jpnn.com, JAKARTA - Pusat Analisa Anggaran atau Center for Budget Analysis akan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap kantor akuntan publik dan management price water house coopers, Kantor Hukum Meli Darsa & Co, Menteri BUMN Erick Thohir serta jajaran Komisaris dan Direksi Pertamina (Persero).
Gugatan akan diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pekan depan.
BACA JUGA: Wanita yang Tewas Digubuk Ternyata Diperkosa sebelum Dibunuh Tiga Rekannya, Begini Kronologinya
Pada 2019 lalu, Direksi Pertamina menunjuk Price Water House Coopers dan Meli Darsa & Co menjadi Konsultan Management dan Hukum dalam proses restrukturisasi Holding dan Subholding Pertamina.
Meli Darsa & Co adalah konsultan hukum yang berafiliasi dengan PWC. PWC sendiri hingga saat ini masih terlibat dalam proses sosialiasi dan pengorganisasian subholding Pertamina.
BACA JUGA: 6 Komplotan Curanmor yang Kerap Beraksi di Kawasan Masjid Diringkus, Lihat Fotonya
Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis Uchok Sky, mengatakan, Price Water House Coopers dan Meli Darsa & Co telah lalai membuat kajian management dan kajian hukum yang menjadi dasar restrukturisasi holding dan pembentukan subholding di tubuh PT. Pertamina (Persero), di Jakarta pada (2/10).
Menurut Uchok, PWC dan Meli Darsa & Co tidak melakukan review dan analisa secara menyeluruh dalam produk kajian hukumnya, salah satunya dengan tidak mempertimbangkan dasar hukum Spin Off dalam UU Perseroan Terbatas (UU Nomor 40 Tahun 2007).
BACA JUGA: Ipang: Erick Thohir pun Enggak Berani sama Ahok
Hal itu mengakibatkan produk kajian hukum yang dikeluarkan PWC dan Meli Darsa & Co menjadi cacat hukum.
Riando Tambunan dari Firma Hukum Sihaloho & Co yang ditunjuk Center for Budget Analysis sebagai kuasa hukum, menuturkan PWC tidak menjadikan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas sebagai salah satu dasar/rujukan dalam memberikan pertimbangan mengenai pembentukan Subholding, khsusunya Pasal 127 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Dengan demikian kajian yang dibuat PWC tidak cermat dan bertentangan dengan undang-undang.
Selain itu, lanjut Riando, Komisaris maupun Direksi Pertamina sebelum membentuk subholding, tidak juga melakukan tahapan-tahapan sebagaimana ketentuan Pasal 127 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, salah satunya melakukan pengumuman secara tertulis dan mendapatkan persetujuan “kreditur”.
Karena itu tindakan Komisaris maupun Direksi Pertamina dalam pembentukan subholding juga telah bertentangan dengan undang-undang sehingga perbuatan tersebut adalah perbuatan melawan hukum.
Pembentukan subholding yang melawan hukum tersebut disinyalir kuat telah merugikan keuangan negara. Karena itu patut diduga adanya dugaan tindak pidana korupsi yang dapat diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Karena Subholding sudah terlanjur terbentuk sementara asset dan bisnis tetap di Holding (Induk Perusahaan), akhirnya terpaksa diintrodusirlah istilah baru yang sama sekali tidak pernah ada di literatur bisnis manapun.
Tidak pernah dipelajari dalam sekolah bisnis manapun di seluruh dunia, bahkan tidak pernah ada dalam praktek bisnis korporasi di seluruh dunia, yaitu Subholding Virtual sebagai lawan dari istilah subholding Legal (asset, saham dan bisnis berpindah ke subholding).
"Terjemahan gampangnya dari Subholding Virtual adalah Subholding Abal-Abal alias Subholding Khayalan,” kata Uchok dalam keterangan tertulis yang diterima JPNN hari ini.
Uchok menambahkan, Erick Thohir punya kontribusi besar dan paling bertanggungjawab atas kekacauan yang terjadi karena menghapuskan Direktorat Teknis Operasional tetapi tanpa mengalihkan asset, saham dan bisnis serta wewenang ke Subholding.
"Di saat perusahaan minyak lain berusaha bertahan dengan dampak Covid-19 ini, Pertamina malah hura-hura dengan meluncurkan konsep restrukturisasi subholding yang ," kata Uchok.
Beberapa waktu lalu, Direksi Pertamina melakukan perubahan Stuktur Organisasi Dasar Pertamina (Persero) yang dipecah-pecah menjadi enam subholding. Beberapa di antara enam subholding tersebut rencananya akan diswastanisasi dengan menjual sahamnya kepada investor swasta domestik maupun asing.
Spin off atau pemisahaan sejumlah lini bisnis utama Pertamina di atas menjadi Subholding disinyalir kuat untuk menyiasati Undang-Undang Dasar 1945 dan UU BUMN yang melarang Pertamina (Persero) diprivatisasi atau swastanisasi.
Pertamina mendapat keistimewaan tunjuk langsung itu karena 100% milik negara, tidak mungkin perusahaan yang ditunjuk mengoperasikan ladang minyak itu mau dijual ke bursa. Jika itu terjadi, maka perusahaan menjadi full swasta.
Untuk melakukan IPO, memang tidak tidak ada aturan yang melarang atau membatasi Subholding yang bergerak di bidang hulu dan hilir migas.
Pertamina mendapat keistimewaan itu karena 100% sahamnya milik negara, karena Pertamina mengelola keayaan alam Negara dan secara langsung maka Pertamina mendapat mandate dari UUD 1945.
Sehingga konsekuensi seterusnya ya secara keseluruhan asset pertamina harus tetap milik Negara, bukan hanya Pertamina saja tetapi subholding maupun anak perusahaan subholding yang ditunjuk Pertamina mengelola wilayah kerja hulu migas, sehingga hasil tunjuk langsung itu harus tetap 100 % milik negara / milik Pertamina.
Jika Undang-undangnya tidak mengatur IPO dan pembatasan subholding, bukan berarti Pertamina boleh melakukan IPO atau subholding seenaknya, melainkan Undang-Undangnya yang harus mengikuti UUD 1945, bahkan seharusnya UU nya yang harus dirubah, atau dibatalkan demi hukum.
“Ini kan logika dasar hukum kita, masa iya sekelas pertamina yang sudah menyewa konsultan public amerika, urusan seperti ini tidak faham,” ujarnya.
Berdasarkan hal itu, kami dari masyarakat sipil yang bergabung Dalam CBA (Center for Budget Analysis), Kaki Publik, dan Alaska akan mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum terhadap Price Water House Coopers, kantor Hukum Meli Darsa & Co, Menteri Badan Usaha Milik Negara, PT. Pertamina (Persero) baik Komisaris maupun Direksi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Gugatan ini, lanjut Uchok, akan didampingi kuasa hukum Riando Tambunan SH, dari kantor Hukum Sihaloho & Co, dan menyatakan bahwa Perbuatan Melawan Hukum dimaksud adalah terkait adanya kelalaian Price Water House Coopers dan Meli Darsa & Co dalam membuat kajian management dan kajian hukum yang menjadi dasar restrukturisasi holding dan pembentukan subholding di tubuh PT. Pertamina (Persero).
Kelalaian dimaksud adalah dengan tidak melakukan review dan analisa secara menyeluruh dalam produk kajian hukumnya, salah satunya dengan tidak mempertimbangkan dasar hukum spin off dalam UU Perseroan Terbatas (UU Nomor 40 Tahun 2007), yang mengakibatkan produk kajian hukum tersebut menjadi cacat hukum.
Di antaranya, hilangnya posisi Deputi di Kementrian BUMN selaku Pembina teknis, yang tahu lebih detail proses bisnis dan aspek korporasi dari masing-masing BUMN khususnya Pertamina.
Tidak ada lagi yang bisa memberi masukan secara jernih kepada Menteri BUMN.
Inilah menjadi penyebab yang mengakibatkan Erick Thohir selama ini mengembar gemborkan penerapan Good Corporate Governance (GCG) di BUMN, transparansi dan Akhlak, terjerumus dan terjebak sendiri dengan prinsip-prinsip dasar yang dia kembangkan akibat tidak adanya fungsi kendali ke Ahok.
BACA JUGA: Soal Pesta Kolam di Hairos Waterpark, Kapolsek hingga Petugas Piket Diperiksa Propam
"Membentuk Subholding Pertamina secara ugal-ugalan, tanpa melaksanakan GCG, dan berpotensi melanggar hukum bahkan sampai menjadikan Pertamina sebagai gajah percobaan," pungkasnya.(dkk/jpnn)
Redaktur & Reporter : Muhammad Amjad