Cerita Dua Mantan Komandan Paspampres Kawal Presiden dan Wapres

Mega Senang Jajan Kuliner, Soeharto Penuh Ancaman

Minggu, 14 September 2014 – 18:37 WIB
KEHORMATAN: Nono Sampono blusukan ke kampung-kampung saat kampanye pencalonan dirinya sebagai cawagub dalam Pilkada DKI Jakarta 2012. (Ferry/IndoposJPNN)

jpnn.com - Sejak terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari daerah pemilihan (dapil) Maluku, aktivitas Nono Sampono semakin padat. Bertemu senator 61 tahun itu juga bukan perkara mudah. Nono mengakui, sejak berada di Senayan (gedung DPR), dirinya sangat sibuk.

’’Seperti ini, selain bertemu Anda, saya punya agenda lain yang harus saya hadiri,’’ ujarnya lantas tersenyum saat ditemui di Hotel Borobudur, Kamis malam (11/9).

BACA JUGA: Sukses Rebut Pulau Kepayang dari Tangan Tommy Soeharto

Nono memang dikenal sebagai politikus asal Maluku. Namanya sempat moncer saat dirinya berpasangan dengan Alex Noerdin menjadi pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jakarta pada pilkada 2012. Meski akhirnya kalah oleh pasangan Jokowi-Ahok, Nono tetap tidak kapok berpolitik. Dia kembali mencoba peruntungan dengan maju sebagai bakal calon gubernur Maluku periode 2013–2018. Namun, lagi-lagi dia gagal.

Meski begitu, Nono tidak menyerah. Pada 2014, pensiunan jenderal bintang tiga TNI Angkatan Laut (AL) itu mencalonkan diri menjadi anggota DPD. Kali ini perjuangannya tidak sia-sia. Nono terpilih menjadi anggota DPD dari dapil Maluku. Bahkan, kini dia digadang-gadang bisa menjadi ketua DPD.

BACA JUGA: Kikuk Ucapkan Alat Kelamin, Pernah Sebut Anu

Di balik kiprah politiknya, tidak banyak yang tahu bahwa Nono pernah menjadi komandan Paspampres pada era Presiden Megawati Soekarnoputri. Sebelumnya, dia juga dipercaya menjadi wakil komandan Paspampres saat Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Bagi pejabat berdarah Madura dan Ambon itu, dua posisi tersebut merupakan kehormatan tersendiri. ’’Saya termasuk menabrak tradisi. Sebab, sebelum saya, belum pernah ada perwira atau komandan Paspampres dari angkatan lain selain Angkatan Darat. Jadi, bagi saya, ini kebanggaan,’’ ungkap mantan kepala Badan SAR Nasional (Basarnas) itu.

BACA JUGA: Singgahi Khatulistiwa Ujung Timur di Pulau Kawe

Tentu saja banyak pengalaman menarik yang dicatat Nono selama mengawal dua presiden pada era reformasi itu. Tidak selamanya serius. Banyak juga hal-hal lucu mengiringi tugas berat tersebut. Salah satu pengalaman menegangkan dialami saat Megawati melakukan kunjungan kerja ke 12 kabupaten/kota di Papua selama 10 hari. Saat itu, pada 2001, situasi politik-keamanan di tanah air belum stabil pascareformasi. Terjadi kerusuhan di banyak daerah.

Nah, dalam kunjungan ke Papua tersebut, rombongan Megawati sempat dikepung massa Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan kelompok-kelompok lain. Saat itu Megawati tengah berpidato di hadapan ribuan warga Papua. Tiba-tiba, ratusan anggota OPM merangsek ke depan podium sambil mengibar-ngibarkan bendera Bintang Kejora. Mereka juga membawa aneka senjata. Bahkan, seorang pemimpin OPM meminta kesempatan untuk berpidato di mimbar yang ditempati Mega.

Nono pun langsung menginstruksi pasukannya untuk menghalau kelompok massa tersebut. Namun, bukannya mundur, mereka kian beringas. Melihat situasi seperti itu, dia cepat-cepat memberikan kode kepada Presiden Megawati untuk segera turun dari podium dan menjalani prosedur evakuasi darurat. Nono menggambarkan, situasi saat itu cukup menegangkan.

’’Saya berupaya mengecoh massa untuk mengamankan Bu Mega. Saya diberi tahu Pangdam Cenderawasih bahwa ada helikopter TNI-AD di belakang panggung. Akhirnya, Bu Mega berhasil kami bawa keluar dari tempat itu dengan helikopter. Tapi, teknis menipunya bagaimana, saya tidak bisa cerita dengan detail,’’ ungkapnya.

Selain cerita menegangkan, Nono punya pengalaman ’’tak terlupakan’’ saat mengawal Presiden Megawati. Yakni, putri proklamator itu ternyata gemar berwisata kuliner di sela-sela tugas kenegaraan. Ketika bosan dengan menu makanan sajian koki istana, tidak jarang Mega meminta Nono mengantar untuk menyantap makanan pinggir jalan. Warung makan yang pernah disambangi Megawati secara mendadak itu mulai nasi goreng kambing Kebon Sirih, Jakarta Pusat, sampai martabak pakistan yang mangkal di kawasan Cipete, Jakarta Selatan.

’’Saat jenuh makanan istana, kadang Bu Mega kepingin kuliner pinggir jalan. Kalau sudah begitu, kami langsung siapkan tiga atau empat mobil untuk mengantar beliau ke sana. Agar tidak mencolok, kami pakai mobil biasa seperti VW Caravelle,’’ katanya.

Sampai di tempat makan, Nono bertugas memesan makanan di warung, sedangkan Megawati menunggu di dalam mobil. Sesuai dengan standar pengamanan VVIP, Nono harus mencicipi lebih dahulu makanan yang akan disajikan ke presiden tersebut. Setelah dipastikan tidak mengandung racun atau semacamnya, makanan tersebut diberikan kepada sang presiden.

’’Setelah saya cicipi dan aman, biasanya si pemilik warung saya minta antarkan sendiri makanan ke mobil. Begitu tahu yang memesan presiden, pemilik warung kaget sampai makanannya hampir jatuh,’’ kenang Nono.

Nono mengungkapkan, sebenarnya Megawati gemar berwisata kuliner sejak menjadi wakil presiden di era Presiden Gus Dur. Bahkan, Gus Dur tidak jarang minta dibungkuskan sekalian bila Mega diketahui sedang mampir ke warung makan.

’’Waktu Gus Dur telepon, kadang Bu Mega sedang makan di warung kesukaan. Gus Dur pun biasanya langsung tanya, ’Mbak lagi makan apa? Aku dibungkusin dong’. Kalau sudah begitu, kami langsung minta makanan yang dibungkus buat Gus Dur,’’ katanya.

Suami Norma Riana itu menuturkan, dirinya sangat beruntung pernah menduduki posisi sebagai komandan Paspampres. ’’Menjadi Paspampres itu sebuah kehormatan. Sebab, yang kami kawal pemimpin negara. Saya bisa lihat negara-negara lain juga saat presiden melakukan kunjungan kerja ke luar negeri,” urainya sembari tersenyum.

Tak jauh berbeda, Endriartono Sutarto juga punya pengalaman berharga saat menjadi komandan Paspampres di era Presiden Soeharto. Sebab, mantan panglima TNI tersebut menjadi Danpaspampres ketika Soeharto digulingkan oleh gerakan reformasi pada periode 1997–1998. Situasi politik dan keamanan tanah air sedang genting-gentingnya. Soeharto yang sudah menjabat 32 tahun menjadi target utama pelengseran sebagai presiden.

’’Setiap hari demo massa mendekat ke Cendana. Ibaratnya, kami ingin memicingkan mata sebentar saja tidak bisa. Sebab, tingkat ancaman terhadap presiden sudah sangat tinggi,’’ papar Tono –sapaan peserta konvensi calon presiden dari Partai Demokrat itu– saat ditemui di kantornya, Bank Pundi, pekan lalu.

Mantan kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) tersebut mengisahkan, dirinya mendampingi Presiden Soeharto saat detik-detik mundurnya presiden kedua RI tersebut. Saat itu, 15 Mei 1998, Soeharto baru saja mengakhiri lawatan dari luar negeri untuk mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-15 di Kairo, Mesir. Dia mempercepat kepulangannya ke tanah air setelah mendengar situasi keamanan di tanah air yang terus memanas.

’’Presiden Soeharto akhirnya memutuskan pulang ke Indonesia lebih cepat dari jadwal,” kenangnya.

Semula Tono dan pasukannya berencana mendarat di Denpasar, Bali, bukan di Jakarta seperti diagendakan. Alasannya, keamanan Soeharto terancam karena kondisi di ibu kota semakin genting. Namun, yang bersangkutan menolak.

’’Beliau mengatakan, ’Apa pun yang terjadi di Jakarta, saya harus mendarat di sana dan jangan dialihkan ke mana pun.’ Akhirnya pendaratan tetap dilakukan di Jakarta, di Bandara Halim Perdanakusuma,” paparnya.

Begitu tiba di Jakarta, Soeharto langsung menuju kediamannya di Cendana. Saat itulah pengawalan yang dilakukan Tono dan pasukannya betul-betul ekstra. Tono harus memperhitungkan dengan cermat segala sesuatunya, termasuk rencana evakuasi darurat.

’’Mengawal presiden di tengah-tengah gelombang massa anti-Soeharto itu ya bisa dibayangkan seperti apa mencekamnya,” kata Tono yang sempat berkiprah di Partai Nasdem itu.

Soeharto sampai di Cendana, tingkat ketegangan belum mengendur. Menjelang pengumuman pengunduran diri Soeharto, Tono memberikan brifing keamanan kepada seluruh keluarga Soeharto, termasuk para cucunya. Saat Presiden Soeharto membacakan pidato pengunduran diri pada 21 Mei 1998, Tono tetap mendampinginya.

Pada hari yang sama, Habibie dilantik untuk menggantikan Soeharto. Pelantikan Habibie itu berimbas pada keberadaan Grup A Paspampres yang dipimpin Tono. Atas perintah Habibie, pasukan pimpinan Tono dilikuidasi dan dikembalikan ke kesatuan asal. Mereka digantikan pasukan grup B yang semula mengawal wakil presiden (Habibie).

Seusai pergantian kepemimpinan nasional, ketegangan belum mereda. Bahkan, sempat terjadi insiden di  kompleks istana kepresidenan pada 22 Mei 1998, sehari setelah Soeharto lengser. Sebuah jip dengan tanda tiga bintang militer menerobos masuk ke halaman Sekretariat Negara. Ternyata penumpang jip tersebut adalah Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto. Prabowo datang berseragam militer lengkap dengan pistol di pinggang. Kedatangan Prabowo cukup mengejutkan. Namun, Tono memastikan bahwa kehadiran Prabowo tidak membahayakan karena yang bersangkutan bersedia menyerahkan senjata.

Tono menuturkan, sekalipun kondisi mencekam selama setahun dirinya menjadi Danpaspampres, ada juga saat-saat Presiden Soeharto melepas penat dengan berolahraga. Salah satu olahraga yang digemari Soeharto adalah golf.

”Tapi, kalau beliau golf, kami tidak memakai iring-iringan mobil yang jumlahnya bisa sampai 20-an. Cukup dua atau tiga mobil untuk mengantar beliau golf,” katanya. (Sekaring Ratri Adaninggar/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ikin Sodikin, Kolektor Surat Kabar dan Majalah Tempo Dulu


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler