jpnn.com, JAKARTA - Aulia Giffarinnisa mengisahkan soal dirinya bisa menjadi satu di antara dokter di Rumah Sakit Darurat (RSD) Covid-19 Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat.
Awalnya, Giffarinnisa bekerja sebagai dokter di salah satu rumah sakit di Sulawesi Selatan. Saat bekerja di sana, dirinya mendengar informasi bahwa RSD Covid-19 Wisma Atlet membutuhkan sukarelawan dokter.
BACA JUGA: Pilkada Serentak 2020, Kominfo Sosialisasikan Pemilih Cerdas
"Pas itu ada informasi beredar kalau Wisma Atlet buka sukarelawan dokter, di situ saya mulai tergerak," kata dia saat menghadiri diskusi berjudul Berjuang dan Berbakti Menyembuhkan Negeri dari Pandemi yang disiarkan akun Youtube Kemkominfo TV, Selasa (10/11).
Wanita berparas ayu itu lantas meminta izin ke orang tua pada April 2020 sebelum mendaftar sebagai sukarelawan dokter di Wisma Atlet. Namun, kedua orang tua wanita yang akrab disapa Farini itu belum memperbolehkan.
BACA JUGA: Satgas Covid-19 Dorong Pemda Mengevaluasi Laboratorium
Beberapa bukan kemudian, restu dari orang tua akhirnya dikantongi Farini. Jadilah Farini mendaftar sebagai sukarelawan dokter di Wisma Atlet pada Agustus.
"Pada Agustus atau September, sudah dapat izin. Akhirnya bergabunglah ke Wisma Atlet," ungkap dia.
BACA JUGA: Pengadaan Vaksin COVID-19 Jadi Prioritas Pemerintah di Akhir Tahun
Saat memulai kerja sebagai sukarelawan, Farini merasa khawatir. Sebab, dia sadar berada di tempat yang riskan tertular Covid-19.
Namun, pengalaman menangani pasien Covid-19 tidak ingin dilawatkan dirinya. Dia pun mengalahkan kekhawatiran itu demi menolong sesama.
"Awalnya itu pas masuk Wisma Atlet parno, dong. Pas masuk, ya, ampun ini tempatnya Covid-19. Lama kelamaan ikhlas, lah. Ini juga pengalaman sekali seumur hidup," tutur dia.
Farini mengawali tugas sebagai sukarelawan di bagian perawatan umum. Dia menangani sekitar 50 sampai 60 pasien positif Covid-19 di bagian tersebut.
Tantangan terbesar saat itu, kata dia, menjaga kondisi fisik agar tetap prima. Sebab, dia bekerja selama delapan atau sembilan jam sehari dengan menggunakan baju hazmat.
"Menggunakan hazmat capek, iya banget. Soalnya energi terkuras. Panas iya. Kemudian bagaimana mengatur nafas agar tidak pengap. Soalnya kami dobel dan tertutup semua. Di situ beratnya. Bagaimana melayani pasien, fisik dan mental juga harus kuat dan semua harus total untuk pasien," ujar dia.
Setelah beberapa hari di bagian perawatan umum, Farini dipindahkan ke bagian khusus pada Oktober 2020. Di situ di hanya menangani delapan sampai sembilan pasien perhari.
Namun, kata dia, kerja pada bagian khusus yang berat ialah tanggung jawab. Pasalnya, setiap dokter di sana merawat pasien Covid-19 dengan penyakit komorbid seperti hipertensi dan diabetes.
"Sebenarnya lebih sedikit, tetapi tanggung jawabnya lebih berat. Kami disitu back up semua dokter spesialis. Dokter jantung, anastesi, dokter penyakit dalam. Jadi kami yang pegang semua high critical," ungkap dia.
Terkait upaya mengelola fisik, Farini menyiasati dengan istirahat yang tepat. Saat tidak bekerja, dia memanfaatkan untuk istirahat total agar fisik tetap terjaga.
"Kalau habis shift, kami harus memanfaatkan waktu untuk istirahat total. Kendalanya itu pas pakai APD. Panas iya, pengap iya, fisik tidak maksimal," pungkas dia.(ast/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan