jpnn.com, JAKARTA - Pegiat HAM dari Centra Initiative Feri Kusuma menyebut Revisi UU TNI tidak boleh melanggar prinsip-prinsip negara demokrasi. Salah satunya dengan penambahan istilah 'keamanan' sebagai tugas dan fungsi TNI.
Hal itu disampaikan Feri dalam diskusi publik bertema ”RUU TNI: kajian Kritis dalam Konteks Gerakan Sosial Buruh dan Demokrasi” yang diadakan Pusat Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), di Sadjoe Cafe, Tebet, Jakarta Selatan pada Jumat (21/7).
BACA JUGA: LBH Semarang Soroti OMSP di Draf Revisi UU TNI
Feri mengingatkan bahwa gerakan Reformasi 1998 merupakan titik balik dari kemarahan rakyat atas otoritarianisme dan dominasi militer dalam politik di Indonesia.
Dia bahkan menganggap TNI tidak mengakui Gerakan Reformasi 1998, termasuk amendemen terhadap Konstitusi.
BACA JUGA: Vonis Mati Rizky Noviyandi Pembunuh Anak Kandung, Hakim: Terdakwa Sangat Keji!
"Revisi UU TNI yang memuat ketentuan soal peradilan militer sejatinya merupakan bentuk penolakan terhadap konstitusi dan Gerakan Reformasi 1998 itu sendiri," ucapnya sebagaimana siaran pers.
Menurut Feri, dalam rancangan revisi UU TNI yang beredar, militer akan diadili melalui peradilan militer apa pun bentuk pelanggarannya.
BACA JUGA: Dahlan Iskan Kembali Datangi Ponpes Al Zaytun, Diajak Masuk Bunker, Penuh!
"Contoh lain adalah sampai hari ini konvensi tentang penghilangan orang secara paksa tidak kunjung diratifikasi karena adanya keberatan dari TNI. Dengan kata lain, rancangan revisi UU TNI yang beredar belakangan ini bertentangan dengan UUD," tuturnya.
Dia menyebut publik baru tahu revisi UU TNI ini pada April 2023, itu artinya ada proses yang dilanggar terkait tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.
"Publik harus diberi kesempatan untuk memberi masukan. Proses sembunyi-sembunyi revisi UU TNI ini menyiratkan ada niat jahat yang ingin dilakukan melalui revisi tersebut," sebut Feri.
Feri memandang penambahan istilah “keamanan” sebagai tugas dan fungsi TNI menunjukkan ada kompetisi yang tidak sehat antaraktor keamanan di Indonesia. Selain itu, rancangan resvisinya tidak harmonis dan tumpang tindih dengan berbagai aturan perundang-undangan lainnya.
"Ini membuat TNI menjadi makin multifungsi. TNI semakin dipercaya publik bukan berarti TNI boleh mengurus segala sesuatunya. Untuk itu, saya menilai revisi UU TNI ini tidak usah dilanjutkan, karena banyak mudaratnya, membuka jalan bagi kembalinya militerisme seperti jaman Orde Baru," ucap Feri.
Sementara itu, Jumisih selaku pembicara dari FSBPI menyebut belakangan ini tentara sering kali melakukan intervensi dan ingin ikut dalam setiap perundingan yang dilakukan oleh buruh.
"Ketika dicoba diprotes kehadirannya oleh buruh mereka marah. Intervensi tentara di beberapa kawasan industri itu nyata," ujar dia.
Jumisih menilai draf RUU TNI yang muncul perlu direspons oleh kelompok buruh, karena akan dapat membunuh demokrasi dan makin merampas hak-hak buruh perempuan khususnya.
"Bahaya jika TNI masuk ke ranah sipil, karena mereka punya senjata, pada diri mereka melekat simbol alat kekerasan negara, maka pelibatan TNI dalam urusan selain pertahanan bisa diartikan sebagai bentuk intimidasi," tegasnya.(fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam