jpnn.com, JAKARTA - Pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres KH Ma’ruf Amin diminta lebih memerhatikan masalah perlindungan satwa.
Menurut Chairman Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Protection of Forest & Fauna (Profauna) Rosek Nursahid, permasalahan perlindungan satwa memang terus berkembang dan makin membutuhkan perhatian khusus.
BACA JUGA: Gajah Sumatera Ditemukan Mati, Kaki Kirinya Buntung
“Lihat saja perburuan, penangkapan, dan perdagangan satwa liar yang dilindungi makin masif. Ini mengancam ekosistem flora dan fauna yang menjadi perhatian global,” katanya di Jakarta, Jumat (15/11).
Menurut dia, isu-isu perburuan dan perdagangan satwa makin menunjukkan kondisi yang sudah kritis. Ambil contoh satwa burung, beberapa jenis tertentu hampir punah karena kurangnya perhatian dari pemerintah.
BACA JUGA: KLHK Amankan Dua Gading Gajah Sumatera dan Pemiliknya di Jambi
Sebenarnya, lanjut dia, komitmen pemerintah dalam melindungi satwa sudah menjadi perhatian khusus di zaman Presiden Soeharto. Di era Orde Baru, pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional.
Dalam Keppres itu disebutkan tiga satwa yang dinyatakan sebagai satwa nasional yakni Komodo, Ikan Siluk Merah, dan Elang Jawa. Juga, dalam keppres tersebut dinyatakan bunga nasional yakni Melati, Anggrek Bulan, dan Padma Raksasa (Rafflesia Arnoldi).
BACA JUGA: Pak Harto & Gus Dur Belum Jadi Pahlawan Nasional, Begini Penjelasan Prof Jimly
Rosek menilai jika dahulu tantangan di era Orba adalah regulasi, di zaman ini berupa implementasi penegakan hukum di lapangan.
“Banyak kasus yang disidangkan di pengadilan justru dijerat dengan hukuman minimal. Hal ini karena aturan kita mengatur hukuman maksimal, sehingga faktanya berbeda di lapangan,” ujarnya.
Karena itu, Rosek mendesak, pemerintahan baru di bawah Jokowi-Ma’ruf serta kalangan DPR yang baru membuat regulasi baru yang mengatur hukuman minimal. Bertepatan dengan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional yang biasa diperingati pada 5 November, Profauna mendesak pemerintah untuk lebih memperhatikan masalah perlindungan satwa.
“Kami dari Profauna mendesak adanya regulasi tentang hukuman minimal 2 tahun untuk orang yang terbukti melakukan perburuan, penangkapan, serta perdagangan satwa yang dilindungi,” tegasnya.
Sementara Emil Salim, mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Kependudukan di era Orde Baru, mengisahkan perlakuan penguasa terhadap binatang.
Emil mengungkapkan kisah tentang Soeharto dan penggiringan kawanan gajah agar masuk kembali ke dalam hutan. Emil Salim menuliskan kisah itu dalam buku “Pak Harto The Untold Stories” terbitan Gramedia, tahun 2012 silam.
Emil Salim menceritakan peristiwa itu terjadi saat dia menjadi menteri yang mengawasi dan melestarikan alam. Tiba-tiba dia mendapatkan telepon dari Palembang. Isi telepon tersebut menyatakan, para tentara yang ada di sana sedang bersiap-siap hendak menembak rombongan gajah yang “mengamuk”.
Kawanan gajah tersebut merusak kebun-kebun dari sebuah desa transmigrasi yang baru saja didirikan. Mendapatkan laporan itu, Emil lantas mempelajarinya.
Ternyata gajah-gajah yang hidup di hutan pedalaman Sumatera itu memang memiliki ritual, yaitu pergi ke laut setahun sekali untuk memperoleh garam. Jalan yang harus mereka lalui selalu sama. Sayangnya, jalan tersebut belakangan digunakan untuk membuat kebun, dan hal itu tidak diketahui Dinas Transmigrasi saat itu. Penduduk yang ketakutan itu kemudian meminta bantuan para tentara.
Emil Salim segera melaporkan peristiwa itu kepada Presiden Soeharto dan Panglima ABRI saat itu Jenderal TNI Try Sutrisno. Pak Harto tegas melarang para tentara menembaki gajah-gajah tersebut. Ia meminta para anggota TNI agar menggiring gajah masuk hutan lagi melalui jalan lain yang tidak melintasi desa. (esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad