jpnn.com - PENELITIAN baru jurnal EPJ Data Science mengungkapkan gambar yang ditampilkan pada akun Instagram seseorang mungkin bisa menjadi indikator adanya masalah depresi.
Untuk menguji teori ini, para ilmuwan mengumpulkan 43.950 foto yang diambil dari feedback 166 individu.
BACA JUGA: Sering Duduk Seharian? Yuk Kurangi Risiko Sindrom Dengan Cara ini
Hampir setengah dari peserta ini melaporkan mengalami depresi secara klinis dalam tiga tahun terakhir.
Para peneliti menganalisis gambar tersebut dengan mengacu pada informasi yang diperoleh dari penelitian psikologis dan juga dengan mempertimbangkan preferensi para sukarelawan terhadap kecerahan, warna dan bayangan.
BACA JUGA: Para Pria Stres Kerja? Hati-Hati Beberapa Jenis Kanker Ini
Dan sebagai hasilnya, mereka menemukan hal berikut:
1. Individu depresi lebih cenderung mengunggah foto yang berwarna lebih biru, gelap dan lembut dibandingkan dengan orang yang lebih sehat pikirannya.
BACA JUGA: Kebiasaan Tidur Juga Bisa Menaikkan Berat Badan loh
Dengan kata lain, orang yang menderita depresi lebih cenderung menyukai filter yang benar-benar menghabiskan semua warna dari gambar yang ingin mereka bagikan. Tidak seperti warna asli.
2. Orang-orang yang depresi cenderung memilih filter Inkwell, yang mengubah foto menjadi warna hitam-putih, sementara orang-orang yang lebih sehat memilih filter yang menawarkan warna yang lebih cerah, seperti Valencia.
3. Orang yang tertekan lebih cenderung mengunggah foto dengan wajah. Namun, foto-foto ini memiliki rata-rata wajah lebih sedikit daripada feedback Instagram orang sehat.
Di bagian lain dari penelitian ini, para peneliti menginstruksikan relawan untuk membedakan antara pos Instagram yang dibuat oleh orang-orang yang depresi versus sehat.
Sementara mereka bisa "mendiagnosis" sejumlah individu dengan benar, model komputer statistik dilakukan dengan lebih akurat.
Sebenarnya, tingkat deteksi algoritma 70 persen bahkan lebih bisa diandalkan daripada tingkat keberhasilan 42 persen dokter yang mendiagnosis pasien depresi.
" Hal ini menunjuk pada metode baru untuk skrining dini tentang depresi dan penyakit mental lainnya," kata rekan penulis studi, Chris Danforth, seperti dilansir laman Yahoo Health.
Joe Taravella, PhD, psikolog klinis berlisensi dan asisten profesor klinis di NYU School of Medicine, mengatakan bahwa hubungan antara media sosial dan mood adalah isu rumit yang memerlukan penelitian tambahan.
"Meskipun kita mungkin berpikir bahwa orang-orang yang mengalami depresi cenderung tidak terlibat dalam posting media sosial, mungkin ini cara bagi mereka untuk menjangkau orang lain dan menjaga hubungan melalui media sosial," jelas Taravella.
Sebuah studi pada 2016 dari Jaime Sidani, PhD, dan rekannya (diterbitkan dalam jurnal Depression and Anxiety) menemukan orang-orang yang sering menggunakan media sosial cenderung memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi.
Taravella menambahkan bahwa saat menggunakan metode algoritma komputer untuk mendiagnosis depresi mungkin akan mendorong deteksi dini penyakit jiwa.
"Dokter umum mungkin mengajukan segudang pertanyaan yang berkaitan dengan kesehatan dan kesejahteraan keseluruhan pasien mereka, namun tidak secara konsisten memusatkan perhatian pada suasana hati mereka," kata Taravella.
Secara keseluruhan, Taravella yakin penelitian terbaru ini memiliki pesan take-home yang sangat berharga.
"Penelitian ini menciptakan lebih banyak kesadaran di bidang kesehatan mental serta metode pendeteksian yang lebih baik untuk penyakit jiwa dengan kemajuan kecerdasan buatan," tambahnya.(fny/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mencicipi Sayur Asem Betawi Legendaris di Pinggiran Jakarta
Redaktur & Reporter : Fany