jpnn.com, JAKARTA - Serangan terorisme, baik dalam bentu propaganda maupun aksi tidak hanya menyasar kaum remaja maupun dewasa, tapi juga anak-anak kecil.
Kondisi itu cukup memprihatinkan karena anak-anak adalah harapan bangsa di masa mendatang.
BACA JUGA: Enji Bakal Laporkan Ayu Ting Ting ke KPAI demi Bilqis
Hal itulah yang mendasari pentingnya pemastian hak-hak dasar anak-anak untuk melindung anak dari ajaran dan aksi terorisme.
"Ini tanggung jawab seluruh pihak. Dalam hal ini negara harus bisa memfasilitasi pemastian hak-hak dasar anak. Dengan itu anak bisa imun dari pengaruh negatif," kata Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Ni'am di Jakarta, Selasa (21/3).
BACA JUGA: Mantan Teroris: Deradikalisasi Harus Ditingkatkan
Menurut Asrorun, KPAI telah mengidentifikasi kategori anak yang menjadi korban terorisme.
Pertama, anak menjadi korban langsung terorisme sehingga menyebabkan mereka kehilangan hak pengasuhan, kesempatan untuk mendapat hak kesehatan, pendidikan, dan sejenisnya.
BACA JUGA: BNPT-Uni Eropa Kuatkan Sinergi Penanggulangan Terorisme
Kedua, anak yang terpapar ajaran radikalisme dengan berbasis agama.
Pasalnya, ajaran agama yang berbasis radikalisme akan bermuara tindak pidana terorisme.
Anak terpapar ajaran radikalisme terorisme bisa jadi dari orang tua, lingkungan, warnet, dan media digital.
Untuk dua jenis itu, lanjut Asrorun, harus dilakukan langkah-langkah preventif dan sinkronisasi.
Di satu sisi, komitmen pemberantasan tindak pidana terorisme ini pendekatan penghukuman dengan penindakan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme, termasuk anak-anak.
Namun, dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menegaskan kualifikasi kedua tentang potensi anak masuk dalam jaringan tindak pidana terorisme itu masuk kategori korban dengan pendekatan berbeda dalam.
Di situ juga ditegaskan bahwa harus dilakukan pendekatan keadilan restoratif (memulihkan).
"Anak yang diduga tindak pidana terorisme, harus ditangani secara tidak keras, tapi dengan pemulihan. Jika memungkinan pendekatan yang bermuara pada pemulihan anak, bukan penghukuman sebagai wujud pembalasan," imbuh Asrorun.
Untuk mewujudkan perlindungan anak itu, ujar Asrorun, langkah pertama adalah penguatan ketahanan ketahanan keluarga.
Sebab, di situ anak tersemai hal baik atau buruk yang berpotensi untuk meningkatkan harkat martabat anak atau justru merendahkan anak.
Karena itu, penting untuk membangun kesadaran kolektif orang tua guna memastikan hak dasar agama anak.
Kemudian pada lembaga baik pemerintah atau swasta, terutama lembaga pendidikan, harus ada referensi terkait kualitas para pengajar, baik pendidikan agama atau umum.
Pengetahuan memadai tentang apa yang diajarkan dan siapa yang mengajarkan, juga bisa menjamin pemastian hak-hak anak di lingkup pendidikan.
"Ini menjadi bagian tak terpisahkan fungsi dan tanggung jawab kita dalam perlindungan anak saat usia sekolah. Anak harus dipastikan ditempatkan dalam sistem pengajaran yang benar, terutama dalam mendalami pelajaran agama," tegas wakil sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini.
Asrorun menegaskan, seluruh bangsa harus memiliki komitmen yang sama bahwa terorisme itu adalah extraordinary crime sehingga perlu penanganan serius.
Tidak hanya penindakan, tapi juga pencegahan dan sosialisasi guna memastikan seluruh potensi tindak pidana terorisme bisa dicegah dari dini.
"Salah satu wujud komitmen itu, KPAI melakukan langkah advokasi dalam perbaikan peraturan perundang-undangan agar Undang-Undang Perlindungan Anak memilliki visi dan komitmen dalam melakukan pencegahan tindak pidana terorisme, khususnya yang melibatan anak sebagai korban atau pelaku. KPAI juga bersinergi dengan BNPT untuk melakukan pencegahan paham terorisme yang menyasar anak-anak," terang Asrorun. (jos/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Polisi Ringkus Dua Navigator Teroris di OKU Selatan
Redaktur & Reporter : Ragil