik ternyata berbalik 180 derajat dari prediksi lembaga survei dan media yang bias itu.

Cawe-cawe dalam pilpres juga menjadi isu yang santer di Indonesia. Bedanya, di Turki cawe-cawe dilakukan oleh kekuatan asing, sedangkan di Indonesia cawe-cawe itu diduga dilakukan oleh presiden yang sedang menjabat.

Lwan-lawan politik Presiden Jokowi menuduhnya telah melakukan intervensi terhadap proses pemilihan presiden.

Penahanan terhadao Menkominfo Johnny G. Plate dianggap sebagai shock therapy untuk memaksa Partai Nasdem yang berseberangan dengan Jokowi untuk menarik dukungan terhadap Anies Baswedan.

Lembaga-lembaga survei terkemuka juga mengumumkan hasil siginya yang konsisten menempatkan Anies Baswedan pada urutan ketiga di bawah Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo.

Pemilihan presiden Turki tidak sama dengan pilpres di Indonesia. Namun, fenomena cawe-cawe kekuatan besar terhadap calon yang tidak dikehendati tampaknya terjadi di Turki maupun di Indonesia.

Aktornya beda dan skalanya beda, tetapi tujuannya sama, yaitu menyingkirkan lawan melalui berbagai cara yang tidak demokratis.

Erdogan di Turki bisa meyakinkan pemilihnya untuk tetap konsisten di tengah berbagai tekanan. Di Indonesia kita akan melihat bagaimana Anies Baswedan melakukan konsolidasi terhadap pendukungnya untuk mengatasi dugaan intervensi itu.(***)

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sukarelawan, Sukarela atau Berharap Imbalan?


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler