jpnn.com, JAKARTA - Komisi III DPR RI mendorong Presiden Joko Widodo "turun tangan" atau ikut mengatasi terkait persoalan hukum yang menjerat para Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil menilai ancaman pidana terhadap sejumlah komisioner KPU bukan sekadar melahirkan kegaduhan di ruang publik, namun membuka ruang ketidakpastian hukum dalam pergantian kepemimpinan nasional.
BACA JUGA: Presiden dan Ibu Negara Seruput Kopi di Benteng Van den Bosch
“Proses hukum terhadap komisioner KPU harus diantisipasi karena masalah serius. Peningkatan status terhadap komisiner KPU tidak sekadar mengganggu jalannya tahapan pemilu, tapi kredibilitas penyelenggaran dan hasil pemilu," kata Nasir di Jakarta, Jumat (1/2).
Dia menilai persoalan hukum antara KPU dengan Polda Metro Jaya bukan sekadar masalah pidana namun ketidakpatuhan KPU pada putusan peradilan.
BACA JUGA: Isyarat Kedekatan Mbah Moen dan Pak Jokowi di Sarang Berzikir
Nasir menjelaskan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta telah mencabut Putusan KPU terkait Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPD RI pada Pemilu 2019 sehingga kekosongan hukum tersebut harus diselesaikan.
BACA JUGA: Polda Garap Komisioner KPU Kok Dianggap Kriminalisasi?
BACA JUGA: Presiden Jokowi dan Bu Rini Berdialog dengan Ratusan Nasabah Mekaar
"Jangan sampai jalannya pelantikan Presiden oleh MPR dipermasalahkan, karena anggota DPD terpilih tidak memiliki dasar hukum," ujarnya.
Menurut dia, sengketa yang terjadi saat ini telah berubah menjadi polemik antar lembaga negara dan peradilan, bukan sekadar hilangnya hak politik Oesman Sapta dalam Pemilu 2019.
Nasir yang merupakan politisi PKS itu menilai harus ada jalan keluar yaitu Presiden mengundang Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), KPU, Bawaslu dan Kepolisian untuk duduk bersama menyelesaikan persoalan tersebut.
Dia mengibaratkan sebelum "api" besar maka harus segera dipadamkan salah satunya dengan langkah Presiden memanggil KPU, MA, MK, Polri untuk mendengarkan pendapatnya masing-masing.
"Kalau sudah begini yang dikedepankan adalah kewenangannya bukan ketenangan sementara kita ingin tenang. Harus dicari jalan keluar karena ada orang yang ingin hak politiknya direalisasikan yaitu Oso," katanya.
Nasir menilai Presiden jangan membiarkan kondisi semrawut seperti ini karena harus undang semua, tanyakan ada apa ini.
Sebelumnya, KPU dilaporkan tim kuasa hukum Oesman Sapta Odang (OSO) ke Polda Metro Jaya, Rabu (16/1), dengan tuduhan tidak melaksanakan perintah undang-undang, serta putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Ketua KPU Arief Budiman dan Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi diperiksa Polda Metro Jaya pada Selasa (29/1).
Keduanya dimintai keterangan terkait laporan Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) terhadap KPU yang tidak mau melaksanakan putusan peradilan tentang pencalonan OSO sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
KPU dinilai melakukan tidak pidana berdasarkan ketentuan Pasal 421 jo Pasal 261 ayat (1) KUHP yang berbunyi "Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasannya memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.
Lalu, sejumlah elemen masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Demokrasi lndonesia mengutuk upaya pemidanaan anggota KPU RI oleh Oesman Sapta terkait pencalonan dirinya sebagai anggota DPD RI.(fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Presiden Jokowi Tiba di Magetan, Ini Agendanya
Redaktur & Reporter : Friederich