Cerita Pelarian Kitina, Ibu Dua Anak Korban Perang di Mimika

Kamis, 28 Juli 2016 – 05:58 WIB
Nyonya Kitina Wenda menunjukkan surat-surat berharga miliknya yang tersisa, ketika berada di pengungsian Gereja GIDI Getsemani, Rabu (27/7). Foto: Eleuterius Leisubun/Radar Timika

jpnn.com - PERANG selalu memakan korban. Sedih, pilu, seperti yang dirasakan para korban konflik antarwarga di Kwamki Narama, Mimika, Papua, yang sudah berlangsung sekira tiga bulan ini. Seperti apa penderitaan mereka?

Eleuterius Leisubun/Radar Timika

BACA JUGA: Sudirman Said: Terima Kasih Atas 21 Bulan, 27 Oktober-27 Juli

Kitina Wenda tidak akan pernah mampu melupakan kejadian yang menimpa diri dan keluarganya. Kitina adalah salah seorang warga Kwamki Narama yang tak mau terlibat konflik atau mau berperang dengan sesamanya. 

Jantungnya tetap berdetak kencang, sebab kejadian itu datang bak angin yang tiba dengan cepat. Namun meninggalkan bekas luka di batin keluarganya. 

BACA JUGA: Namanya La Susah, Ingin Hadir saat Anaknya Diwisuda

Ketika musuh datang, mereka hanya berteduh di dalam rumah sebagai tempat yang paling aman. Meski hati mereka terus berdebar dan memaksa tubuhnya untuk segera beranjak dan tinggalkan rumah mereka. 

Dengan pakaian yang melekat di badan, Kitina dan kedua anaknya, harus melarikan diri setelah membuka pintu belakang dan menuju ke hutan. 

BACA JUGA: Yepi Rogoh Kantong Sendiri, Ciptakan Kincir Listrik untuk Masyarakat

Sebelum kejadian penyerangan pagi itu, Kitina sedang berada di dalam rumah dan hendak membuat sarapan bagi kedua anaknya. Tiba-tiba ada teriakan “Musuh Datang”. Meski teriakan dalam bahasa daerah itu sudah terdengar sejak subuh, namun dirinya tidak berani keluar rumah, sebab masih gelap. Dirinya hanya pasrah dan bertahan di dalam rumahnya yang berlantai tanah itu.

“Pagi-pagi itu kami belum sempat sarapan, mereka (musuh) sudah datang dan kami langsung lari. Hanya ijazah dan surat-surat yang bisa diselamatkan. Kami lari ke hutan,” ujar wanita paruh baya ini kepada Radar Timika.  

Dengan raut wajah yang lesu di bawah panasnya terik sinar matahari, ibu dua anak ini dengan seksama membuka helai demi helai kertas yang terselip di dalam map berwarna kuning. “Hanya ini yang kami selamatkan, sama anak anak,” ujarnya terdengar sedih. 

Dengan teliti kertas yang terlipat itu diperbaiki dengan tangan, kemudian diletakkan di atas tanah dan ditimpa dengan batu agar mengering dan tidak mudah terbang ketika ditiup angin.

Untuk menyelamatkan diri dari kepungan musuh, dia mengajak kedua anaknya melarikan diri ke hutan yang ada di belakang rumah. Tidak ada petunjuk jalan apalagi kompas. Kitina dan kedua anaknya hanya berlari dengan feeling dan arah mata memandang.

Kitina dan anaknya memilih berlari ke arah barat. Dia juga melewati banyak rintangan, seperti ketika berlari di alam terbuka. Semak duri, tumbuhan hutan dan jalan yang tidak jelas arah jadi tantangan. Ditambah rasa ketakutan yang luar biasa, takut tertangkap sama musuh.

Namun dia seolah tidak menghiraukan rintangan itu. Ingin selamat, hanya itu yang ada di pikiran sembari berlari dan memegang kedua buah hatinya.

Jam menunjukkan pukul 09.00 WIT ketika anak dan ibu itu baru tiba di tempat yang aman yakni di Kampung Karang Senang, yang berjarak kurang lebih 5-6 kilometer dari lokasi kejadian.

Setibanya di lokasi yang sudah dianggap aman itu, yang perlu dicari adalah tempat menginap untuk kedua anaknya yang masih berusia dua dan lima tahun itu.

Walaupun ada sanak saudara, namun rumah yang ditumpangi itu sudah penuh dengan keluarga yang lain, sehingga harus berjalan mencari tempat yang lain. Ketika bertemu dengan sanak sudaranya yang juga mengungsi itu, baru menunjukkan bahwa ada tempat untuk berteduh di Gereja GIDI Jemaat Getsemani. Di situlah tempat penampungan korban konflik paling aman.  

Selama tiga hari, satu keluarga itu tinggal berbaur dengan puluhan kepala keluarga hingga ratusan jiwa di dalam gereja tersebut. “Yang penting ada tempat berteduh saja, makan nanti kita cari sama sama,” ujarnya.

Selama tiga hari itu, mereka tidak bisa keluar halaman gereja karena takut jangan sampai ada musuh yang berkeliaran. Walaupun ada anggota keamanan yang siaga di jalan umum, namun kekhawatiran itu terus menghantui sehingga tidak bisa berbuat banyak. Juga hanya menunggu ada yang memberikan sedikit berkat makanan untuk makan bersama kedua anaknya itu.

Sambil menggendong tas noken di kepala Kitina berharap kepada pemerintah daerah maupun pihak-pihak terkait, untuk sebisanya mengulurkan tangan guna membantu dan melihat kondisi mereka di lokasi pengungsian. 

“Untung kemarin pagi itu ada yang datang bawa supermi, beras, susu untuk kami di sini baru kami makan. Kemarin juga ada yang datang bawa babi baru masak. Kami makan di sini sama-sama,” terangnya. (**)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Ima, Anak Turiyo dan Alimah yang Diundang ke Konvensi Demokrat AS


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler