jpnn.com - BANDUNG - Mantan Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat Dedi Supandi memilih mendaftarkan anaknya bersekolah ke SMA swasta pada momentum penerimaan peserta didik baru (PPDB) 2023. Dedi yang kini menjabat Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setda Provinsi Jawa Barat, itu punya alasan tersendiri.
"Alhamdulillah, di SMA swasta, kan, tidak ada utak-atik zonasi. Kami sebagai orang tua, yang penting untuk pembentukan anak, sekolah di mana pun kami sebagai orang tua tidak boleh berhenti mendoakan kepada anaknya yang terbaik dalam mengejar cita-citanya," kata Dedi Supandi di Bandung, Minggu (16/7).
BACA JUGA: Rano Karno Minta Sistem PPDB Dievaluasi
Dedi menilai penting bagi orang tua mendukung keinginan anak terkait sekolah yang dipilih, dan hal ini dia sampaikan menyusul marak aksi kecurangan pada proses PPDB 2023 .
Menurut dia, fenomena yang terjadi saat ini, banyak yang memaksakan anak agar masuk ke sekolah tertentu.
BACA JUGA: Pengakuan 2 ASN PPPK 2022: Jaka Swasta, Kartika Ungkap Tips Lulus Seleksi
Beberapa di antaranya bahkan memilih cara curang dengan mengakal-akali jalur zonasi.
"Namun, sebenarnya itu adalah ruang yang memang diatur dalam Permendikbud. Alhasil makin diatur ketat seperti makin diakal-akali," ungkapnya.
BACA JUGA: Resmikan Sekolah Swasta Menjadi SMKN 1 Langgam, Gubernur Riau Berpesan Begini
Saat disinggung mengenai maraknya pemberitaan negatif terkait PPDB Jabar 2023, Dedi mengatakan pada tahun lalu pihaknya sudah terus melakukan perbaikan sistem, di antaranya dengan penambahan jumlah zonasi, dan juga merencanakan laman PPDB dan fitur pada aplikasi Sapawarga.
"Sistem digitalisasi itu, kan, sekarang di PPDB Jabar 2023 sudah mulai digunakan," katanya.
Hasil rekomendasi bersama Ombudsman Jawa Barat, pihaknya mengusulkan sejumlah evaluasi perubahan permendikbud.
Hal itu dilakukan pascapelaksanaan PPDB tahun lalu agar ada perubahan permendikbud terkait PPDB.
Sehingga regulasi lebih bersifat general dan hal-hal yang teknis dapat diserahkan ke daerah disesuaikan dengan kondisi geografi dan demografi.
Sistem di setiap daerah tidak bisa di samaratakan, mengingat perbedaan berdasarkan demografi dan geografi tersebut yang disesuaikan dengan kondisi lokal daerahnya.
"Jadi, antara daerah yang banyak pegunungan itu akan berbeda dengan yang di perkotaan. Termasuk jumlah kuota prestasi, zonasi, afirmasi dalam suatu wilayah tertentu setiap daerah bisa saja berbeda. Itu rekomendasi dengan Ombudsman Jabar tahun kemarin," kata dia.
Dedi mencontohkan, seperti di SMKN 10 Kota Bandung yang memiliki jurusan Seni Karawitan, Dalang, dan kesenian tradisional, setiap tahun kuota tidak terpenuhi. Padahal, di Jawa Barat tidak ada lagi sekolah yang membuka kurikulum serupa, sehingga berkaitan dengan zonasi itu tidak bisa dibatasi.
Berbeda halnya dengan SMAN 3 Kota Bandung yang kekurangan jalur prestasi. Bila perlu, kata Dedi, jalur prestasi di SMAN 3 Bandung ditingkatkan menjadi 80 persen.
"Jadi, orang-orang tidak berebut kartu keluarga untuk masuk ke sekolah itu dengan memanipulasi mendekatkan jarak," katanya.
Akan tetapi, untuk beberapa sekolah yang dekat dengan pegunungan bila perlu semuanya menggunakan jalur zonasi, sehingga jarak zonasinya juga ditambah.
Sistem ini juga dapat digunakan untuk Sekolah yang berada di daerah Ujung Berung Kota Bandung.
"Karena jika aturan PPDB ini diatur biasa saja untuk kasus DKI Jakarta cocok diterapkan, tetapi untuk Jawa Barat yang notabene banyak wilayah pegunungan sangat tidak berkeadilan jika disamakan," kata Dedi Supandi. (antara/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : M. Kusdharmadi